Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DUA WAJAH CINTA

DUA WAJAH CINTA

SOENARYATI

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Seorang wanita yang merasa hubungannya membosankan menemukan pria baru yang membuatnya merasa hidup kembali. Ketika ia mencoba menjalani dua kehidupan, ia harus memilih antara cinta lamanya atau cinta baru yang penuh risiko.

Bab 1 Kehidupan yang Terjebak

Pagi itu, Maya duduk di meja makan sambil menatap piringnya yang berisi roti panggang yang sudah dingin. Sinar matahari masuk melalui jendela dapur, tapi tak mampu menghangatkan hatinya. Arman duduk di seberang meja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Diam-diam, Maya menghela napas panjang.

"Man," panggil Maya dengan suara pelan.

"Hmm?" sahut Arman tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

"Kamu sibuk terus akhir-akhir ini. Kita jarang ngobrol," kata Maya, mencoba mencari perhatian.

"Aku harus balas email ini dulu. Ada deadline dari kantor," jawab Arman cepat, sebelum kembali mengetik.

Maya menunduk, menggigit roti panggangnya yang hambar. Kata-kata seperti itu sudah terlalu sering ia dengar. Ia ingin berbicara tentang banyak hal-tentang dirinya, perasaannya, atau sekadar mengeluh tentang rutinitas. Tapi, setiap kali ia mencoba, Arman selalu punya alasan untuk tidak mendengarkan.

"Maya, kamu mau teh lagi?" Arman akhirnya menengadah, menawarkan dengan nada datar.

"Enggak usah, makasih," jawab Maya sambil memaksakan senyum.

Setelah sarapan, Arman langsung bersiap untuk pergi ke kantor. Seperti biasa, ia mencium pipi Maya cepat-cepat sebelum bergegas keluar. Maya hanya memandang pintu yang menutup dengan bunyi keras, merasa ada yang ikut tertutup dalam dirinya.

Sore Hari

Maya memandang dirinya di cermin. Wajahnya tampak cantik, meski ada kerutan kecil yang mulai terlihat di sudut mata. Ia menyisir rambutnya perlahan, bertanya pada bayangannya sendiri. Apakah ini hidup yang aku mau?

Telepon berdering, memecah lamunannya. Itu suara Lina, sahabat baiknya.

"Maya, kamu di rumah?" tanya Lina di seberang.

"Ya, aku di rumah. Kenapa, Lin?" jawab Maya, mencoba terdengar ceria.

"Aku mau ngajak kamu ngopi. Bosan di rumah terus, kan?"

Maya tersenyum kecil. Lina selalu tahu kapan ia butuh teman bicara.

"Oke, aku siap-siap," jawab Maya akhirnya.

Di Kafe

Lina menyeruput kopi hitamnya sambil memandang Maya yang tampak melamun.

"Maya, kamu kenapa? Ada yang enggak beres?" tanya Lina.

Maya menghela napas panjang. "Lin, aku cuma merasa... hidupku datar banget. Bangun pagi, masak, beresin rumah, nunggu Arman pulang, tidur. Besoknya begitu lagi. Kadang aku merasa seperti... bayangan diri sendiri."

Lina mengerutkan dahi. "Kamu sudah bicara sama Arman?"

Maya menggeleng pelan. "Dia sibuk terus. Aku enggak mau jadi beban tambahan buat dia."

"May, kamu itu istrinya. Bukan beban. Kalau kamu enggak bahagia, kamu harus bilang," kata Lina tegas.

Maya terdiam. Kata-kata Lina menusuk hatinya, tapi ia tahu Lina benar.

Malam Hari

Setelah Arman pulang, Maya mencoba memulai percakapan.

"Man, kita bisa bicara sebentar?" tanya Maya ketika mereka duduk di ruang tamu.

"Sekarang? Aku capek banget, Maya. Bisa besok aja?" jawab Arman sambil melepas dasi.

"Tapi ini penting..."

Arman menghela napas, menoleh pada Maya dengan ekspresi lelah. "Oke, apa yang kamu mau bicarakan?"

Maya terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa kita semakin jauh, Man. Kita jarang ngobrol, jarang habiskan waktu bareng. Apa kamu enggak merasa begitu?"

Arman mengerutkan kening, tampak bingung. "Jauh? Aku pikir semuanya baik-baik saja. Aku bekerja keras untuk kita, May."

"Aku tahu. Tapi aku butuh lebih dari itu. Aku butuh kamu, bukan cuma untuk kasih nafkah, tapi untuk jadi suami yang hadir di hidupku," suara Maya mulai bergetar.

Arman terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Aku enggak tahu kamu merasa seperti ini. Aku janji, aku akan coba lebih baik, ya?"

Maya tersenyum tipis, meski hatinya masih ragu.

Malam itu, di kamar tidur

Malam itu, Maya terbangun di tengah malam. Hening menyelimuti rumah, hanya terdengar dengkuran lembut Arman di sampingnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela. Udara malam terasa dingin, tetapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak di hatinya.

Maya mengambil ponselnya dari meja kecil di sisi tempat tidur. Ia membuka media sosial, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Saat menggulir layar, pandangannya berhenti pada unggahan sebuah foto acara kantor beberapa hari yang lalu. Di dalam foto itu, ia melihat dirinya berdiri di sudut ruangan, tampak tersenyum sopan pada seorang pria yang tak asing lagi-Raka.

Raka adalah salah satu kolega Arman yang baru dipindahkan ke kantor pusat. Saat bertemu di acara itu, Maya hanya menganggapnya sebagai orang baru yang ramah. Tapi sekarang, melihat wajahnya di layar, ada sesuatu yang lain yang tak bisa dijelaskan.

Tanpa sadar, Maya mengetuk nama Raka di foto itu. Profilnya terbuka, menampilkan berbagai unggahan tentang hidupnya-perjalanan ke luar negeri, aktivitas olahraga, dan senyuman yang tampak begitu bebas. Maya terdiam, merasa seperti seorang gadis remaja yang melihat seseorang yang memikat hati untuk pertama kalinya.

Keesokan paginya

Maya sedang menyiapkan sarapan ketika Arman turun ke dapur dengan terburu-buru, dasinya belum rapi dan ponselnya sudah di tangan.

"May, aku bakal pulang telat malam ini. Ada meeting tambahan," katanya sambil mengunyah roti panggang.

"Lagi? Kemarin juga begitu," sahut Maya dengan nada kecewa.

"Ya, tapi ini penting. Aku janji, kalau akhir pekan ini enggak ada kerjaan, kita habiskan waktu bersama, oke?" Arman tersenyum kecil, mencoba menenangkan.

Maya hanya mengangguk, menahan perasaannya sendiri.

Saat Arman keluar, Maya kembali ke dapur dan melanjutkan sarapannya sendiri. Namun, pikirannya terus melayang. Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel memecah lamunannya.

Itu pesan di media sosial. Dari Raka.

Percakapan via chat:

Raka: "Hai, Maya. Maaf kalau mengganggu. Aku cuma ingin bilang, aku senang akhirnya punya teman ngobrol yang nyambung di acara kemarin."

Maya: "Oh, hai, Raka. Enggak ganggu kok. Terima kasih juga, aku jarang merasa santai di acara seperti itu."

Raka: "Mungkin karena kamu selalu tampak serius. Padahal, aku yakin kamu punya sisi lain yang lebih menyenangkan."

Maya: (tersenyum kecil) "Serius? Hmm, mungkin."

Maya merasa hatinya berdebar saat membaca pesan itu. Ia tahu, percakapan seperti ini berbahaya. Tapi, ada sesuatu dalam cara Raka berbicara yang membuatnya merasa dihargai-sesuatu yang belakangan ini jarang ia dapatkan dari Arman.

Sore hari, di rumah Maya

Lina kembali mampir ke rumah Maya, membawa kopi favorit mereka berdua.

"Maya, aku lihat kamu agak beda hari ini. Ada yang mau kamu ceritakan?" tanya Lina, matanya menyelidik.

Maya terdiam sesaat. "Lin, kamu pernah merasa... hidupmu kosong? Seperti ada yang kurang, tapi kamu enggak tahu apa itu?"

"Sering. Tapi, itu biasanya tanda kamu butuh perubahan," jawab Lina sambil menyeruput kopinya.

"Perubahan seperti apa?" Maya memiringkan kepalanya, menatap Lina dengan penuh tanya.

"Enggak tahu. Mungkin sesuatu yang bisa bikin kamu merasa hidup lagi. Kamu enggak bisa terus-terusan terjebak di rutinitas yang bikin kamu mati perlahan."

Kata-kata Lina membuat Maya berpikir. Namun, ia tak menceritakan tentang Raka. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa hubungan itu sebaiknya ia simpan sendiri-setidaknya untuk saat ini.

Malam Hari, di Ruang Tamu

Maya duduk sendiri di sofa, menonton film romantis yang membuatnya semakin sadar akan kehampaan hubungannya dengan Arman. Ketika layar menampilkan adegan sepasang kekasih saling menatap penuh cinta, Maya mematikan TV dengan frustrasi.

Ponselnya kembali berbunyi. Raka mengirim pesan lagi.

Raka: "Apa kabar, Maya? Sedang sibuk?"

Maya: "Enggak juga. Cuma lagi di rumah, seperti biasa."

Raka: "Seperti biasa? Kamu harus coba sesuatu yang baru. Kadang hidup perlu sedikit petualangan."

Pesan itu membuat Maya tersenyum. Ia tahu, Raka adalah petualangan yang berisiko. Tapi, di balik kesadaran itu, hatinya terusik oleh rasa penasaran yang terus tumbuh.

Apa salahnya mencoba? pikir Maya. Ia merasa, hidupnya sedang berada di persimpangan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ingin mengambil jalan yang berbeda.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh SOENARYATI

Selebihnya

Buku serupa

My Doctor genius Wife

My Doctor genius Wife

Romantis

4.8

Setelah menghabiskan malam dengan orang asing, Bella hamil. Dia tidak tahu siapa ayah dari anak itu hingga akhirnya dia melahirkan bayi dalam keadaan meninggal Di bawah intrik ibu dan saudara perempuannya, Bella dikirim ke rumah sakit jiwa. Lima tahun kemudian, adik perempuannya akan menikah dengan Tuan Muda dari keluarga terkenal dikota itu. Rumor yang beredar Pada hari dia lahir, dokter mendiagnosisnya bahwa dia tidak akan hidup lebih dari dua puluh tahun. Ibunya tidak tahan melihat Adiknya menikah dengan orang seperti itu dan memikirkan Bella, yang masih dikurung di rumah sakit jiwa. Dalam semalam, Bella dibawa keluar dari rumah sakit untuk menggantikan Shella dalam pernikahannya. Saat itu, skema melawannya hanya berhasil karena kombinasi faktor yang aneh, menyebabkan dia menderita. Dia akan kembali pada mereka semua! Semua orang mengira bahwa tindakannya berasal dari mentalitas pecundang dan penyakit mental yang dia derita, tetapi sedikit yang mereka tahu bahwa pernikahan ini akan menjadi pijakan yang kuat untuknya seperti Mars yang menabrak Bumi! Memanfaatkan keterampilannya yang brilian dalam bidang seni pengobatan, Bella Setiap orang yang menghinanya memakan kata-kata mereka sendiri. Dalam sekejap mata, identitasnya mengejutkan dunia saat masing-masing dari mereka terungkap. Ternyata dia cukup berharga untuk menyaingi suatu negara! "Jangan Berharap aku akan menceraikanmu" Axelthon merobek surat perjanjian yang diberikan Bella malam itu. "Tenang Suamiku, Aku masih menyimpan Salinan nya" Diterbitkan di platform lain juga dengan judul berbeda.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku