Keluarga yang Mengkhianatiku Sendiri

Keluarga yang Mengkhianatiku Sendiri

Yayat Supriyatna

5.0
Komentar
Penayangan
25
Bab

Tidak semua badai hadir dengan amarah. Beberapa datang dengan senyum hangat, aroma kopi yang samar di udara, dan sentuhan ringan pada lengan seseorang... cukup untuk mengacak ketenangan yang selama ini terasa stabil. Aluna muncul layaknya angin musim semi-ceria, penuh energi, dan sulit untuk diabaikan. Seorang wanita muda dengan tutur kata yang manis, percaya diri yang meluap, dan mata yang menyimpan kisah-kisah tak terucap. Ia hidup tanpa batas, menapaki setiap hari dengan kebebasan yang menular. Ia bukan perempuan biasa. Aluna adalah cucu kesayangan Hartawan, seorang taipan dengan kerajaan bisnis yang menjulang. Tumbuh dalam kemewahan, dimanja sejak kecil, dan dipersiapkan menjadi pewaris utama keluarga. Aluna percaya pada satu hal: ia bisa mendapatkan apa pun yang ia inginkan... termasuk mencairkan hati seorang pria dewasa yang terkenal dingin dan sulit didekati. Sementara itu, Reyhan menjalani hidupnya dengan aturan yang ketat. Rapi, teratur, disiplin-seperti tumpukan dokumen yang tersusun rapi di mejanya. Dengan usia matang dan pengalaman yang membentuk karakternya, ia menjaga jarak dari segala bentuk godaan-setidaknya itulah keyakinannya selama ini.

Bab 1 ada sosok yang mampu membuat pagi itu terasa lebih hangat

Pagi itu, udara Jakarta terasa berbeda. Mentari memantul di gedung-gedung kaca, memercikkan cahaya ke trotoar yang mulai dipenuhi langkah-langkah sibuk para pejalan kaki. Namun, di salah satu sudut eksklusif kota, ada sosok yang mampu membuat pagi itu terasa lebih hangat, meskipun ia sendiri tidak menyadarinya.

Aluna melangkah keluar dari mobil mewah yang terparkir rapi di depan gedung Hartawan Corp. Rambutnya yang hitam mengilap tertiup angin lembut, senyumnya yang manis seolah mampu mencairkan ketegangan siapa pun yang menatapnya. Ia menatap jam tangan dengan santai, seperti seseorang yang selalu memiliki seluruh waktu dunia di tangannya.

"Seperti biasa, aku datang tepat waktu," gumamnya, setengah tersenyum. Suara itu lembut tapi penuh keyakinan. Ia membuka pintu gedung dan melangkah masuk, menyapa resepsionis dengan senyum hangat yang membuat si perempuan muda itu tersipu.

Aluna memang bukan orang biasa. Ia cucu kesayangan Hartawan, taipan yang menguasai berbagai lini bisnis di Indonesia. Tumbuh dalam kemewahan, dimanja sejak kecil, dan selalu dikelilingi orang-orang yang bersedia memenuhi keinginannya. Tapi Aluna tidak pernah sombong. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman, meski ia membawa aura yang kuat.

Hari itu, tujuan Aluna jelas: ia ingin bertemu dengan Reyhan, seorang pria yang dikenal kaku, disiplin, dan sulit dijangkau. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang Reyhan-bagaimana ia menjaga jarak dari semua godaan, bagaimana ia menekuni pekerjaannya tanpa terlalu memperhatikan hal-hal lain. Dan tentu saja, hal itu justru membuat Aluna semakin tertarik.

Sementara itu, Reyhan duduk di kantornya, dikelilingi tumpukan berkas yang tersusun rapi. Pagi itu, rutinitasnya berjalan seperti biasa: memeriksa laporan keuangan, menandatangani dokumen, dan memastikan setiap departemen bekerja sesuai prosedur. Ia menghiraukan keramaian di luar jendela, menegaskan jarak yang selalu ia pertahankan dari hiruk-pikuk dunia luar.

"Reyhan," panggil asistennya, seorang perempuan muda dengan wajah serius, "ada tamu dari keluarga Hartawan menunggu di lobi. Katanya sangat ingin bertemu dengan Anda."

Reyhan menatap asistennya sebentar, menandai setiap kata dengan kesabaran yang hampir terasa dingin. "Aluna?" tanyanya. Sekilas namanya membuat hatinya, atau setidaknya pikirannya, sedikit tergelincir dari keseimbangan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.

"Ya, Tuan. Dia tampak... ceria seperti biasanya," jawab asistennya, ragu menambahkan komentar lebih jauh.

Reyhan menundukkan kepala sebentar, menyesuaikan jasnya, dan berdiri. Ia tahu, pertemuan ini akan berbeda dari biasanya. Tidak ada ruang untuk spontanitas dalam hidupnya, tapi entah bagaimana, nama Aluna selalu berhasil menimbulkan rasa ingin tahu yang tidak biasa.

Di lobi, Aluna berdiri sambil memainkan ponselnya, matanya menatap layar seolah ada hal penting yang sedang ia tunggu. Tapi ketika Reyhan muncul dari lift, waktu seakan berhenti sebentar. Aluna menatapnya dengan mata berbinar, senyumnya merekah alami, sedangkan Reyhan menatap balik dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian.

"Selamat pagi, Tuan Reyhan," sapa Aluna dengan nada riang. Suaranya menembus udara dingin lobi, membuat beberapa orang yang lewat menoleh sejenak.

Reyhan membalas dengan anggukan singkat, menatap matanya sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke depan. "Selamat pagi, Nona Aluna," jawabnya, suara rendah dan terkontrol, khas pria yang terbiasa menahan segala ekspresi.

Aluna melangkah mendekat, matanya masih menatapnya, seolah membaca setiap detail dalam diri Reyhan. "Aku dengar kau sangat disiplin," ujarnya sambil tersenyum, "menarik. Orang-orang bilang, sulit bagi siapa pun untuk masuk ke duniamu."

Reyhan tetap diam sejenak, menimbang apakah ia harus menjawab. "Itu benar," katanya akhirnya. "Aku tidak suka gangguan."

"Tapi kau di sini sekarang, kan?" Aluna mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Apakah aku termasuk gangguan?" tanyanya sambil menahan tawa kecil.

Reyhan menghela napas. Ia tahu wanita di depannya ini berbeda dari kebanyakan orang yang ia temui. Ada sesuatu yang ringan tapi menantang, membuatnya ingin menjaga jarak tapi juga membuatnya penasaran. "Mungkin," jawabnya, suara tetap tenang tapi ada sedikit nada penasaran yang sulit ia sembunyikan.

Mereka berjalan bersama menuju ruang konferensi. Aluna berbicara ringan tentang hal-hal sepele: cuaca, perkembangan terbaru perusahaan, bahkan cerita lucu yang ia dengar dari stafnya. Reyhan hanya mendengarkan, kadang mengangguk, kadang menatap dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.

"Tapi kau selalu terlihat sangat serius," komentar Aluna setelah beberapa menit berjalan. "Apakah tidak ada yang bisa membuatmu tersenyum, Reyhan?"

Reyhan berhenti sejenak, menatapnya lurus di mata. "Tersenyum tanpa alasan adalah pemborosan waktu," katanya.

Aluna tertawa kecil, hampir terdengar seperti lonceng yang memecah ketegangan. "Hmm... jadi aku harus punya alasan yang sangat bagus, ya?" tanyanya, menatapnya penuh tantangan.

Reyhan menatapnya sebentar, mencoba menilai maksud di balik senyum itu. "Mungkin," katanya singkat.

Di ruang konferensi, suasana berubah. Aluna duduk dengan tenang, meletakkan tasnya di kursi samping, dan menatap Reyhan. Ia mulai membicarakan hal-hal penting terkait proyek yang ingin ia jalankan, tapi dengan caranya sendiri-ringan, percaya diri, dan penuh semangat.

Reyhan mendengarkan, membuat catatan sesekali, tapi tetap menjaga jarak emosionalnya. Ia terbiasa dengan rapat formal, tapi energi Aluna membuat segalanya terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya ingin membuka diri, tapi ia menolak menyerah terlalu cepat.

"Proyek ini penting," kata Aluna akhirnya, menatapnya penuh keyakinan. "Dan aku percaya kau bisa membantuku mewujudkannya."

Reyhan menghela napas, menimbang kata-katanya. Ia jarang memberi pujian atau mengakui keunggulan orang lain. Tapi kali ini, ada rasa hormat yang muncul, meskipun ia tidak mengatakannya. "Aku akan mempertimbangkan," jawabnya. Nada suaranya tetap datar, tapi ada sedikit nada hangat yang tidak sengaja muncul.

Pertemuan itu berlangsung lebih lama dari yang Aluna perkirakan. Mereka membahas strategi, tantangan, hingga rencana jangka panjang, tapi selalu dengan cara yang berbeda: Aluna menekankan kreativitas dan semangat, Reyhan menekankan ketelitian dan disiplin. Perbedaan itu justru membuat mereka saling melengkapi, meski belum sepenuhnya mereka sadari.

Ketika pertemuan selesai, Aluna berdiri, senyumnya masih sama cerianya. "Terima kasih, Reyhan. Aku tunggu keputusanmu," katanya sambil melangkah ke pintu.

Reyhan menatapnya pergi, merasa ada sesuatu yang aneh-sebuah rasa yang tidak biasa menghampiri hatinya. Ia tahu, wanita ini akan sulit dilupakan. Cara ia berbicara, tertawa, bahkan cara ia menatapnya... semuanya terasa berbeda.

Di luar gedung, Aluna menarik napas panjang, tersenyum pada dirinya sendiri. Pertemuan pertama itu berjalan sesuai rencana-atau mungkin lebih dari yang ia harapkan. Ia tahu satu hal: Reyhan bukan tipe pria yang mudah ditaklukkan, dan itu justru membuatnya semakin tertantang.

Sementara Reyhan duduk kembali di kantornya, ia menatap tumpukan dokumen dengan pandangan kosong. Namun pikirannya jauh dari laporan keuangan, strategi perusahaan, atau target bulanan. Ia terus memikirkan Aluna-senyum, tawa, bahkan rasa percaya diri yang membuatnya sedikit terguncang. Ia tidak suka perasaan ini, tapi ia tidak bisa mengabaikannya.

Hari itu, Jakarta sibuk seperti biasa. Tapi di satu sudut gedung Hartawan Corp, ada dua orang yang baru saja bertemu, dan dunia mereka tidak akan pernah sama lagi. Badai kecil telah datang-tanpa amarah, tanpa suara petir-hanya senyum, tawa, dan pandangan yang mengguncang ketenangan yang selama ini dijaga.

Aluna melangkah keluar gedung, menatap langit biru yang cerah. "Ini baru permulaan," gumamnya. Senyumnya merekah, penuh rencana dan semangat.

Reyhan menatap layar komputernya, menulis laporan dengan tangan yang bergetar sedikit-sebuah tanda kecil yang ia sendiri enggan akui. Ia tahu satu hal: wanita itu tidak akan mudah hilang dari pikirannya. Dan itu membuatnya... penasaran.

Pagi itu, langit Jakarta tampak berat, meskipun matahari berusaha menembus awan tipis. Di sebuah kafe di kawasan bisnis, Aluna duduk di pojok dengan secangkir cappuccino panas di tangan. Rambutnya diikat longgar, menampilkan wajah cerahnya yang sulit untuk diabaikan. Ia membuka laptop, menelusuri laporan proyek baru yang akan ia jalankan-proyek yang melibatkan Reyhan lebih jauh daripada sekadar pertemuan kemarin.

Di sudut lain kafe, Reyhan memasuki tempat itu dengan langkah mantap. Pagi ini, ia tidak mengenakan jas formal seperti biasanya, melainkan kemeja putih dan celana abu-abu yang sederhana. Meski tampak lebih santai, aura disiplin dan tegasnya tetap terpancar. Ia memindai ruangan sebentar, matanya tertuju pada sosok yang sudah dikenalnya: Aluna, dengan senyumnya yang ceria, seolah dunia di sekitarnya berhenti sebentar.

Aluna menoleh dan menyadari kehadirannya. Senyumannya melebar, tidak ada tanda bahwa ia akan mundur. "Reyhan," sapanya sambil melambai, suaranya ringan dan hangat.

Reyhan mengangguk singkat. Ia berjalan ke meja Aluna, menatapnya tanpa kata, lalu duduk di seberang dengan gerakan yang rapi dan terkontrol. Sekilas, ia memperhatikan bagaimana Aluna tampak nyaman, bahkan di tempat umum, seolah ia lah yang menguasai ruangan.

"Kau datang lebih cepat dari yang kuharapkan," kata Aluna sambil menutup laptopnya. "Apakah kau sudah sarapan?"

Reyhan menggeleng. "Tidak. Aku tidak terbiasa sarapan di luar," jawabnya singkat, nada suaranya tetap tenang namun ada ketertarikan samar yang ia sembunyikan.

Aluna mencondongkan tubuh, matanya bersinar. "Kalau begitu, aku pesan sesuatu untukmu. Jangan pikir aku memaksa, tapi ini bagian dari perjanjian 'membuatmu nyaman'."

Reyhan menatapnya sekilas, lalu menoleh ke menu. Ia jarang membiarkan orang lain menebak preferensinya. Tapi ada sesuatu pada Aluna yang membuatnya sedikit longgar. "Baiklah. Apa yang kau rekomendasikan?"

Senyum Aluna melebar. "Kue cokelat ini enak, dan kopi cappuccino panas-itu favoritku, dan aku yakin kau akan menyukainya."

Mereka duduk dalam diam sesaat. Suasana kafe yang ramai seperti menghilang di sekitar mereka. Aluna menatap Reyhan, mencoba membaca ekspresi di wajahnya yang biasanya sulit ditebak. Reyhan, di sisi lain, menahan diri untuk tidak terlalu memperhatikan gerak-gerik Aluna, tapi matanya terus kembali padanya secara refleks.

"Aku penasaran," kata Aluna akhirnya, menyalakan percakapan ringan, "apakah semua orang di kantormu selalu sekuat itu, disiplin tanpa celah?"

Reyhan menatapnya, lalu tersenyum tipis-sebuah senyum yang sangat jarang ia berikan. "Kebanyakan ya. Tapi disiplin bukan berarti keras. Ini tentang menjaga keseimbangan."

Aluna mencondongkan kepala. "Menarik. Kalau begitu, kau pasti tidak mudah terkejut, kan?"

"Kurasa tidak," jawab Reyhan singkat. Tapi ada nada penasaran di balik kata-katanya, seolah ingin menantang dirinya sendiri.

Aluna menahan tawa kecil. Ia tahu, pria di depannya bukan tipe yang mudah terkecoh, dan itu membuatnya semakin tertantang. "Aku suka orang yang tidak mudah terkecoh," katanya. "Tapi aku juga percaya, semua orang punya titik lemah. Kau pasti punya, kan?"

Reyhan menghela napas pelan, mencoba mengontrol diri. "Semua orang punya kelemahan. Tapi kelemahanku... bukan untuk dibicarakan sembarangan."

Aluna mengangguk, menyeringai sedikit nakal. "Aku suka tantangan."

Mereka berbicara selama hampir satu jam, membahas proyek, strategi, dan beberapa hal pribadi-tentu dengan cara yang berbeda dari pertemuan formal kemarin. Aluna tetap ringan dan percaya diri, sedangkan Reyhan tetap fokus namun tidak sepenuhnya menutup diri. Ada sesuatu yang aneh dan baru dalam interaksi mereka, sesuatu yang membuat Reyhan sadar bahwa ia mulai menunggu percakapan ini lebih dari yang seharusnya.

Ketika kue cokelat dan kopi mereka tiba, Aluna mengambil sepotong kue dan menyuapkan sedikit ke Reyhan. "Coba ini," katanya sambil tersenyum, matanya berbinar penuh tantangan.

Reyhan menatapnya sekilas, sedikit kaku, tapi menerima potongan kue itu. Rasanya manis dan hangat, tapi lebih dari itu, ada kehangatan yang tidak biasa dirasakannya. Ia menelan pelan, menatap Aluna tanpa berkata apa pun, merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya.

"Aku senang kau mencoba," kata Aluna. "Aku ingin kita bekerja sama lebih dekat. Tapi jangan salah paham-ini bukan tentang pekerjaan semata. Aku ingin kau merasa nyaman bersamaku."

Reyhan menundukkan kepala sebentar, menenangkan diri. Ia jarang membuka diri, apalagi membiarkan perasaan campur aduk mengganggu logikanya. "Aku mengerti," katanya. Nada suaranya tetap stabil, tapi ada ketegangan yang samar di suaranya.

Percakapan mereka kemudian bergeser ke hal-hal lebih personal. Aluna mulai berbicara tentang perjalanan terakhirnya ke luar negeri, buku yang sedang ia baca, dan beberapa pengalaman lucu di keluarga Hartawan. Reyhan mendengarkan, sesekali tersenyum tipis, merasa ada kenyamanan yang tidak ia sadari sebelumnya. Ia jarang merasa begitu, terutama dengan seseorang yang begitu percaya diri dan bebas seperti Aluna.

Namun tidak semua berjalan mulus. Ketika topik beralih ke proyek besar yang melibatkan klien penting, Reyhan menunjukkan sisi tegasnya. "Ini bukan sekadar ide kreatif, Aluna. Ada banyak risiko yang harus dipertimbangkan," katanya dengan nada serius, menegaskan batasannya.

Aluna menatapnya dengan tatapan menantang. "Aku tahu, Reyhan. Tapi aku percaya kreativitas dan strategi bisa berjalan beriringan. Kalau kita terlalu takut, kita tidak akan maju."

Reyhan meneguk kopinya, menahan napas sebentar. Ia menyadari bahwa wanita ini bukan tipe yang mudah dikalahkan, dan itu membuatnya harus berpikir lebih keras. Ada ketertarikan dan rasa penasaran yang tumbuh, tapi juga frustrasi karena ia tidak bisa begitu saja menyerah pada perasaan itu.

Setelah hampir dua jam, mereka akhirnya meninggalkan kafe. Jakarta siang itu mulai terasa panas, tapi Aluna tampak segar, penuh semangat. Reyhan menutup pintu mobilnya dan menatapnya sebentar sebelum masuk ke dalam mobilnya sendiri. Ada ketegangan yang samar di antara mereka-sebuah janji tak terucap bahwa pertemuan berikutnya akan membawa lebih banyak hal yang tidak terduga.

Di kantor Reyhan, ia duduk kembali di mejanya, menatap dokumen dengan pandangan kosong. Pikiran tentang Aluna terus muncul, senyum dan tawa yang tidak bisa ia hilangkan. Ia sadar satu hal: wanita itu telah menembus tembok yang selama ini ia bangun, tembok disiplin dan jarak yang ia pertahankan.

Sementara itu, Aluna berjalan menyusuri jalanan Jakarta, menikmati aroma kopi yang masih menempel di udara dan hiruk-pikuk kota. Ia tersenyum sendiri, tahu bahwa pertemuan hari ini bukan sekadar formalitas. Reyhan bukan tipe pria yang mudah didekati, dan itu justru membuat permainan ini semakin menarik. Ia tahu ia harus hati-hati, tapi juga tahu ia tidak bisa berhenti.

Hari itu berakhir dengan dua orang yang berpikir tentang satu sama lain-satu dengan ketertarikan dan sedikit frustrasi, satu lagi dengan rasa penasaran dan semangat tantangan. Mereka baru saja memulai sesuatu, sesuatu yang tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana akhirnya.

Badai kecil telah datang lagi, tanpa amarah, tanpa gemuruh petir. Hanya senyum, tawa, dan pandangan yang saling menantang, mengguncang ketenangan yang selama ini dijaga. Dan mereka berdua, entah sadar atau tidak, sudah mulai terjebak di dalamnya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Yayat Supriyatna

Selebihnya
Ayahku, Penjahat Terbesarku

Ayahku, Penjahat Terbesarku

Romantis

5.0

Ada banyak orang yang mencoba menarik perhatiannya, tapi tidak satu pun yang berhasil menembus dinding hatinya. Hingga suatu malam, di sebuah pesta megah yang dipenuhi lampu gemerlap dan musik berdentum, matanya tertumbuk pada seorang gadis yang menari dengan liar dan penuh semangat di tengah keramaian. Zayden Alaric Veyra, pemuda tampan yang namanya kini menjadi buah bibir di kalangan pebisnis dan investor. Meski masih muda, ia telah berhasil memperluas kerajaan bisnisnya hingga ke luar negeri, memikat semua orang dengan kepintaran dan ketajaman strateginya. Banyak yang mengagumi wajah tampan dan ketegasan sikapnya, namun tidak ada satu pun yang tahu bahwa di balik semua itu, Zayden adalah sosok yang ditakuti di dunia gelap-pemimpin sebuah organisasi kriminal internasional dengan julukan 'Raven'. Tubuhnya tinggi dan atletis, rahang tegasnya menandakan keteguhan, sementara sorot matanya yang dingin mampu menembus kebohongan siapapun. Wanita-wanita cantik telah ia rangkul dalam berbagai malam yang singkat, tapi hatinya tetap kosong. Hingga malam itu, di tengah musik yang memekakkan telinga dan lampu yang menari-nari di sekelilingnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat gadis itu. Gadis itu, dengan rambut hitam panjang yang tergerai dan mata yang berkilau penuh misteri, tampak bebas, mengekspresikan dirinya di lantai dansa seakan dunia miliknya sendiri. Ia memiliki aura yang tak bisa dijelaskan, dan Zayden merasa hatinya ditarik tanpa bisa menolaknya. Namun kenyataannya, keduanya sama-sama menyembunyikan identitas asli mereka. Gadis itu, yang dikenal di lingkaran tertentu sebagai Kaela Seraphine, bukan sekadar pengunjung pesta biasa. Ia juga berasal dari dunia gelap yang sama dengan Zayden. Tidak ada yang tahu bahwa Kaela tengah menjalankan misi untuk memburu sosok yang selama ini dikenal sebagai 'Raven'-dan Zayden-lah targetnya. Takdir mempermainkan mereka ketika suatu misi membawa mereka bersua tanpa sengaja. Kejar-kejaran, konfrontasi, dan kebenaran yang perlahan terbuka membuat keduanya berada di persimpangan yang rumit: di satu sisi mereka sudah merasakan getaran perasaan yang nyata; di sisi lain, dunia mereka memaksa mereka untuk saling membunuh. Bagaimana jika rasa ketertarikan dan rahasia gelap ini bertabrakan? Akankah mereka menyerah pada perasaan ataukah identitas mereka akan menghancurkan segalanya sebelum sempat memulai?

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku