Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Drama Takut Nikah Berujung Akad

Drama Takut Nikah Berujung Akad

Lia Aganaya

5.0
Komentar
Penayangan
7
Bab

"Menikah? Aduh, nggak dulu deh." Daniel Zionathan, aktor 27 tahun, sangat takut akan pernikahan. Baginya, menikah berarti kehilangan kebebasan dan terikat pada komitmen yang mengekang. Sementara Alicia Agandana, seorang gadis ambisius yang sedang menjalani masa spesialisasi untuk mendapatkan gelar dokter sungguhan, memilih karier sebagai prioritas utama, jauh dari pikiran untuk menikah. Mereka berdua tidak hanya saling tidak menyukai, tetapi juga sangat tidak cocok. Karakter mereka yang bertolak belakang dan perbedaan frekuensi membuat mereka sulit untuk bersatu. Alicia telah mengenal Daniel sejak sekolah dulu, dan mengetahui betapa jauh berbeda kepribadian mereka. Namun, takdir berkata lain, orang tua mereka mempersatukan mereka berdua. Terjebak dalam perjodohan yang tak diinginkan, keduanya berusaha keras untuk menolak. Akankah mereka mampu mengatasi ketakutan akan pernikahan dan menemukan cinta yang tak terduga?

Bab 1 01 | Ciuman Persahabatan

"Kapan nikah?"

Daniel terdiam mendengar pertanyaan itu. Tanpa disangka, datang begitu saja, seperti bola liar yang tiba-tiba melayang dan mengenai kepalanya. Ia menoleh perlahan, melihat sosok ibu tetangga sudah duduk santai di sampingnya sambil memeluk anjing kecil berbulu putih.

Daniel hanya diam. Dalam hati, rasa kesalnya sudah meledak. "Serius? Aku cuma mau joging malam, bukan dengerin ceramah soal nikah."

"Nikah itu penting loh," lanjut ibu itu, suaranya penuh dengan nasihat. "Jangan kelamaan, nanti keburu jadi pejaka tua."

Daniel masih diam, masih menahan kesabarannya, namun rahangnya mulai mengeras. "Pejaka tua? Oh, terima kasih atas ingatannya, Bu. Padahal aku cuma mau olahraga, malah dapat hinaan gratis," batinnya lagi.

Meski begitu, Daniel berusaha tetap bertahan. Ia meneguk air mineralnya, berusaha menenangkan diri. Namun detik berikutnya, ibu itu kembali membuka mulut.

"Salang banget wajah tampan kamu nggak diwariskan. Gimana kalau nikahin anak saya aja?"

Daniel yang sedang menelan air tersedak. Ia buru-buru menepuk-nepuk dadanya, matanya membelalak kaget. "Apa? Nikahin anaknya?" tanyanya dalam hati. Ia terdiam sejenak.

"Mau nomor anak saya nggak?" lanjut ibu itu sambil mengulurkan ponselnya dengan semangat.

Daniel sudah tidak sanggup lagi menghadapi ibu itu. Ia menoleh ke arah lain, berusaha mencari alasan untuk pergi.

Tanpa kata-kata lagi, Daniel berdiri mendadak. Ia memberi anggukan kecil sebagai tanda pamit, lalu melangkah cepat meninggalkan taman. Napasnya mulai terengah-engah, bukan karena jogging, tapi karena percakapan absurd itu.

Begitu sampai di depan pintu rumah, Daniel menyandarkan punggung ke pintu dan menghela napas panjang. "Jogging malam biar tenang. Eh, malah ditanyain kapan nikah?"

Ia menggelengkan kepala, membuka pintu, dan masuk ke dalam rumah dengan langkah berat.

"Kenapa, Dan? Pulang joging kok lesu banget," tegur Agala, saudara tertua Daniel, yang berdiri di dekat tangga dengan ekspresi bingung melihat mimik wajah adiknya.

Daniel hanya menghela napas panjang tanpa menghiraukan saudaranya. Ia berjalan menuju dapur. "Sial, hari ini menyebalkan banget," ucapnya lesu sambil membuka lemari es untuk mengambil air dingin.

Agala yang mengikuti adiknya, bersandar santai di meja dapur, memandang Daniel dengan alis terangkat. Ia hanya mendengarkan keluhan adiknya itu.

Daniel duduk di kursi dekat meja makan, membuka botol air dengan gerakan lambat, meneguknya dalam-dalam, kemudian berbicara. "Kak," panggilnya sambil menatap botol itu seolah mencari jawaban di dalamnya, "Aku mulai merasa gila. Orang-orang terus nanya kapan nikah. Apa pernikahan itu kayak oksigen buat pria dewasa? Kalau nggak nikah, bisa meninggal gitu?"

Agala pun tertawa.

Daniel meletakkan botolnya di meja dengan suara keras.

"Beritahu aku, Kak, apa untungnya menikah? Apa cuma buat melepaskan status perjaka? Kalau itu alasannya, aku sudah meniduri wanita sebelum menikah. Jadi apa gunanya menikah kalau cuma buat menghindari gelar 'pejaka tua'?" tanyanya dengan nada kesal.

Agala tertawa lagi, kali ini lebih keras, dan ikut duduk di kursi sebelah adiknya. "Daniel, Daniel," katanya sambil menggelengkan kepala. "Dengar, menikah itu bukan cuma soal status dan keperjakaan. Tapi tentang komitmen, tentang membangun keluarga, tentang..."

"Stop," potong Daniel cepat, mengangkat tangannya. "Aku sudah muak dengan jawaban itu. Apa belum ada jawaban lain?"

"Tapi-"

"Udah, aku rasa butuh tidur sekarang. Nasehatnya besok aja." Daniel berdiri mendadak, mengambil botol airnya, lalu berjalan meninggalkan dapur sebelum Agala bisa berkata lagi.

"Tapi aku juga ingin kau segera menikah, Daniel. Usiamu sudah cukup untuk itu, dan aku nggak suka dengan kebiasaan burukmu yang meniduri wanita tanpa menikahinya dulu." Agala berhasil menghentikan langkah Daniel.

Pria dengan rambut ikal kecoklatan itu, satu-satunya anak bermata biru di rumah pun menoleh.

"Pelankan suaramu, Kak. Kalau ayah dengar, dia akan membunuhku."

Daniel melangkah menuju kamarnya, bergumam pelan, "Kenapa sih semua orang obses sama pernikahan? Aku nggak mau jadi pria yang diatur-atur istri. Gak mungkin! Pernikahan itu kayak penjara tanpa jalan keluar. Aku nggak nikah pokoknya."

Ia masuk ke kamar, menutup pintu dengan napas berat. Ia jatuh ke tempat tidur, menatap langit-langit, dan berbisik pada dirinya sendiri, "Nikah? Aduh, nggak dulu deh."

...

Setelah beberapa saat merenung di kamar, ponsel Daniel berdering dan ia pun bergerak malas mengambil ponsel yang terletak di atas bantalnya.

"Hai Daniel, bisa datang ke apartemenku? Ingatkan, ada hari spesial hari ini?"

Ia mendapat pesan dari temannya. Sofia. Merasa butuh hiburan Daniel cepat mempersiapkan dirinya untuk bertemu wanita yang sekaligus sebagai parther kerjanya itu.

"Ayo Daniel, saatnya pesta," ucapnya pada diri sendiri agar semangat untuk pergi.

Selesai bersiap Daniel keluar dari kamarnya dengan penampilan rapi. Ketika turun menuju ruang tamu, ia tak sengaja bertemu Agala yang sedang duduk di sofa. Padahal sudah jam 11 malam, tapi pria itu masih saja terjaga. Entah apa yang dia lakukan.

"Mau kemana jam larut begini?" tanya Agala, alisnya terangkat sambil melirik sang adik yang berpakaian rapi dengan tema serba hitam.

"Santai, santai, cuma cari angin malam aja kok."

"Balik ke kamar dan lupakan cari angin," pinta Agala yang tidak mudah dibodohi. Dia tahu adiknya itu pasti mau keluyuran. Pergi ke bar atau melakukan hal yang tidak bermanfaat lainnya.

"Ayolah, Kak, aku bukan anak SD lagi. Sudah 27 tahun dan ini urusan pria dewasa. Ok?" Daniel tersenyum manis sambil menepuk-nepuk pundak saudaranya.

Merasa tidak didengar dan tidak dihormati, tanpa berkata apa-apa lagi Agala segera meninggalkan Daniel dengan rasa kesalnya.

"Aku cuma ke pesta temanku! Ayolah!" Namun Agala, tetap tidak mendengarnya.

"Terserah deh kalau mau marah." Daniel yang tidak peduli pada Agala pun berjalan keluar dan meninggalkan rumah. Begitu ia keluar, langkahnya menjadi lebih cepat menuju mobilnya dan melaju tanpa memikirkan apapun kecuali sampai dengan lebih cepat.

Setelah beberapa menit perjalanan, Daniel akhirnya sampai di depan gedung apartemen Sofia. Sebelum mengetuk pintu, ia menarik napas sejenak dan memandang sekilas ke arah buket bunga yang ia bawa sebagai hadiah. Dengan senyum kecil, ia mengetuk pintu.

Beberapa detik kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Sofia menyambutnya dengan senyuman hangat yang menyinari wajahnya. "Hai, Dan," sapanya.

Daniel tersenyum lebar. "Hai," balasnya.

Wanita itu mendekat, mereka berpelukan dan cium pipi kiri, dan kanan sebagai salam ramah.

Setelah itu Daniel mengangkat buket bunga yang ia bawa. "Selamat ulang tahun, Sofia," katanya sambil memberikan bunga itu dengan tulus. "Aku tahu kamu nggak suka kado, jadi... ini hadiah paling spesial untukmu."

"Wow, terima kasih banyak, Daniel. Aku nggak tahu harus bilang apa. Ini benar-benar cantik," ujar Sofia sambil menerima bunga itu, tampak terharu dengan perhatian yang diberikan Daniel.

Daniel tersenyum, merasa puas melihat reaksi Sofia. "Sama-sama."

"Ayo masuk," ajak Sofia sambil melangkah ke dalam apartemen.

Sofia membukakan pintu lebih lebar dan mempersilakan Daniel masuk.

Begitu masuk, Daniel merasakan suasana hangat dan intim di dalam apartemen yang didekorasi dengan sederhana namun elegan. Beberapa lilin wangi menyala, menciptakan atmosfer yang tenang. Di meja ada beberapa botol anggur dan minuman biasa serta makanan kecil yang tersusun rapi. Tentu ada kue ultah di meja itu.

"Selamat datang di rumahku," kata Sofia sambil menutup pintu dan menunjukkan Daniel ke ruang tamu. "Aku sengaja hanya mengundangmu untuk merayakan ulang tahun kali ini. Ya, selain lebih hemat dan aku juga sedang malas bertemu banyak orang."

"Wow, aku merasa terhormat.. Hanya ada aku, pasti akan menyenangkan. Haha."

Sofia ikut tertawa. "Kamu kan, sahabat terbaikku, Daniel."

Daniel mengangguk lalu tersenyum.

Mereka duduk bersama di sofa besar, berbincang santai sambil menikmati segelas anggur yang disediakan Sofia. Mereka tertawa bersama, berbicara tentang berbagai hal dari pekerjaan hingga cerita lucu yang membuat mereka semakin dekat.

Ketika percakapan mulai mereda, mereka memutuskan menari, bernyanyi, dan sampailah pada momen canggung. Sofia menatap Daniel dengan tatapan lebih intens. "Kamu tahu, Daniel, aku senang kamu ada di sini," ucapnya, suaranya lembut namun penuh rasa.

Daniel tersenyum dan membalas tatapan itu. "Aku juga senang bisa ada di sini. Rasanya... malam yang luar biasa. Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sofia." Ia mengangkat gelas dan bersulang bersama sahabatnya itu.

Sofia meletakkan gelasnnya di meja, lalu menarik napas dalam-dalam dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Daniel. Hening. Mereka saling menatap satu sama lain.

"Daniel..." Tangan Sofia menuntun Daniel untuk meletakkan gelas pria itu.

Perlahan, wajah Sofia semakin dekat. Hidung mereka telah bertemu. Helaan napas Sofia yang semakin cepat dapat Daniel rasakan. Wanita itu kemudian memejamkan mata, memiringkan sedikit kepalanya lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Daniel. Ciuman itu dimulai dengan lembut, tapi segera berubah menjadi lebih intens saat keduanya saling membalas.

Alunan musik yang tenang seperti mengikuti permainan mereka. Sofia semakin berani. Terus maju hingga Daniel termundur ke sudut sofa. Gadis itu terus menuntun permainan mereka. Namun, ciuman berhenti saat mereka harus mengambil napas kembali.

Debaran jantung Sofia semakin kencang. Sementara Daniel tak berhenti menatap gadis itu. Ini kali pertama mereka melakukannya. Mereka memang sudah berteman lama tapi Daniel tidak tahu jika Sofia akan melakukan ini.

"Daniel..." Sofia tak sempat bicara lebih jauh, Daniel langsung melumat bibirnya dengan ganas tapi melembut perlahan.

Sofia yang tadinya memimpin kini tidak lagi. Daniel mengambil alih. Meskipun begitu, ia tidak melangkah lebih jauh. Hanya sekedar ciuman lalu Daniel mengakhirinya.

"Kita pasti sudah terlalu mabuk," ucap Daniel yang berdiri, beranjak ke dapur Sofia. Membuka lemari es dan meneguk minuman dingin.

Sofia yang duduk di sofa terus menatap punggung Daniel. Matanya tak berpaling sedikitpun.

Saat Daniel berbalik, ia terkejut, terpaku saat Sofia memeluknya dengan sangat erat.

"Ke-" ucapan Daniel terpotong. Sofia mencium bibirnya.

Gadis itu lalu tersenyum. Tatapan yang sulit Daniel artikan. Sofia kemudian meraih tangannya, membimbingnya ke arah ranjang.

Gadis itu duduk di tepi ranjang, lalu menarik Daniel perlahan untuk duduk bersama. Sofia mendekatkan wajahnya ke arah Daniel. Hanya ada sedikit jarak antara mereka. Tangan wanita itu menyentuh dada Daniel. Tatapannya penuh godaan.

Daniel mantap Sofia dalam-dalam, antara bimbang, ketertarikan bercampur kebingungan. Ia tahu Sofia adalah sahabatnya. Namun, ia tidak tahu apa niat terselung Sofia melakukan ini.

"Sofia..." Daniel ingin bicara.

Sofia tersenyum sambil mendaratkan telunjuknya ke bibir Daniel. "Jangan khawatir, Daniel. Aku hanya ingin kita menikmatinya. Nggak perlu berpikir terlalu jauh. Ini ulang tahunku, aku hanya ingin bersenang-senang." la kemudian mendekat dan menempelkan bibirnya pada bibir Daniel, mencium dengan lembut, seolah meminta pengertian dan penerimaan dalam satu gerakan.

Daniel membalas ciuman itu, semakin dalam dan penuh, mengikuti aliran perasaan yang menguasai mereka. Meskipun ada ketegangan di dalam dirinya, ia tak bisa menyangkal bahwa ia juga ingin merasakan kehangatan tubuh wanita itu.

Perlahan, Sofia menarik lebih dekat, membimbingnya agar mereka berbaring bersama di ranjang, tubuh mereka saling menyentuh dalam keheningan yang penuh makna. Tidak ada kata-kata yang keluar lagi, hanya napas yang berat dan tatapan penuh arti yang mengalir antara keduanya.

....

Sampai ketemu di part berikutnya

Jangan lupa bintanyanya ya

dan follow aku

terima kasih 💋

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku