"Astaga ... Shella!" Novanka mendapati sahabat baiknya tergeletak tak bernyawa dengan berlumur darah. Sesaat itu pula, tangis histeris dan teriak menyeruak sang gadis membuat suasana terasa mistis. Seorang perempuan yang dikenal alim dan pendiam oleh warga sekitar, harus meregang nyawa dengan cara yang mengenaskan. Shella mengakhiri hidupnya. Meninggalkan duka lara bagi setiap orang yang berada di dekatnya. Novanka mendapati sebuah catatan dan foto di samping jasad sahabatnya. Dari catatan itu, dia menemukan fakta, Shella telah dinodai. Dia pun beranggapan bahwa hal itulah yang menjadi penyebab sahabatnya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Kehilangan mendalam yang dirasakan Novanka membuatnya ingin membalas dendam. Namun, dia mengalami kesulitan karena tak ada keterangan lain selain catatan dan foto yang dimilikinya. Selain itu, nama laki-laki yang menodai sahabatnya pun tak disebutkan di dalam catatan. Dengan hanya bermodalkan catatan dan foto tanpa nama, apakah Novanka dapat mengungkap identitas laki-laki yang secara tidak langsung, menjadi penyebab kematian sahabatnya?
"Astaga ... Shella!"
Novanka mendapati Shella, sahabat baiknya, tergeletak tak bernyawa dengan berlumur darah di dalam kamar mandi kontrakannya.
Sesaat itu pula, tangis histeris dan teriak menyeruak sang gadis membuat suasana terasa mistis. Kerumunan insan penasaran tak dapat tertahan. Mereka segera menyambut suara Novanka yang terus melantunkan nada kesedihan.
Setiap orang yang datang saling berebut jalan masuk dari pintu kecil di ruangan tempat Shella berada. Tak ada yang lepas dari rasa terkejut saat mereka melihat seorang perempuan yang dikenal alim dan pendiam oleh warga sekitar, harus meregang nyawa dengan cara yang mengenaskan. Shella mengakhiri hidupnya sendiri. Meninggalkan duka lara bagi setiap orang yang berada di dekatnya.
"Neng ... kamu yang sabar, ya," ucap Sara, salah seorang warga yang datang pada saat itu.
Novanka tak menghiraukan. Dia tak dapat melepaskan dekapannya dari tubuh Shella yang sudah tak bernyawa, perempuan yang begitu mengerti keadaannya, tempat berbagi suka dan duka, kini telah tiada.
Dia membelai wajah perempuan yang telah menutup mata untuk selama-lamanya. Setiap tetes air mata yang jatuh, tak luput dari sebuah harapan, ini bukan kenyataan.
"Aku harus berkeluh kesah kepada siapa lagi, Shel? Saat aku pulang kuliah, kamu adalah satu-satunya orang yang aku tunggu untuk menemani tidurku di sini," ucapnya dengan kondisi tubuh yang kian tak karuan.
Sara berusaha menjauhkan Novanka dari jasad Shella. Dia mencoba menenangkan perempuan yang hampir tak sadarkan diri karena telah kehilangan seorang sahabat.
Perlahan, suara tangis berubah desis. Novanka menegarkan diri. Seorang pemuka agama di daerah tersebut menghampiri, sesaat setelah sebuah kabar menyebar.
"Neng, apakah almarhumah Shella mempunyai keluarga?"
Gadis itu kembali menangis sedu karena sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Pasalnya, Shella adalah perempuan sebatang kara yang hidup bersamanya.
"Hanya aku dan orang tuaku yang menjadi keluarganya," jelasnya.
Novanka sudah bersama Shella sejak tiga tahun lalu. Meskipun dalam satu atap yang sama, kehidupan mereka jauh berbeda. Novanka terlahir dari keluarga kaya raya, sedangkan Shella harus berjuang sendirian untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Pemuka agama bersama beberapa warga pun akhirnya mengangkat jasad perempuan itu keluar dari kediamannya. Mereka memutuskan untuk mengebumikan Shella di hari yang sama.
Sementara itu, Sara memapah Novanka yang sedari tadi tak henti-hentinya meneteskan air mata. Dia terus memegangi pundak sang gadis sembari memberikan petuah.
"Neng, kamu harus sabar. Ini adalah ujian. Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian."
"Aku tahu, Bu. Tapi kenapa dia harus meninggal dengan cara seperti ini, Bu? Aku tak rela jika harus kehilangan dia," ucapnya penuh lirih.
"Sudahlah, Neng. Sudah menjadi suratan Yang Maha Kuasa, kita hanya dapat menerima semua ini. Ayo, kita harus segera mengurus jenazahnya!"
Meski terlalu berat untuk merelakan kepergian sahabatnya, gadis dengan paras ayu itu tetap mengikuti satu per satu dari serangkai pengurusan jenazah sahabatnya.
Saat setiap orang sudah berlalu, Sara tak beranjak dari pemakaman untuk menemani seorang gadis yang tak ingin lepas dari sisi batu nisan. Berulang kali dia mengusap pundak dan kepala Novanka yang sedari tadi terus berderai air mata.
"Hari sudah mulai gelap, Neng. Nggak baik bagi seorang gadis berada di tempat seperti ini di malam hari," ucap Sara.
Novanka pun menuruti ajakan Sara. Mereka berjalan beriringan menuju tempat kediaman. Tempat terciptanya seribu kenangan bersama Shella.
Sementara itu, sebuah mobil sedan hitam dengan lampu strobo terparkir di antara motor warga yang masih berkerumun.
"Apakah almarhumah Shella meninggalkan pesan atau melakukan gerak-gerik mencurigakan sebelum dia meninggal?" tanya Sukarta, seorang petugas kepolisian yang melakukan penyelidikan atas kasus kematian itu.
"Tidak, Pak. Kemarin dia baik-baik saja. Bahkan sebelum aku berangkat kuliah, dia masih terlihat ceria. Tidak ada satu hal pun yang mencurigakan darinya," terang Novanka menjawab pertanyaan Sukarta.
Petugas kepolisian itu pun melayangkan beberapa pertanyaan lanjutan kepada Novanka. Dia merasa kesulitan karena menurut keterangan para warga, tidak ada tanda-tanda kekerasan dalam jasad Shella.
Pihak kepolisian akhirnya menutup kasus itu karena pada kenyataannya, sang perempuan mengakhiri hidupnya sendiri.
Meskipun demikian, Novanka tidak merasa puas walaupun tidak ada seorang pun yang mengetahui penyebab kematian sahabatnya. Dia menelusuri setiap jejak langkah, berharap menemukan sebuah petunjuk.
Setiap orang yang dekat dengan sahabatnya tak luput dari sebuah pertanyaan, apakah Shella menunjukkan keanehan?
Saat Novanka meratapi kematian sahabatnya, seorang warga menghampiri, "Saya menemukan ini berada di tempat yang sama saat Shella meninggal."
Secarik kertas berisikan catatan dan sebuah foto berlumur darah diserahkan oleh warga itu kepada Novanka. Sang gadis pun terkejut saat melihat isi dari catatan yang diterimanya.
"Ini ... ini adalah tulisan tangan Shella!"
Kesedihan yang terpancar dari wajah sang gadis seketika berubah marah merah membara. Di dalam catatan itu terdapat sebuah pesan bahwa sahabatnya telah dinodai oleh laki-laki yang tidak diketahui identitasnya.
Novanka memeluk erat kertas peninggalan Shella, "Siapa pun orangnya, aku akan membalaskan dendam untukmu, Shel. Aku tidak akan membiarkan hidup laki-laki itu merasa tenang karena perbuatannya."
Secercah harapan muncul untuk mengungkap misteri kematian Shella. Novanka bergegas menemui Sukarta untuk meminta bantuan dari pihak kepolisian. Dia berharap dapat melacak keberadaan pelaku yang sudah membuat sahabatnya harus mengakhiri hidup.
"Pak, apakah bapak dapat mengetahui lokasi dari orang yang ada di foto ini?" tanya Novanka cemas.
"Kami akan berusaha sebaik mungkin, Mbak. Saat ini tim kami sedang melakukan pemindaian foto itu dan akan melakukan pencocokan dengan catatan kepolisian dan data kependudukan," jelas Sukarta.
"Baik, Pak. Tolong segera memberi kabar jika sudah mendapatkan hasilnya."
Novanka pun beranjak pulang kembali. Berjalan perlahan sembari mencari cara untuk membalaskan dendam atas kematian Shella. Dia sadar, pelaku tidak merenggut nyawa sahabatnya secara langsung. Bukti yang dimilikinya pun tak cukup kuat untuk menjadikan pelaku itu sebagai tersangka. Oleh karena itu, dia harus menemukan cara agar membuat pelaku itu merasakan sakit yang teramat sangat tanpa merenggut nyawa.
Belum sampai di tempat kediaman, Novanka mendapatkan kabar dari pihak kepolisian bahwa orang yang ada di dalam foto tersebut mempunyai tempat tinggal di sebuah daerah yang berjarak dua puluh kilometer dari kediamannya.
Tanpa berpikir lama, Novanka menuju tempat yang diarahkan kepadanya. Dendam membara yang merasuki hati membuat larutnya petang tak menjadi penghalang.
Hati sang gadis kembali pilu, denyut nadi kian tak menentu, dan napas yang kian menggebu saat dia mendapati seorang laki-laki sedang duduk di sebuah warung kopi.
"Dia ... dia laki-laki yang ada di dalam foto!"
Novanka berjalan menghampiri dengan kedua tangan yang mengepal. Tatap mata dan raut wajah sang gadis sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa murkanya dia terhadap laki-laki itu.
"Hei ... kamu! Tunggu dulu, jangan pergi!"
Buku lain oleh Rurouni
Selebihnya