Kisah penuh intrik dan tipu daya tentang rahasia yang selalu mengalir dan tak dapat dihentikan, Nafsu yang terus bergolak, serta upaya putus asa untuk mencari kendali di ambang kehancuran. Ketika semua pintu terbuka, pilihan terakhir akan menentukan untuk pergi, bertahan, atau terperangkap selamanya.
Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan lekuk tubuh yang sempurna. Perlahan dia menyisir rambutnya. Alih-alih memandang bayangan dirinya di cermin, tapi matanya selalu terfokus pada layar ponsel di atas meja rias. Benar saja, sebuah pesan baru pun muncul dari Arka:
"Sudah siap, sayang? Aku di lobi."
Hatinya berdebar, bukan karena cinta, melainkan sensasi yang selalu ia cari akan Kembali menghampirinya. Namun, detak jantungnya menjadi seakan terhenti ketika suara Rama, suaminya, tiba-tiba menggema dari balik pintu kamar.
"Nara... Nara, apakah kamu sibuk?" tanya Rama dengan nada datar.
Nara mendesah pelan, menyembunyikan kegelisahannya. Ia berbalik dan membuka pintu.
"Ada apa?" jawabnya singkat.
Rama memandangnya dengan alis berkerut. Matanya memandangi gaun yang dikenakan Nara.
"Kamu... kamu mau ke mana malam-malam begini hah? Dandan segala?" tanyanya tajam.
"Aku ada acara dengan teman-teman." Nara menghindari tatapan suaminya. "Lagian, kamu kan sibuk dengan kerjaan kamu sendiri. Masa aku harus selalu berdiam diri di rumah terus?" imbuh Nara sedikit menyalahkan.
Rama mendekat. Tangannya menyentuh pinggir meja rias, jaraknya hanya beberapa senti dari ponsel Nara.
"Hmm, Teman-teman yang mana? Kenapa aku nggak pernah tahu hah?"
Detak jantung Nara makin cepat. Ia tahu Rama mencurigainya, tapi ia merasa sudah terlalu mahir menyembunyikan semuanya.
"Kamu ini kenapa sih? Nggak percaya sama aku?" Nara mencoba merebut kendali keadaan. Nada bicaranya dibuat biar seolah olah dirinnya sedang kesal, meski dalam hati ia sangat panik. "Aku cuma butuh refreshing, Ram. Itu aja. Nggak lebih"
Rama terdiam, matanya masih menatap Nara lekat-lekat. Lalu tiba-tiba ia mengambil ponsel di meja rias. Nara terkejut dan mencoba merebutnya.
"Rama, jangan! Itu privasi aku!" serunya.
Rama menahan tangan Nara dengan mudah. Matanya menatap layar ponsel yang kini berada dalam genggamannya. Ia membaca pesan dari Arka yang baru saja masuk:
"Aku tunggu di kamar 305, ya. Jangan lama-lama, sayang."
Dunia terasa berhenti bagi Nara. Wajah Rama memucat, dan matanya yang penuh kekecewaan menusuk Nara seperti belati.
"Ini apa, Nara hah! Ini apa?!" bentak Rama, suaranya bergetar penuh emosi. "Kamar 305?! Arka?! Siapa dia, Hah?! Siapa?!"
"Itu... itu cuma... teman biasa, Ram," jawab Nara gugup. "Kamu salah paham..."
"Teman biasa? Di kamar hotel?" Rama membanting ponsel ke lantai hingga layarnya retak. Ia mundur selangkah, memandang Nara seakan wanita di depannya adalah orang asing.
"Jelaskan sekarang, Nara! Jelaskan! Apa kamu sudah... selingkuh?.. benar begitu hah!? Jawab!!"
Air mata menggenang di mata Nara, tapi bukan karena rasa bersalah, melainkan karena ketakutan. Ia mencoba meraih tangan Rama, tapi pria itu menepisnya dengan kasar.
"Aku bisa jelaskan, Rama. Ini bukan seperti apa yang kamu pikirkan..."
"Bohong!" Rama berteriak, membuat Nara tersentak. "Aku sudah lama curiga, tapi aku selalu menutup mata karena aku mencintaimu. Tapi ini... ini nggak bisa dimaafkan, Nara."
Nara terdiam, air matanya mengalir deras. Untuk pertama kalinya, ia merasa sudut gelap hidupnya yang selama ini ia sembunyikan mulai runtuh.
Rama menatap Nara dengan tatapan yang begitu dingin sebelum berbalik dan meninggalkan kamar. Pintu tertutup dengan keras, menggema di seluruh ruangan.
Nara terduduk di lantai, meremas remas ujung gaunnya. Di dalam hatinya, ia tahu semuanya mubkin tidak akan pernah sama lagi.
Setelah kepergian Rama, Nara mematung di tempatnya. Suara pintu yang terbanting masih bergema di telinganya. Ia memandang ponsel yang kini tergeletak di lantai dengan layar retak. Pesan-pesan Arka masih terlihat, seakan menjadi saksi bisu dari kebohongan yang selama ini ia sembunyikan.
"Bodoh," gumam Nara pada dirinya sendiri. Tapi meski ada rasa sesal yang menyeruak, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan pertama kalinya, dan mungkin bukan yang terakhir.
Malam itu, Nara tidak pergi ke hotel seperti yang direncanakan. Ia hanya duduk berdiam diri di kamar, mencoba memahami apa yang sebenarnya salah dengan dirinya. Bukannya menyesali perbuatannya, tapi dia mencari cari cara untuk membuat suaminya percaya lagi padanya.
Belum juga ia menemukan jawaban yang dicarinya, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Apakah itu Rama? Apakah ia kembali? Dengan hati-hati, Nara berjalan menuju pintu dan membukanya.
Ternyata bukan Rama. Di depan pintu berdiri Dita, sahabat lamanya yang sudah lama tidak berkomunikasi dengannya.
"Dita? Malam-malam begini, ada apa?" Nara bertanya dengan nada terkejut.
"Aku tahu aku nggak punya hak buat datang tiba-tiba," jawab Dita sambil tersenyum tipis. "Tapi aku butuh bicara sama kamu. Ada yang harus kamu dengar."
Nara mengangguk pelan, memberi isyarat agar Dita masuk. Kamar yang sebelumnya penuh dengan ketegangan kini mulai terasa sedikit lebih hangat dengan kehadiran sahabatnya.
"Aku dengar Rama marah tadi. Aku nggak sengaja lewat dan dengar suara kalian," ujar Dita, memulai pembicaraan. "Ada apa, Na? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Nara terdiam sejenak. Ia menatap Dita dengan mata yang penuh kebingungan, lalu menghela napas panjang.
"Aku..." suara Nara bergetar. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Dit. Aku merasa hidupku berantakan."
Dita memegang tangan Nara, memberi dukungan tanpa mencoba sedikit pun menghakimi.
"Aku di sini untuk kamu, Na. Apa pun yang terjadi, aku nggak akan pergi ke mana-mana. Ceritakan saja semuanya."
Nara pun menceritakan apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu.
...
"Oh, kamu ketahuan?! Haha... hhaha.." Dita tetawa setengah mengejek.
"Hey! Kamu sudah gila kah? Kenapa mentertawakanku?" Nara menatap Dita dengan ekspresi penuh tanda tanya.
"OK, aku punya pertanyaan... kamu inget kejadian yang menimpaku beberapa bulan lalu kan?"
"Ya, kamu pernah diusir oleh suamimu karena dituduh selingkuh." Jawab Nara, mengingat ingat.
"Selama kita belum ketangkap basah, masih banyak peluang untuk menyelamatkan diri." Ucap Dita setengah berbisik.
"Terdengar masuk akal, Tapi gimana caranya?" Nara mulai antusias.
"Hanya satu kuncinya, kamu harus menemukan kesalahan Rama yang persis seperti kesalahanmu. Kalau bisa yang lebih ekstrim dari kesalahanmu. Atau Bahasa sedrhananya adalah, kamu harus punya kartu As suami kamu." Dita meyakinkan layaknya seorang motivator.
"Perlu waktu untuk mendapatkannya, dan lagi, aku belum mencium jika Rama berselingkuh"
"Aku percaya satu statmen klasik. Lelaki tidak pernah setia. Jadi, meskipun kamu tidak menemukan kartu As suami kamu, kamu bisa membuatkannya kartu As. Paham masksudku Kan?"
"Aku paham, Tapi kita harus merencanakan semua ini sematang mungkin, Dit"
"Itu harus. Bahkan kita pun harus punya rencana B, jika rencana A tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan karena suda larut malam, aku pulang dulu."
"Makasih ya Dit, untungn kamu datang."
"Santai aja Nara. Ohya satu lagi, Kamu harus membuat kecurigaan suami kamu mentah. Apapun caranya."
"Gimana caranya?" Nara penasaran.
"Nanti aku beri tahu di chat. Aku pulang dulu ya?
"Makasih ya?
Dita pun beranjak dari kamar Dita. Selepas menutup pintu kamar, Dita menerbitkan seutas senyum yang sedikit misterius.
Bab 1 PYTPT
10/01/2025
Buku lain oleh Gibran Dangumaos
Selebihnya