Lia mengecup punggung tangan kananku dengan tawadlu' setelah Lia menduduki ranjangnya yang kali ini aku buat merebah. Apakah ini benar-benar kamu, Sayang? Kali ini Lia tengah memakai Tunik orange dengan rok bawahan berwarna hitam blus. Hijabnya pashmina yang terlilit menyamping seperti gaya hijab anak muda perempuan zaman sekarang. Semua sangat serasi dengan kulitnya yang kuning langsat mirip sepertiku. Wajahnya tenggelam dalam kecupannya yang mendarat di punggung tanganku. Aku terbangun. Dan menyentuh lembut pundak kanannya dengan menggunakan sentuhan tangan kiriku. Aku mendengar isak tangisnya yang menggebu, lalu mendengar kata maaf yang Lia ucapkan berkali-kali. Sekarang, apakah aku boleh memeluknya untuk sekali? Aku ingin menenangkannya dengan menghamburkannya dalam dekapanku.
Neng Ay
"Hmm ... Mbak, maaf Mbak ...."
Aku membantu Mbak itu berdiri, sambil cepat-cepat mengusap air mataku yang meleleh terus.
Di pesantren ini, aku tidak mengenal siapapun. Semua benar-benar terlihat begitu asing, begitu berbeda.
Aku lebih suka dengan Pondok Pesantrennya Uminya Gus Ammad. Yang meski harus sendiri, untuk tidur di kamar ndalemnya.
Namun aku, bagai menerima beribu ketenangan yang membuat aku bisa mendekat diri ke Allah dengan sholat sunahku.
"Iya tidak apa-apa, Dik. Mbak juga yang salah tadi tidak melihat kamu ...."
"Sakhsi ...."
Belum aku menjawab yang barusan dikatakan Mbak itu, dia sudah berlalu menghampiri seorang teman yang memanggilnya.
"Mas Ammad, kulo hanya ingin panjenengan ...."
Hatiku masih saja meronta memanggil nama yang sama, yaitu nama Mas Ammad. Bagaimana nama itu akan bisa terganti dengan nama Gus Wahyu? Aku bahkan seperti menduga, kalau nama Mas Ammad saja yang akan tetap ada.
Namun bagimana dengan masa depanku ini? Mau tidak mau, aku harus menggantikan nama Mas Ammad Menjadi nama Gus Wahyu.
Air mataku meleleh tiada henti, sementara kenangan itu selalu teringat dan datang tanpa mau pergi.
"Hari-hariku yang lelah, namun setiap kali aku melihatmu tersenyum ... maka hilanglah semua letihku."
Senyum Mas Ammad berasa terlihat di mana-mana.
Suara Mas Ammad menganggaung juga di mana-mana.
Kebersamaan yang tanpa sengaja itupun juga teringat dan mengalir terus di benakku.
Sunyinya malam yang syahdu membeku bersama ketakutan yang beradu di kala aku dengan Mas Ammad terjebak di ruangan itu. Hembusan angin yang terasa berbeda itu juga masih teringat jelas.
Aku ingin teriak namun tidak bisa. Mengeluh kepada siapa kah, aku?
Aku harus mengusap air mata ini, tidak ada yang boleh tahu kalau aku ini menangis mengingat Mas Ammad.
Karena aku di sini bukan hanya santri putri biasa namun aku adalah milik tunanganku.
Benar, Mas Wahyu.
Aku menuju tempat air wudhu dengan dada sesakku yang menahan tangis, lalu aku wudhu di sana.
Berasa semua air mataku tersapu bersama air wudhu itu, namun tetap saja menetes dengan deras kembali.
Selesai.
Aku mengambil mukenah, kemudian mendirikan sholat dan masih rokaat pertama hatiku berasa resah kembali. Air mataku malah semakin deras.
"Ya Allah, berikan ketenangan kepadaku. Semua ini begitu berat, aku seperti tiada kuat menjalani semua ini ...."
Aku bersujud dalam sholatku, membungkam tangisku di sana. Bersama air mata yang terus mengalir begitu saja.
Usai salam, aku melihat mukenah putih pemberian Mas Ammad yang di mana di bagian bawah dadaku basah penuh air mata.
Aku meraba mukenahku yang bagiannya tidak ada air mata, lalu mencium mukenahku itu.
Harum ini yang selalu mengingatkanku pada parfum Mas Ammad.
Mengingatkan kenanganku kembali. Kenangan yang bila mana aku samakan dengan kenangan-kenangan lain tidak akan dapat menyamai kenangan indah yang aku lalui bersama Mas Ammad.
"Aku mencintai Ay bukan karena nafsu, namun aku berharap dengan Ay aku bisa mengenal cinta yang Allah ridhoi."
Aku mengingat malam itu, suasananya begitu tenang. Begitu mendamaikanku. Aku tersenyum ketika pesan yang dikirim Mas Ammad itu aku membacanya ulang dan mencoba memahami maksud dari pesan itu.
Aku berasa malam itu bukanlah malam yang amat sepi tanpa kehadiran bulan.
Namun malam itu seperti malam panjang namun tidak pernah mengusik kata bahagia dalam hidup dan mimpiku.
Kalau memang Mas Ammad begitu mencintaiku dan Allah memang meridhoi hubungan cinta antara aku dengan Mas Ammad, lalu mengapa perpisahan ini haruslah terjadi?
Aku diam dengan ribuan air mata. Membisu dan mencoba menutupi luka-luka perpisahan yang terus merajamku. Di mana setiap pagi, siang dan malam menjalar bersama rinduku yang terus bersuara.
Apa yang bisa aku lakukan? Ini semua tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Aku tidak pernah menyesal mengenal cinta Mas Ammad, namun aku hanya ingin bertanya kepada Allah.
Kenapa aku bisa dipertemukan dengan Mas Ammad lalu memisahkanku dengannya seperti ini?
Cinta itu begitu cepat, tanpa aku sadari keindahan cinta itu terasa terampas dari hidupku.
Cinta yang tiba-tiba bersemi dan aku rasa cinta yang akan menjadi masa depan terindah ternyata menjadi cinta yang aku kenang dengan kesedihan yang membara.
Ketika sedih itu, air mataku terusap dengan nasehat Mas Ammad yang mengalir. Ketika kesuksesan itu, Mas Ammad dengan bangga memberiku dukungan.
Ketika kegagalan itu, Mas Ammad mendampingiku agar aku tegar dan tetap kuat.
Ketika semua orang menjauh dariku, ada Mas Ammad yang mendekatiku dan mengajarkan apa itu cinta.
Semua terkenang dalam hatiku, hanyalah nama Mas Ammad yang kian mekar.
Meski perpisahan ini sudah terjadi, mengapa hatiku selalu yakin kalau Mas Ammad masih mencintaku dan akan terus mencintaiku? Mengapa aku begitu sulit melepas Mas Ammad?
Mengapa aku begitu terluka dengan perpisahan ini?
Sungguh terlalu dalamkah cintaku kepada Mas Ammad?
Ujian apa ini wahai tuhanku? Kenapa hati yang sudah terlanjur menyatu haruslah terpisah? Apa salah dua hati yang menyatu itu ya Allah?
"Dik, kamu tidak apa?"
Aku merasakan dari belakangku ada yang memegang pundak kananku.
Suara perempuan dan aku sepertinya barusan mendengar nada suara yang mirip dengan itu. Apakah Mbak kamar yang tidak sengaja aku buat jatuh tadi?
Aku mencoba mengusap air mataku dengan cepat. Lalu menghadap ke arah suara perempuan yang barusan menanyaiku. Apakah dia tahu kenapa alasan aku menangis?
"Kamu menangis?"
Pandanganku menunduk ke bawah. Air mata yang seharusnya aku sembunyikan justru malah mengalir lebih deras.
"Kamu kenapa, Dik?"
Mbak itu mengusap air mataku. Siapa Mbak ini? Aku tidak pernah mengenalnya dan hanya sekali bertemu dengannya ketika aku tidak sengaja menabraknya tadi. Kenapa Mbak ini bisa ke sini? Apakah tahu semua aku ini siapa?
"Tidak ada apa-apa, Mbak ...."
Aku memalingkan wajah setelah air mataku disekanya.
Aku tidak mau, ada orang lain tahu kalau aku memang lagi sedih. Termasuk Mbak yang sedang ada di hadapanku ini.
"Dengar, semua sudah pada tidur. Tinggal kamu Dik, yang sedang menangis terus di sini. Kamu tidak mau bubuk?"
Aku menggeleng dan kepalaku semakin menunduk.
Air mataku rasanya mulai kering, mataku terasa sembab seperti orang yang habis terkena beberapa pukulan.
Semua yang aku lihat juga begitu samar, dadaku sesak sehingga nafasku tersenggal-senggal.
Mbak ini, kenapa bisa ada di sini? Mengapa dia saja yang tahu kalau aku sedang menangis?
Benar kata Mbak ini, tanpa aku sadari ketika terbenam dalam tangisan. Ramainya pesantren mendadak terubah menjadi suara sunyi.
"Ikut, Mbak, yuk ... tidur sama, Mbak ...."
Aku menggeleng.
Aku tidak ingin pergi ke kamar dengan keadaanku yang seperti ini.
Aku tidak akan bisa menemui mereka teman-teman kamar baruku yang akan banyak bertanya kenapa aku menangis?
"Mbak pergi saja, aku tidak bisa ke kamar. Aku seperti orang yang habis dipukulin, Mbak. Tidak apa, Mbak pergi saja. Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku sedang sedih."
"Kamu sedih karena apa, Dik?"
Daguku diangkat oleh Mbak yang ada di depanku.
Aku menelan ludah, sambil menyembunyikan mataku.
Badanku masih gemetar dan lemas. Akupun malas juga untuk beranjak dari mushola pesantren ini.
Buku lain oleh Istri Tuan Iqbal
Selebihnya