/0/22082/coverorgin.jpg?v=ad2b0922cd8b095696d41f8ce878db88&imageMogr2/format/webp)
Pipi Cinta terasa dingin. Bukan karena AC, tapi karena lapisan es yang menempel di cermin.
Dia menekankan pipi kanannya pada permukaan cermin kamar mandi, berharap dinginnya bisa menyerap sensasi panas, perih, dan bodoh yang memenuhi kepalanya. Air mata? Sudah kering. Tisu bekas ingus dan air mata sudah menumpuk di tempat sampah kecil samping kloset, menjadi monumen kegagalannya selama tujuh tahun terakhir.
Tujuh tahun.
Tujuh tahun itu bukan waktu yang sebentar. Itu waktu yang cukup untuk menyelesaikan kuliah, punya gelar ganda, bahkan sempat ganti genre musik favorit tiga kali. Tapi, Cinta menghabiskan tujuh tahun itu hanya untuk satu orang: Raka.
Raka Adiputra, si manusia menyebalkan yang selama ini Cinta yakini adalah tulang rusuknya yang hilang. Selalu ada untuknya, selalu tertawa saat dia membuat lelucon garing, selalu membawakan matcha latte saat dia sedang stres mengerjakan deadline-semuanya terasa sempurna, seolah mereka sedang menjalani sebuah cerita romantis yang hanya menunggu bab "Jadian" tiba.
Namun, bab itu tidak pernah datang.
Justru, bab yang datang adalah "Raka dan Wanita Lain".
"Aku dan Luna mau serius, Cin," kata Raka tiga minggu lalu. Sambil menatap Cinta, tanpa sedikit pun keraguan atau rasa bersalah di matanya. Hanya ada kebahagiaan murni, kebahagiaan yang tidak pernah Raka tunjukkan saat mereka berdua saja.
Cinta masih ingat bagaimana ia berusaha mati-matian tersenyum saat itu. Ia ingat bagaimana tenggorokannya tercekat, dan ia hanya bisa berujar, "Oh, baguslah. Luna cantik, Ka."
Luna cantik, Ka. Kalimat itu sungguh munafik. Cinta ingin berteriak, ingin melempar cangkir kopi ke wajah Raka, ingin mengguncangnya sambil bilang, Aku di sini, tujuh tahun di sisimu! Apa aku nggak cukup cantik? Tapi, yang keluar hanyalah pujian standar yang menyakitkan.
Dan kini, tiga minggu setelah pengakuan itu, Cinta masih stuck di dalam kamar, mengutuk takdir dan dirinya sendiri yang terlalu pengecut untuk mengakui perasaan.
Kenapa nggak bilang? Kenapa harus jadi sahabat terus?
Jawabannya karena aku takut, bodoh.
Cinta melepaskan wajahnya dari cermin. Ia menatap pantulan dirinya: seorang wanita berusia 25 tahun, dengan rambut sebahu yang berantakan, mata sedikit bengkak, dan kaus kebesaran bergambar Doraemon yang sudah bolong di bagian lengan. Jauh dari kata "siap untuk move on".
Tiba-tiba, ponselnya bergetar kencang di atas wastafel. Nama "Bulan" muncul dengan ikon emoji bom meledak.
Cinta menghela napas. Hanya Bulan yang berani mengganggu proses self-pity dramatisnya.
"Apaan, sih?" sapa Cinta, suaranya terdengar serak.
"Ya ampun, Cinta! Akhirnya diangkat juga! Aku udah spam kamu dari tadi! Kamu udah makan, belum? Aku tahu kamu pasti cuma rebahan sambil dengerin lagu galau Korea." Suara Bulan langsung menembus, seolah dia tahu persis apa yang Cinta lakukan.
"Udah. Aku makan udara patah hati. Kenyang. Ada apa?" jawab Cinta dingin.
"Aduh, drama banget. Dengar, Cin, aku nggak mau dengerin ratapanmu lagi. Cukup. Kamu tahu nggak, aku ada masalah besar!" Bulan terdengar panik, dan itu berhasil menarik perhatian Cinta. Bulan jarang panik.
"Masalah apa? Deadline proyekmu belum selesai? Jangan bilang kamu lupa submit laporan keuangan lagi?"
"Bukan itu, Beb! Ini soal date. Blind date! Ingat, kan, yang aku ceritain sama client baru dari perusahaan Kencana Group, namanya Dio?"
"Dio? Cowok yang kamu bilang lumayan oke tapi too stiff itu?"
"Iya! Nah, malam ini, dia ngajakin ketemu. Katanya mau bahas detail kerjaan sekalian kenalan lebih lanjut. Aku udah bilang iya, tempatnya udah booked, tapi..." Suara Bulan mengecil, "Aku barusan dapat telepon. Ibuku masuk rumah sakit. Pendarahan usus. Aku harus ke sana sekarang juga."
/0/29864/coverorgin.jpg?v=20251205185447&imageMogr2/format/webp)
/0/20283/coverorgin.jpg?v=20241030112700&imageMogr2/format/webp)
/0/23514/coverorgin.jpg?v=a9b1bb7c6b3467e7f12291528ae7be07&imageMogr2/format/webp)
/0/27354/coverorgin.jpg?v=20251106165133&imageMogr2/format/webp)
/0/5296/coverorgin.jpg?v=b661641e628f8a8a69709a76ac5ad2a5&imageMogr2/format/webp)
/0/13460/coverorgin.jpg?v=d8931491bc8a0b6ce85be8a2dcf10733&imageMogr2/format/webp)
/0/17190/coverorgin.jpg?v=6930a9824edd2f4f056669d76b3dfe68&imageMogr2/format/webp)
/0/4318/coverorgin.jpg?v=a16a7f280a121aa972c6f257b844ac5a&imageMogr2/format/webp)
/0/13167/coverorgin.jpg?v=20250123144943&imageMogr2/format/webp)
/0/7738/coverorgin.jpg?v=20250122152224&imageMogr2/format/webp)
/0/16889/coverorgin.jpg?v=60341e9fe96835f555cd64f9a6a99bc3&imageMogr2/format/webp)
/0/3601/coverorgin.jpg?v=83a5f88faaca10c1cf20247d703c0875&imageMogr2/format/webp)
/0/13387/coverorgin.jpg?v=6f51e7cf4b0e690b9f3c297fcbcf0850&imageMogr2/format/webp)
/0/17363/coverorgin.jpg?v=b8f0db56c3cb97ecb3afe275c703f710&imageMogr2/format/webp)
/0/13545/coverorgin.jpg?v=92a81c562eb3e669253ed2ccef5f987f&imageMogr2/format/webp)
/0/9358/coverorgin.jpg?v=20250122140034&imageMogr2/format/webp)
/0/7624/coverorgin.jpg?v=0410042db671154295af3e6899b3452a&imageMogr2/format/webp)
/0/29172/coverorgin.jpg?v=20251106220529&imageMogr2/format/webp)