Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Dua Anak Manusia

Cinta Dua Anak Manusia

Belinda

5.0
Komentar
67
Penayangan
10
Bab

Kisah Agatha Belinda Bagaskara yang diperlakukan berbeda oleh orangtuanya. Anya, sang kakak memiliki sifat iri di hatinya yang membuat ia tega memfitnah adiknya sendiri. Kemunculan Elvano di kehidupan Agatha membuat benih-benih cinta pun muncul, begitu pula dengan Elvano, selaku kekasih dari Anya. Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya?

Bab 1 Hari Sial

Cahaya menembus celah-celah gorden di dalam sebuah kamar yang di dominasi warna biru laut. Terlihat seorang gadis mungil yang yang masih bergelut di dalam selimut tebal.

Tampak wajah cantiknya yang terkena sinar matahari dan membuat dirinya terganggu.

Wajahnya yang putih mulus berkerut samar dan keringat dingin mengucur di dahinya. Entah apa yang dia mimpikan, tapi sepertinya itu sesuatu yang menyeramkan.

"PAPA...!" teriaknya tiba-tiba terbangun dengan nafas memburu. Dia duduk seraya melipat kakinya kemudian mengambil gelas yang berisi air putih di atas nakas di samping tempat tidurnya kemudian meminumnya cepat.

Glek

Glek

Setelah selesai, ia menyimpannya kembali di tempat semula.

"Mimpinya kayak nyata banget, aku takut," gumamnya menghela nafas berat. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke arah jam di atas meja belajar. Sedetik kemudian matanya membola.

"ASTAGA AKU KESIANGAN!"

Bruk

"Aduh... sakit," ringisnya saat tak sengaja kakinya tersandung selimut yang masih melilit tubuhnya hingga ia terjatuh ke lantai yang keras dan dingin.

Dengan cepat ia bangkit dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk cuci muka dan menggosok gigi.

'Gak papa deh gak mandi juga, yang penting masih cantik.'

Cklek

Agatha membuka pintu dan berjalan cepat menuju lemari pakaian. Mengambil seragam putih abu miliknya kemudian memakainya.

Berjalan kembali ke arah meja rias dan mulai menyisir rambutnya. Memakai parfum, menyapukan bedak di wajahnya dan terakhir mengoleskan lipbalm agar bibirnya tak kering.

Agatha menyambar tas ransel sekolahnya yang berwarna hijau toska kemudian pergi keluar kamar setelah mengenakan sepatunya.

Tuk

Tuk

Tuk

Suara sepatu bergesekan dengan lantai begitu menggema di dalam ruangan yang sunyi seperti tak ada kehidupan.

Mungkin papanya sudah berangkat ke kantor.Tapi mamanya kemana? Mungkin berbelanja. Lalu dia sekolah naik apa? Ia tak punya kendaraan, hanya kakaknya yang diberikan mobil oleh papanya, sedangkan dirinya tidak.

'Ahh mungkin masih ada angkot.'

Jarak dari rumah menuju sekolah bisa dibilang lumayan jauh jika berjalan kaki. Biasanya ia berangkat bersama papanya, tapi gara-gara ia terlambat bangun, ia sampai ditinggalkan. Dan lagi mungkin papanya ada urusan mendadak, ia tak mungkin menyalahkan papanya.

Agatha melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, kemudian menghela nafas kasar, sekolah sudah masuk 3 menit yang lalu, siap-siap saja dirinya dihukum guru BK.

***

"Makasih ya, Pak," ucap Agatha seraya memberikan uang senilai 10.000 ribu rupiah kepada sang supir angkot.

Untungnya tadi ada angkot yang lewat di sekitar jalan rumahnya. Biasanya angkot lewat jam 8 an, entah kenapa hari ini sedikit pagi. Tak seperti biasanya. Namun berkat itu juga ia bisa sampai ke sekolah dengan selamat. Kalau tidak, mungkin dia harus berjalan kaki.

Di depannya sebuah gerbang besar menjulang tinggi yang sudah tertutup rapat.

Di atasnya terdapat tulisan 'SMA 3 RAJAWALI', tempat dimana ia menuntut ilmu dari satu tahun yang lalu.

Dia mengedarkan pandangannya mencari Pak Mamat, satpam sekolahnya.

Dan ketemu! Dia melihat pak Mamat yang sedang duduk santai di bangku bawah pohon yang teduh seraya meminum kopi hitamnya seperti biasa.

"SELAMAT PAGI PAK MAMAT!" sapa Agatha riang dengan suara sedikit keras agar sang empunya mendengar.

Yang disapa pun mendongak dan menemukan Agatha yang berdiri di depan gerbang.

"PAGI JUGA NENG ATHA!" balas Pak Mamat berteriak, ia berjalan mendekati gerbang setelah menghabiskan kopinya.

"Tumben telat, neng?" tanyanya heran. Kenapa Pak Mamat bisa tahu nama Agatha? Karena memang Agatha selalu menyapanya setiap hari, dia sangat ramah kepada siapapun tanpa memandang kasta. Jadi ia bisa mengingatnya. Karena memang murid yang lain tak ada yang bersikap seperti itu, dan hanya Agatha.

"Kesiangan bangun, hehe. Bukain dong, Pak," ucap Agatha dengan cengiran khasnya

"Dasar neng Atha ya. Bapak bakal bukain," kata Pak Mamat membuat Agatha senang

"Tapi nanti, tunggu Bu Iis datang," lanjutnya

Bibir Agatha mengerucut. "Pelit."

"Bukan pelit, neng. Tapi peraturan," koreksi Pak Mamat

Seseorang berjalan kearah gerbang dengan tangan memegang penggaris panjang khas dirinya. Dengan tubuh gemuk dibalut dengan pakaian dinas, dia Bu Iis sang guru BK.

"Pagi Bu Iis," sapa Agatha tersenyum manis, berbeda dalam hatinya yang tak karuan.

"Pagi," balasnya singkat dengan mata menatap tajam

"Tolong buka gerbangnya, Pak," ucap Bu Iis

"Baik Bu." Pak Mamat mengambil kunci di dalam saku celana hitamnya. Setelah kuncinya terbuka, ia menggeser pintu gerbangnya agar Agatha bisa masuk.

"Jam berapa ini!" kata Bu Iis

"Mmm jam setengah delapan, hehe." Agatha cengengesan hingga gigi putihnya terlihat

"Ikut ibu!"

"Atha pamit ya. Dadah Pak Mamat," kata Agatha kemudian berjalan di mengikuti Bu Iis di belakang.

***

Disinilah Agatha berada, berdiri di lapangan upacara dengan tangan menghormat bendera.

Setelah keluar dari ruang BK, ia dihukum oleh Bu Iis untuk menghormat bendera sampai bel tanda pelajaran kedua berbunyi.

Karena ini pertama kalinya dirinya terlambat, jadi hukumannya sedikit dikurangi. Biasanya anak-anak lain yang sering terlambat di hukum membersihkan seluruh toilet siswa plus hormat bendera sampai jam istirahat.

Sudah hampir satu jam Agatha berdiri di bawah panasnya sinar matahari. Tangannya sudah pegal sedangkan masa hukumannya 30 menitan lagi.

Jika saja tidak ada pasang mata yang sedari tadi melihat kearahnya ia pasti sudah kabur dan makan di kantin untuk menghentikan perut laparnya.

Di sudut lapangan yang teduh, ada Bu Iis yang menyorotinya dengan tatapan tajam. Tangan kanannya memegang plastik bening yang berisi es teh menis, sesekali ia menyedotnya untuk menghilangkan dahaga tanpa memikirkan anak muridnya yang bahkan lebih menderita.

Baju bagian belakang Agatha sudah banjir oleh keringat yang mengucur deras. Beruntung tubuhnya masih wangi meskipun berkeringat.

Sedari tadi perutnya berbunyi karena belum diisi apa-apa. Ia tak sempat sarapan. Matanya melirik ke arah belakang sana dimana Bu Iis berada. Tapi dengan cepat ia memutar balik kepalanya saat Bu Iis balik menatapnya tajam.

"Serem," lirihnya

30 menit kemudian

Kring kring kring

Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba, bel berbunyi tiga kali pertanda jam pertama habis.

Agatha menurunkan tangannya, ia menghela nafas lega karena hukumannya telah selesai. Mulai saat ini ia berjanji tak akan bangun siang lagi.

Bu Iis berjalan mendekati Agatha. "Hukuman kamu selesai, lain kali jangan terlambat lagi, kalau melanggar ibu bakal hukum kamu lebih dari ini!" katanya tegas

"Saya janji, Bu, gak akan telat lagi," jawab Agatha

"Yasudah, sekarang kamu masuk kelas, ibu permisi," katanya berlalu pergi.

***

Sekarang waktunya istirahat, murid-murid keluar dari kelasnya masing masing, ada yang menuju kantin, taman, rooftop atau ada juga yang berdiam diri di kelas memakan bekalnya.

Di dalam kelas XI MIPA 3, Agatha memasukkan alat tulisnya ke dalam tas, agar terhindar dari pencurian. Sering kali ia hilang pulpen dan tak ketemu lagi, sampai ia membeli lagi dan terus hilang. Ia berinisiatif untuk memasukkannya ke dalam tas saja.

Setelah selesai ia berjalan keluar kelas menuju kantin seorang diri. Agatha tak mempunyai teman, ia merupakan murid pemalu yang tak pandai bersosialisasi. Sebenarnya ia bisa bersikap seperti murid lain,hanya saja tak ada yang se-frekuensi dengannya.

Sesampainya di kantin yang begitu ramai dan padat, Agatha memasuki penjual bakso yang tak seramai penjual lain. Ia ingin cepat-cepat makan tanpa menunggu antrian dan berdesak-desakan.

Setelah pesanannya siap dia membawanya di atas nampan, pandangannya mengarah ke penjuru kantin guna menemukan bangku yang masih kosong. Jika tidak ada yang tersisa, ia akan membawanya ke dalam kelas.

Akhirnya yang keberuntungan memihak padanya, ia menemukan meja kosong di sudut sana. Tanpa berpikir panjang ia berjalan menuju bangku itu.

Meja dan bangku itu sedikit berbeda dengan yang lain. Pantas saja tak ada yang mendudukinya. Bangku itu terlihat tua dan usang, catnya pun sudah banyak mengelupas.

Tapi ia tak punya pilihan lain selain duduk di bangku itu.

Dengan ragu-ragu Agatha menduduki bangku tersebut. Aman, tak terjadi apa-apa. Agatha menghela nafas lega, ia pikir bangku itu akan roboh saat ia duduki. Tapi ternyata tidak, ia mulai memakan makanannya dengan semangat.

Saking semangatnya, ia sampai tak menyadari bahwa bangku yang ia duduki semakin lama semakin maju ke depan. Kemudian--

Brakk!

Bangku yang di duduki Agatha roboh beserta meja dan badannya yang ikut terdorong ke depan, wajahnya mengenai kuah bakso yang terciprat. Untungnya ia tak terkena pecahan mangkok itu.

Seluruh mata memandang kearah Agatha dengan berbagai ekspresi di wajah mereka. Ada yang menatapnya shock, kasihan yang lebih parahnya bahkan ada yang tertawa secara terang-terangan.

"Awshh," ringis Agatha saat merasakan perih di matanya

Tidak ada seorang pun yang menolongnya, semuanya seakan buta. Mereka tertawa di atas penderitaannya.

Dengan mata berkaca-kaca menahan malu dan sakit, ia bangkit dan berlari keluar diikuti sorakan penghuni kantin.

***

"Kenapa hari ini aku kena sial terus?! Mata aku jadi merah kan," kata Agatha kesal mengingat kejadian memalukan tadi.

Mau ditaruh dimana mukanya di hadapan teman sekolahnya. Pasti semuanya sudah melihatnya yang terjatuh dengan tak elitnya.

Ia jadi kesal sendiri, kalau saja ia tak duduk di bangku itu dan membawa makanannya ke kelas. Kejadian itu tak akan terjadi.

Nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa dirubah kembali.

Agatha melihat pantulan tubuhnya di cermin toilet, terlihat matanya yang sedikit merah dan seragam bagian atasnya yang basah karena ia basuh guna menghilangkan noda bekas bakso tadi.

Wajahnya merengut kala teringat rentetan kejadian yang menimpanya dari bangun tidur sampai sekarang yang hanya berisi kesialan.

Apakah ia terkena kutukan ibu tiri yang jahat?

Tiba-tiba perutnya mendadak sedikit tak enak, tapi ia tak ambil pusing. Mungkin akibat dari memakan bakso yang lumayan pedas tadi.

Setelah itu ia berjalan keluar toilet menuju kelasnya karena bel sebentar lagi akan berbunyi.

Di tengah perjalanan menuju kelas, banyak yang menatapnya dengan tatapan aneh bahkan ada yang menertawakannya. Agatha pikir karena kejadian di kantin tadi.

'Anjirr itu apaan.'

'Hahaha.'

'Dia yang tadi jatoh bukan?'

'Merah merona neng.'

'Kalo gue si malu.'

'Kasihan dia, bantuin gih.'

'Ogah,'

'Jijik.'

Perkataan orang-orang membuatnya bingung, terlebih ke kata 'jijik' yang membuat hati kecilnya sedikit tersentil.

Kalau bukan kejadian di kantin tadi, terus apa?

Tanpa mendengarkan cemoohan mereka, Agatha tetap berjalan menuju kelasnya yang sebentar lagi sampai dengan kepala menunduk.

Grep

Sebuah tangan seseorang tiba-tiba melingkar di pinggangnya dari arah belakang.

Tubuh Agatha menegang, ia melihat ke arah bawah, dimana sebuah tangan kekar tengah mengikatkan jaket berwarna hitam di pinggangnya.

Setelah selesai seseorang itu menarik kembali tangannya dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana abu-abunya.

Ia mendekatkan kepalanya ke dekat telinga Agatha.

"Lo bocor," bisiknya lalu berjalan pergi dengan santai meninggalkan Agatha yang wajahnya sudah memerah padam.

***

Saat ini Agatha berada di halte bis. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 15 menit yang lalu.

Wajahnya terlihat bingung. Ponselnya tiba-tiba mati, jadi ia tak bisa menelfon orang rumah untuk menjemputnya. Jika ia masih punya uang sisa, ia tak akan sebingung ini. Hampir semua murid sudah pulang, hanya ada segelintir orang yang masih ada di sekolah.

Agatha mendongak ke atas, memandang langit yang mulai menggelap menyisakan awan-awan berwarna kelabu.

Brumm

Brumm

Agatha mengalihkan pandangannya saat medengar suara derungan motor. Ia melihat sebuah motor sport berwarna hitam dengan seorang pemuda yang memakai seragam sekolah dengan kepala dilapisi helm yang senada dengan motornya.

"Naik," katanya singkat

"H-hah?"

"Cepet naik, bentar lagi hujan. Gue anterin pulang," ucap pria itu

"Ehh, gausah," tolak Agatha. Ia tak percaya orang baru, bisa jadi dia penculik yang menyamar. Ohh titid,aktu tak akan pernah terjadi.

"Udah cepetan. Gue bukan orang jahat," kata pria itu seperti tahu apa yang dipikirkan Agatha.

"Tapi-"

"Udah gak ada tapi-tapian," potong pria itu

Dengan ragu, Agatha menaiki motor besar tersebut, mungkin dia emang orang baik, begitu pikirnya. Daripada jalan kaki yang entah kapan sampainya lebih baik ia naik, kalau pria itu macam-macam tinggal teriak saja, dia masih punya mulut.

Untung saja Agatha masih memakai jaket milik cowok tadi, jadi pahanya aman tak terekspos.

Agatha memegang bahu pria di depannya, takut terjengkang jika tiba-tiba ngebut.

Tapi tak berlangsung lama saat sebuah tangan kekar menurunkan tangannya dan diletakkan tepat di pinggang pria itu.

"Pegangan, gue mau ngebut."

***

"Habis di anterin siapa lo?" tanya Anya, kakak Agatha. Begitu mendengar suara motor yang berhenti di halaman rumahnya, ia berjalan dari ruang tamu menuju pintu keluar. Namun sayangnya pemilik motor itu sudah pergi beberapa detik yang lalu.

"Sama manusia kak," jawab Agatha yang terdengar menyebalkan di telinga Anya.

"Maksud gue dia siapa?!" ucap Anya kesal, matanya melotot membuat Agatha ngeri.

"Agatha gak tau, dia tiba-tiba nawarin buat nganterin. Udah dulu ya kak, Atha masuk dulu. Mau mandi, gerah." Agatha berjalan menuju kamarnya meninggalkan Anya yang wajahnya sudah memerah

"GUE BELUM SELESAI NGOMONG YA!" teriak Anya kesal

"Awas lo gue aduin ke papah."

Di lain tempat, di dalam sebuah bangunan kafe yang rata-rata pengunjungnya remaja sekolah. Dua orang pria duduk di dekat jendela, mereka tampak berbincang-bincang. Di atas meja terdapat tiga buah jus yang belum tersentuh.

"Si El tumben lama datengnya," ucap salah satu pria dengan pakaian kemeja kotak-kotak berwarna biru dengan kancing terbuka, sedangkan untuk bagian dalam memakai kaos putih polos. Wajahnya yang tampan dengan warna kulit sedikit coklat dengan gaya rambut terbelah dan poni kecil.

"Bener lo, sampe lumutan gue nunggunya," sahut pria di depannya, dengan memakai baju kaos hitam dilapisi jaket kulit dan celana jeans. Wajahnya hampir sama dengan pria di depannya. Yaa.. mereka kembar. Yang membedakan adanya bekas luka di pinggir sudut matanya.

Galang, pria dengan bekas luka di sudut matanya, mengedarkan pandangannya ke pintu masuk.

"EL!!" teriaknya begitu melihat sang sahabat memasuki kafe.

"SINI!!"

Pria yang di panggil El mencari asal suara, dan akhirnya menemukan kedua sahabatnya yang melambaikan tangan kearahnya. Ia berjalan mendekat dan tos ala lelaki.

"Wihh, tumben telat? Habis dari mana dulu lo?" tanya Gilang

"Abis beli pesanan bunda dulu," jawab El sembari menyedot jus di hadapannya yang sudah disiapkan sahabatnya. Sungguh pengertian sekali untuk dirinya yang kehausan.

"Ohh, pantesan telat, biasanya juga paling awal," ucap Galang

"Gue kira habis nganterin pacar lo jalan-jalan dulu," lanjutnya

"Nggak lah, baru juga kemarin jalan-jalan."

"Yaa kan lo pindah sekolah ke SMA Rajawali, si Anya kan pasti kangen gitu pengen nempel sama lo," jelas Gilang

"Apasi lo, kek ulet aja nempel," kata Galang menahan tawa

"Mirip," kata Gilang. "Canda El, hehe." Gilang cengengesan saat El menatapnya tajam

Plak

"Sembarangan aja tuh mulut, gitu-gitu juga pacar kesayangan sohib kita," kata Galang dengan tanpa dosanya menabok pelan bibir kembarannya.

"Sakit mony*t!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku