/0/29596/coverorgin.jpg?v=9bec6c62baa21cbaf0bd7b6852e019ba&imageMogr2/format/webp)
Selama lima tahun, aku adalah bayangannya sekaligus kekasih rahasianya. Semua karena janji di ranjang kematian yang kuucapkan pada kakaknya—pria yang seharusnya kunikahi.
Pada hari janji itu terpenuhi, dia menyuruhku merencanakan pesta pertunangannya dengan wanita lain.
Bab 1
Tahun kelima akan berakhir. Ini adalah hari ke seribu delapan ratus dua puluh lima sejak Kayla Basuki mengucapkan janjinya, dan hari di mana ia akhirnya memutuskan untuk mengingkarinya.
Kayla Basuki berdiri di dekat jendela setinggi langit-langit, tatapannya terpaku pada hamparan lampu kota Jakarta di bawah sana. Semua cahaya itu kini kabur menjadi noda warna tak berarti.
Selama lima tahun, ia bukan hanya bayangan Bagas Adiwangsa—asistennya, pemecah masalahnya, wanita yang menyerap amarahnya dan membereskan semua kekacauannya—tetapi juga kekasihnya. Sebuah rahasia yang tersimpan rapat di dalam kemewahan steril penthouse miliknya, sebuah peran yang ia mainkan karena rasa tanggung jawab yang salah arah.
Dan semua itu karena sebuah janji pada seorang pria yang sekarat. Pria yang benar-benar ia cintai.
Kenangan itu masih sanggup menghentikan napasnya. Aroma steril rumah sakit, bunyi mesin yang terus berdetak, dan tangan kakak Bagas, Yudha, yang mendingin dalam genggamannya.
"Lima tahun, Kayla." Suara Yudha serak dan lemah, hanya bayangan dari bariton hangat yang ia puja. "Jaga dia selama lima tahun saja. Dia ceroboh, satu-satunya yang kumiliki. Janji padaku."
Yudha Prawira. Pria yang seharusnya menjadi masa depannya, suaminya. Satu-satunya cahaya sejati di dunianya, yang padam dalam kecelakaan mobil mengenaskan hanya beberapa minggu sebelum ia bisa memberikan nama Prawira pada adiknya melalui adopsi.
Kayla telah setuju. Ia akan menyetujui apa pun untuk Yudha. Dan dalam duka, ia memindahkan pengabdian itu pada satu-satunya orang yang Yudha tinggalkan. Ia salah mengira beban janjinya sebagai cinta untuk Bagas.
Sebuah pintu terbanting terbuka di belakangnya.
"Kayla."
Suara Bagas tajam, membelah keheningan. Dia tidak repot-repot menatap Kayla, perhatiannya terkunci pada ponsel yang menempel di telinganya.
"Aku tidak peduli butuh biaya berapa," bentaknya ke ponsel. "Selesaikan saja."
Dia mematikan teleponnya dan melempar ponsel itu ke sofa kulit. Matanya, yang tidak lagi dingin dan acuh tak acuh tetapi dipenuhi kekejaman main-main yang familier, akhirnya mendarat pada Kayla.
"Sudah kau dapatkan?"
"Proposal akuisisi ada di mejamu," kata Kayla, suaranya datar, tanpa emosi. "Aku sudah menandai faktor-faktor risiko utamanya."
"Aku tidak minta analisismu," katanya, seringai bermain di bibirnya. Dia berjalan ke bar, menuang minuman untuk dirinya sendiri. Dia menikmati permainan ini, menikmati kekuasaan yang dimilikinya atas Kayla. Dia yakin Kayla jatuh cinta mati padanya, seekor anak anjing setia yang tidak akan pernah meninggalkan sisinya. "Aku bicara soal merger dengan Hartono. Aku dan Sheryl akan menikah. Ini penting untuk perusahaan, untuk keluarga kami. Jadi, aku mau kau bersikap baik selama beberapa bulan ke depan. Tidak ada drama, mengerti? Aku tahu kau bisa jadi sangat emosional."
Sheryl Hartono meluncur masuk ke ruangan, melingkarkan lengannya di leher Bagas dari belakang. Dia mengecup pipi Bagas, matanya yang berkilauan penuh kemenangan bertemu dengan mata Kayla dari balik bahu Bagas.
"Jangan terlalu keras padanya, Gas," bisik Sheryl, suaranya meneteskan manis palsu. "Dia sudah berusaha sebaik mungkin. Hanya saja... yah, kita tidak bisa mengharapkan seseorang dari latar belakangnya mengerti tekanan yang kita hadapi, kan? Beberapa orang dilahirkan untuk memimpin, yang lain untuk mengikuti."
Ekspresi Bagas melembut saat menatap Sheryl. Dia berbalik, menarik Sheryl ke dalam pelukannya. "Kau terlalu baik padanya."
Pemandangan itu sudah biasa. Sebuah drama yang telah ia tonton berulang kali selama lima tahun. Sang pewaris arogan, pacar sosialitanya yang sempurna, dan bawahan tak berguna yang mabuk cinta.
Tangan Sheryl yang terawat sempurna terulur, bukan untuk mengambil gelas, tetapi untuk menyusurkan satu jari secara provokatif di bagian depan kemeja Bagas.
/0/29168/coverorgin.jpg?v=e9e48c9955d6a8bdb0d7c878d0f11405&imageMogr2/format/webp)
/0/19053/coverorgin.jpg?v=c89c07f10c79a12901a42e5cc532728f&imageMogr2/format/webp)
/0/19587/coverorgin.jpg?v=94b223d41808f39abb1de8f12c73aff5&imageMogr2/format/webp)
/0/28248/coverorgin.jpg?v=ac9f65a5ee82a8f4e6d1ffe31a61e541&imageMogr2/format/webp)
/0/17287/coverorgin.jpg?v=bd52ab885dc7ff056a2a0284731cd613&imageMogr2/format/webp)
/0/26857/coverorgin.jpg?v=bb116a5580b0f54dc3658a4d2a247dfb&imageMogr2/format/webp)
/0/15668/coverorgin.jpg?v=3f88a78401dadfc0906470d07dde1aa3&imageMogr2/format/webp)
/0/9925/coverorgin.jpg?v=76704e864aa0c8701137c1f549f0be96&imageMogr2/format/webp)
/0/19256/coverorgin.jpg?v=641b28735d21c5dbfe5b2bfc6ce3493a&imageMogr2/format/webp)
/0/12764/coverorgin.jpg?v=312164d811c5cae3873f2cdf925c7af0&imageMogr2/format/webp)
/0/21473/coverorgin.jpg?v=6e748de53c1afb08cd2d58e1734edbc0&imageMogr2/format/webp)
/0/5188/coverorgin.jpg?v=4dbc4d153014a240082e717e87b8d288&imageMogr2/format/webp)
/0/10679/coverorgin.jpg?v=e386f0d3458d6b9a028f3f173f5c5497&imageMogr2/format/webp)
/0/15485/coverorgin.jpg?v=a5fc7a9de81abc48fe45f05598ca6529&imageMogr2/format/webp)
/0/19299/coverorgin.jpg?v=841c56a8d33c1119d474c188e94cfbf2&imageMogr2/format/webp)
/0/27317/coverorgin.jpg?v=88f8db35377f1ad3234f3fa796b61b18&imageMogr2/format/webp)
/0/28976/coverorgin.jpg?v=91ae8850eb2f61c88490422e88037588&imageMogr2/format/webp)
/0/16607/coverorgin.jpg?v=fb9887442bdfd93a3ac6a97158dee040&imageMogr2/format/webp)
/0/19244/coverorgin.jpg?v=d120edfc595220e29f599bab7a546f88&imageMogr2/format/webp)
/0/21618/coverorgin.jpg?v=a7b5668813765121b2e786b3df0b999a&imageMogr2/format/webp)