Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DI UJUNG KETIDAKSETIAAN

DI UJUNG KETIDAKSETIAAN

eryede

5.0
Komentar
10
Penayangan
5
Bab

Seorang wanita yang merasa hampa dalam pernikahannya memulai hubungan dengan mantan kekasihnya. Namun, ia tak menyadari bahwa kebahagiaan sesaat itu dapat membawa bencana bagi hidupnya yang sudah stabil.

Bab 1 Kejutan dari Masa Lalu

Pesta reuni sekolah menengah terasa seperti perjalanan ke masa lalu yang penuh nostalgia. Sarita berdiri di depan cermin, mengenakan gaun hitam sederhana yang menggarisbawahi keanggunannya. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang terus mengganggu. Suaminya, Dika, tidak bisa hadir karena urusan pekerjaan, dan ia merasa sendirian di tengah keramaian.

Saat tiba di lokasi reuni, suasana penuh tawa dan canda menggugah kenangan masa lalu. Teman-teman sekelasnya yang sudah lama tidak ditemui berdesakan di ruang pesta yang dihiasi balon warna-warni dan lampu-lampu yang berkelap-kelip. Sarita tersenyum dan menyapa satu per satu, meskipun hatinya terasa hampa.

Di tengah keramaian, dia merasa terasing. Suara tawa yang mengelilinginya tidak bisa menutupi kesepian yang menggerogoti hatinya. Ia berusaha mengalihkan perhatian, tetapi tak bisa menahan rasa rindunya akan masa-masa indah yang telah berlalu.

Tiba-tiba, saat dia mengambil minuman dari meja, pandangannya tertangkap oleh sosok yang sangat familiar. Di ujung ruangan, berdiri Rizal, mantan kekasihnya. Pria itu tampak lebih dewasa, dengan rambut yang sudah sedikit beruban, namun senyumannya yang lebar dan hangat membuat jantung Sarita berdebar.

Sarita merasa terhuyung-huyung saat ingatan akan masa-masa indah mereka melintas di pikirannya. Kenangan-kenangan saat mereka tertawa di bawah langit malam, berbagi rahasia di balik pepohonan sekolah, dan momen-momen manis ketika mereka mengukir cinta remaja. Rasa rindu yang dalam membuatnya tidak bisa menahan langkah kakinya menuju Rizal.

"Rizal?" suara Sarita terdengar lebih ragu daripada yang dia harapkan.

Rizal menoleh, matanya terkejut dan senyum mengembang. "Sarita! Sudah lama sekali," katanya dengan nada yang hangat, seolah waktu tidak memisahkan mereka sama sekali.

Mereka berdua berbincang, mengingat kembali kenangan manis yang pernah mereka bagi. Sarita merasa hidup kembali, seolah semua kekecewaan dalam pernikahannya dengan Dika seketika menghilang. Rizal menceritakan tentang hidupnya, pekerjaan baru, dan perjalanan yang telah dia lakukan. Setiap cerita yang ia sampaikan membuat Sarita terpesona.

"Aku tidak tahu kamu akan datang," Rizal berkata, menatapnya dengan serius. "Aku selalu mengingatmu, kamu tahu?"

Kata-kata itu membuat Sarita merasakan denyut di dadanya. Ia terjebak antara nostalgia yang indah dan kenyataan pahit hidupnya saat ini. Mereka berbagi tawa dan cerita hingga larut malam, hingga suasana pesta mulai mereda.

Di tengah keramaian, Sarita tidak bisa mengabaikan rasa kosong yang ada dalam pernikahannya. Dika, yang dulunya adalah segalanya, kini terasa jauh. Kebahagiaan yang sempat hilang seolah kembali menyala saat bersamanya Rizal. Saat malam semakin larut, Rizal mengajaknya menari di bawah cahaya lampu yang berkelap-kelip. Mereka bergerak bersama, mengikuti irama musik, seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini.

Sarita merasa hidupnya berputar kembali. Dalam pelukan Rizal, ia merasakan kenyamanan yang tidak pernah didapatkan dalam pernikahannya. Namun, di sudut hatinya, ada suara kecil yang memperingatkan tentang konsekuensi dari semua ini. Apakah ini hanya pelarian dari kenyataan?

Malam itu, ketika Sarita kembali ke rumah, jantungnya berdebar lebih cepat. Senyuman Rizal dan hangatnya pelukan itu terus menghantuinya. Dia tahu, pertemuan ini adalah sebuah titik balik yang bisa mengubah segalanya.

Malam itu, Sarita terbaring di tempat tidurnya, pikiran bercampur aduk. Pertemuan dengan Rizal membangkitkan kembali perasaan yang sempat terkubur. Kebahagiaan seolah menjanjikan untuk memisahkan dirinya dari kehidupan yang selama ini ia jalani. Namun, saat ia menutup mata, rasa bersalah juga menghantui. Di ujung ketidaksetiaan, Sarita harus memilih jalan mana yang akan dia ambil.

Hari-hari setelah reuni berlalu dengan cepat, namun kenangan pertemuan dengan Rizal terus terpatri di dalam ingatan Sarita. Setiap kali dia melihat pesan singkat atau notifikasi dari media sosial, jantungnya berdebar. Rasanya aneh dan menggembirakan sekaligus, seolah dia hidup dalam dua dunia yang berbeda-satu dunia di mana dia adalah istri yang setia, dan satu lagi adalah seorang wanita yang menemukan kembali keceriaan di masa lalunya.

Suatu malam, saat Dika pulang kerja lebih awal dari biasanya, Sarita berusaha menciptakan suasana hangat di rumah. Dia menyiapkan makanan kesukaan suaminya dan menghidupkan lilin di atas meja makan. Ketika Dika masuk, wajahnya tampak lelah, tetapi senyumnya membuat hati Sarita bergetar.

"Ada apa? Kamu tampak manis sekali malam ini," Dika berkata, duduk di meja makan dengan senyuman lebar.

Sarita berusaha tersenyum kembali, tetapi di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang menyelimuti. Mereka berbincang tentang hari yang telah berlalu, tetapi percakapan itu terasa datar dan hampa. Sarita tahu, meskipun dia berusaha sebaik mungkin untuk berperilaku normal, pikirannya tak bisa lepas dari Rizal.

Setelah makan malam, Dika mencalonkan untuk menonton film bersama. Sarita merasa bersalah untuk menolak, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terasing. Sementara film diputar, dia tidak bisa berhenti memikirkan Rizal dan betapa mudahnya mereka terhubung kembali.

Malam itu, saat Dika tertidur di sampingnya, Sarita terbangun dan mengambil ponselnya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menghubungi Rizal, tetapi rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Dalam sekejap, dia mengirimkan pesan singkat kepada mantan kekasihnya.

"Hey, masih ingat aku?"

Beberapa menit berlalu, sebelum akhirnya Rizal membalas. "Tentu saja. Siapa yang bisa lupa dengan kenangan kita?"

Sarita merasakan campuran antara kegembiraan dan rasa bersalah. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah tidak ada waktu yang terlewat. Mereka berbagi cerita, tawa, dan kenangan manis dari masa lalu, seolah menghapus semua jarak yang pernah ada.

"Hari ini ada reuni, dan kamu sangat luar biasa," Rizal mengirimkan pesan. "Aku berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu."

Sarita menelan ludah. Kata-kata itu terasa manis tetapi juga berbahaya. Ia tahu bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah pelanggaran, tetapi perasaannya terhadap Rizal sulit untuk diabaikan. Dia merasa terjebak dalam kebahagiaan sesaat, yang sekaligus menakutkan.

Semakin hari, percakapan mereka semakin intens. Sarita merasa ada sisi dari dirinya yang terbangun, sisi yang lama terpendam dalam rutinitas harian sebagai istri. Dengan Rizal, dia merasa hidup kembali, seolah dia menemukan kembali bagian dari dirinya yang telah hilang. Namun, di saat bersamaan, perasaannya terhadap Dika juga mulai memburuk.

Suatu sore, saat Sarita sedang berbelanja di pasar, dia tidak sengaja bertemu dengan Rizal lagi. Momen itu tidak terduga, dan keduanya terkejut sekaligus gembira. Rizal mengajak Sarita untuk minum kopi di kafe terdekat.

"Aku senang bisa bertemu lagi," Rizal berkata, menyunggingkan senyum yang menggugah kenangan lama.

Sarita merasa bersemangat, tetapi di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang terus menghantuinya. Mereka duduk berhadapan, berbincang tentang hidup masing-masing. Setiap kali Rizal menatapnya, hatinya bergetar. Mereka berbagi tawa dan cerita, tetapi di saat yang sama, ada perasaan cemas yang muncul.

"Aku merindukanmu," Rizal mengungkapkan dengan tulus. "Kehidupan kita berjalan begitu cepat. Rasanya sulit untuk percaya bahwa kita sudah tidak saling berbicara begitu lama."

Sarita merasa terjebak antara nostalgia yang manis dan kenyataan pahit. Dia mengingat janji-janji cinta yang mereka buat di masa lalu, saat semuanya terasa begitu sederhana. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa sekarang dia sudah menjadi istri Dika, yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya.

Di tengah perbincangan, Rizal mengajaknya untuk pergi berlibur ke tempat yang mereka kunjungi di masa lalu. Meskipun Sarita merasa tertarik, dia tahu bahwa itu adalah ide yang sangat berisiko. "Rizal, kita tidak bisa. Ini salah," katanya, suara bergetar.

"Tapi aku ingin membuat kenangan baru," Rizal membalas, menatapnya dengan penuh harapan.

Sarita merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia ingin sekali melakukannya, tetapi suara di dalam hatinya memperingatkannya tentang konsekuensi dari tindakan ini. "Aku harus kembali," katanya, berusaha mengakhiri pertemuan itu sebelum segalanya menjadi lebih rumit.

Sesaat, mereka saling bertukar tatapan, dan Sarita merasakan ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Dia tahu, keputusannya untuk bertemu Rizal adalah langkah menuju jalan yang tidak pasti.

Sambil berjalan pulang, pikiran Sarita berputar. Dia tahu, dia berdiri di ujung ketidaksetiaan. Apakah dia berani mengikuti hatinya dan mengambil risiko, ataukah dia akan kembali kepada hidup yang sudah terbangun, meskipun penuh dengan kekosongan?

Dengan ketegangan dan harapan yang bercampur, Sarita tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan konsekuensi dari pilihan-pilihannya akan segera mengubah segalanya.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh eryede

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku