Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Di Ujung Lelah

Di Ujung Lelah

Amy Sity

5.0
Komentar
545
Penayangan
40
Bab

Mirna sudah tak tahan dengan rumah tangganya, semakin hari sangat suami, Farid, Semakin membuatnya tertekan, takut, dan sedih. Lima tahun membina rumah tangga, tak mampu membuat Farid berubah menjadi suami yang baik, Setiap hari selalu ada pertengkaran, perdebatan dan adu mulut, Mirna lelah, ia ingin mengakhiri hubungan tak sehat itu.

Bab 1 Ingin cerai

Bab 1

"Mas, aku ingin bercerai"

Kata keramat itu keluar begitu saja dari mulutku, aku sudah tak sanggup lagi memendamnya.

"Apa katamu Mirna ? Cerai? "

Tanya Mas Farid, suamiku. Ia seperti tak percaya dengan apa yang kukatakan.

Ia Kaget mendegar ucapanku. Ya, aku yang dulu adalah seorang istri yang patuh dan penurut, kini dengan berani meminta cerai.

Bukan mudah bagiku bertahan selama bertahun tahun dengannya, banyak duka dan Air mata yang entah sudah berapa banyak terkuras.

"Aku tidak akan pernah menceraikan mu Mirna"

Ia bersikeras tak mau menceraikanku, sudah tentu saja, selama menjadi istrinya tak pernah aku melakukan kesalahan apapun, justru dialah yang banyak menoreh luka di hatiku.

"Baiklah, jika Mas tidak mau menceraikan aku, aku yang akan menggugat cerai di pengadilan"

Entah dari mana datangnya keberanian itu, ini jelas bukan aku yang ia kenal.

Bukan, aku bukanlah Mirna yang dulu, ini adalah Mirna yang sudah lelah dan sudah tak tahan lagi dengan suaminya yang bernama Farid.

.

Aku menikah dengan Mas Farid sudah berjalan Lima tahun, entah mengapa aku dulu mau menikah dengan laki laki seperti dia?

Ya, aku dulu begitu cinta padanya. Meski banyak yang melarangku menikah dengannya, tapi aku kekeuh ingin menikah dengannya karena cinta. Ya karena cinta juga aku menerima dia yang hanya bekerja sebagai supir ojek. Dengan wajah pas pasan, dan tanpa harta dan tahta, Aku terima segala kekurangan nya.

Aku dan Mas Farid selisih umur sembilan tahun, dia sangat dewasa. Aku menyukai sifat dewasa nya, sifat kalemya, kerja keras nya, tanggung jawabnya, selalu meminta maaf setelah kami bertengkar itu yang membuat aku suka padanya. Tapi, kadang sifat tempremen dan emosionalnya sedikit mengganggu pikiranku.

Beda halnya dengan Chalil, mantan pacarku. Ya, sebelum mengenal Mas Farid aku pernah menjalin hubungan dengan Chalil sewaktu SMA dulu.

Aku dan Chalil satu angkatan di SMA, seumuran, lahir di tahun yang sama hanya beda bulan lahir saja.

Dengan Chalil, aku merasa menjadi diriku sendiri. Dia punya selera humor yang tinggi, membuat aku selalu tertawa saat bersamanya, wajahnya yang manis dilengkapi dengan dua gigi gingsulnya membuat aku selalu gemas melihatnya.

Dia juga tidak suka marah apabila aku berbuat salah, selalu saja menasehatiku jika aku salah. Dia juga selalu memberikanku kata kata romantis, Itulah yang membuat aku jatuh hati padanya.

Beda dengan Mas Farid, jika dia marah. Maka dia akan menunjukkan sifat tempremennya, sedikit saja aku salah maka dia akan memarahiku lalu pergi begitu saja.

Dia sangat mudah sekali marah, pernah juga ketika dia marah, benda yang ada di hadapannya dia tendang, bahkan kipas angin kami ikut rusak karena di tendang olehnya.

Aku sangat takut dibuat olehnya, aku takut jika sewaktu waktu dia marah, dia akan memukulku seperti apa yang dia lakukan pada barang yang jadi pelampiasan kemarahannya.

Kadang, pernah terbersit dalam hatiku.

Mengapa aku harus menikah dengan mas Farid jika di dalam hati ku masih ada Chalil?

Sungguh, takdir Allah tak ada yang tahu.

Kita hanya menjalankan apa yang telah digariskan dalam takdir Nya.

*

Aku sudah menikah dengan Mas Farid selama Lima tahun, di tahun pertama pernikahan kami begitu sulit.

Aku harus pindah tempat tinggal dalam setahun tujuh kali, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.

Pekerjaan mas Farid pun tidak tentu, kadang jika sehari ada uang, maka tiga hari berikutnya kami kekurangan uang, pernah kami tak punya uang untuk beli beras dan gas pun habis, kami hanya beli nasi satu bungkus makan berdua. Betapa menyedihkan nasibku setelah menikah dengannya, aku bahkan terkadang terpaksa meminta beras kepada ibuku.

Aku sedih jika mengingat tahun tahun pertama pernikahan kami. Mas Farid juga terlilit hutang disana sini, ia terpaksa berhutang untuk menutupi kebutuhan kami, apalagi penghasilan dari pekerjaannya sebagai tukang ojek tidak seberapa.

Mas Farid sangat susah sekali mencari uang kala itu, tapi aku selalu bertahan dan memberinya semangat agar Mas Farid tidak mudah menyerah.

Barulah ditahun kedua pernikahan kami, kondisi ekonomi kami mulai membaik. Aku diterima mengajar di sebuah TPA, meski dengan gaji sedikit, aku tak masalah. Dari pada duduk berdiam diri dirumah sepeserpun tak dapat uang.

Setelah mengajar, sedikit banyak aku bisa membeli kebutuhan didapur, aku mulai menabung dan bisa membantunya membayar hutang. Enam bulan aku mengajar di TPA, aku dinyatakan positif hamil.

Antara senang dan sedih bercampur aduk, ya senang karena aku tidak mandul, sedih karena aku takut tak bisa bekerja dan kondisi keuangan kami masih belum mampu, apalagi kami masih tinggalkan dikontrakan yang kapan saja bisa banjir.

Aku tetap mengajar meski sedang hamil, pulang pergi mengajar selalu diantar Mas Farid, karena kelelahan dan kecapean aku harus masuk rumah sakit karena ketubanku merembes dan tinggal sedikit.

Setelah keluar dari rumah sakit, aku terpaksa harus berhenti dari mengajar. Mas Farid melarangku bekerja demi keselamatan calon anak kami.

"Mir, kamu berhenti mngajar dulu ya, kasian anak kita kalau kamu terlalu capek, Mas gak mau anak kita kenapa napa"

Ucapnya kala itu melarangku mengajar.

Meski berat, terpaksa aku menuruti keinginan suamiku, aku berhenti mengajar, dengan begitu otomatis aku tidak mendapat penghasilan lagi.

Sembilan bulan telah berlalu, aku melahirkan seorang bayi laki laki tampan yang kuberi nama Azka Askara. Aku menangis saat pertama melihat wajahnya, aku takut anakku nanti akan hidup susah seperti ayah dan ibunya.

"Semoga kamu jadi anak yang sholeh ya nak, yang berbakti pada orang tua"

Setelah anak pertama kami lahir, kami memberanikan diri membangun rumah, meskipun diatas tanah sewa. Dari pada harus sewa rumah kontrakan kesana sini, lebih baik punya rumah sendiri meskipun gubuk.

Di tahun ketiga pernikahan kami, kehidupan kami terasa lengkap. Apalagi putra pertama kami sudah berumur satu tahun, bisa berjalan dan mengoceh, membuat hari hari semakin berwarna.

Namun, sifat mas Farid semakin lama semakin nampak aslinya.

Dia lebih sering marah marah, emosi, bahkan suka banting pintu.

Jika saat di pulang rumah dalam keadaan berantakan dia pasti marah marah. Bagaimana rumah bisa bersih, si kecil kami sedang aktif aktifnya. Segala benda dia pegang, lalu di hamburkan.

Lalu, saat dia pulang aku masih dengan daster kumal dan rambut acak acakan, dia pun akan marah. Apalagi tubuhku yang semakin gemuk setelah melahirkan, dia pun semakin uring uringan.

Kadang aku lelah, capek, dan ingin istirahat sehari saja. Istirahat dari segala rutinitas ibu rumah tangga. Aku ingin sekali sehari saja tak mencuci, tak memasak, tak menyapu, tak belanja, tak buat kue ke warung.

Tapi, semua itu hanya ada dalam hayalanku saja.

Jika sehari saja aku sakit, maka rumah akan berantakan. Anak tak ada yang urus, makanan tak ada yang memasak, baju kotor dimana mana, rumah kotor, anak kelaparan, suami marah marah.

Itulah mengapa, aku merasa kehidupan rumah tangga ku sudah sangat melelahkan bagiku. Suami, apa ia tak membantu?

Dia pergi pagi pulang sore, hanya malam lah waktu dia dirumah. Dan jika saat dia dirumah, kondisi rumah seperti kapal pecah karena ulah anak lelaki ku. Maka siap siap aku dimarahinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Amy Sity

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku