/0/28976/coverbig.jpg?v=20251204202451&imageMogr2/format/webp)
Tidak semua badai hadir dengan amarah. Beberapa datang dengan senyum hangat, aroma kopi yang samar di udara, dan sentuhan ringan pada lengan seseorang... cukup untuk mengacak ketenangan yang selama ini terasa stabil. Aluna muncul layaknya angin musim semi-ceria, penuh energi, dan sulit untuk diabaikan. Seorang wanita muda dengan tutur kata yang manis, percaya diri yang meluap, dan mata yang menyimpan kisah-kisah tak terucap. Ia hidup tanpa batas, menapaki setiap hari dengan kebebasan yang menular. Ia bukan perempuan biasa. Aluna adalah cucu kesayangan Hartawan, seorang taipan dengan kerajaan bisnis yang menjulang. Tumbuh dalam kemewahan, dimanja sejak kecil, dan dipersiapkan menjadi pewaris utama keluarga. Aluna percaya pada satu hal: ia bisa mendapatkan apa pun yang ia inginkan... termasuk mencairkan hati seorang pria dewasa yang terkenal dingin dan sulit didekati. Sementara itu, Reyhan menjalani hidupnya dengan aturan yang ketat. Rapi, teratur, disiplin-seperti tumpukan dokumen yang tersusun rapi di mejanya. Dengan usia matang dan pengalaman yang membentuk karakternya, ia menjaga jarak dari segala bentuk godaan-setidaknya itulah keyakinannya selama ini.
Pagi itu, udara Jakarta terasa berbeda. Mentari memantul di gedung-gedung kaca, memercikkan cahaya ke trotoar yang mulai dipenuhi langkah-langkah sibuk para pejalan kaki. Namun, di salah satu sudut eksklusif kota, ada sosok yang mampu membuat pagi itu terasa lebih hangat, meskipun ia sendiri tidak menyadarinya.
Aluna melangkah keluar dari mobil mewah yang terparkir rapi di depan gedung Hartawan Corp. Rambutnya yang hitam mengilap tertiup angin lembut, senyumnya yang manis seolah mampu mencairkan ketegangan siapa pun yang menatapnya. Ia menatap jam tangan dengan santai, seperti seseorang yang selalu memiliki seluruh waktu dunia di tangannya.
"Seperti biasa, aku datang tepat waktu," gumamnya, setengah tersenyum. Suara itu lembut tapi penuh keyakinan. Ia membuka pintu gedung dan melangkah masuk, menyapa resepsionis dengan senyum hangat yang membuat si perempuan muda itu tersipu.
Aluna memang bukan orang biasa. Ia cucu kesayangan Hartawan, taipan yang menguasai berbagai lini bisnis di Indonesia. Tumbuh dalam kemewahan, dimanja sejak kecil, dan selalu dikelilingi orang-orang yang bersedia memenuhi keinginannya. Tapi Aluna tidak pernah sombong. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman, meski ia membawa aura yang kuat.
Hari itu, tujuan Aluna jelas: ia ingin bertemu dengan Reyhan, seorang pria yang dikenal kaku, disiplin, dan sulit dijangkau. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang Reyhan-bagaimana ia menjaga jarak dari semua godaan, bagaimana ia menekuni pekerjaannya tanpa terlalu memperhatikan hal-hal lain. Dan tentu saja, hal itu justru membuat Aluna semakin tertarik.
Sementara itu, Reyhan duduk di kantornya, dikelilingi tumpukan berkas yang tersusun rapi. Pagi itu, rutinitasnya berjalan seperti biasa: memeriksa laporan keuangan, menandatangani dokumen, dan memastikan setiap departemen bekerja sesuai prosedur. Ia menghiraukan keramaian di luar jendela, menegaskan jarak yang selalu ia pertahankan dari hiruk-pikuk dunia luar.
"Reyhan," panggil asistennya, seorang perempuan muda dengan wajah serius, "ada tamu dari keluarga Hartawan menunggu di lobi. Katanya sangat ingin bertemu dengan Anda."
Reyhan menatap asistennya sebentar, menandai setiap kata dengan kesabaran yang hampir terasa dingin. "Aluna?" tanyanya. Sekilas namanya membuat hatinya, atau setidaknya pikirannya, sedikit tergelincir dari keseimbangan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Ya, Tuan. Dia tampak... ceria seperti biasanya," jawab asistennya, ragu menambahkan komentar lebih jauh.
Reyhan menundukkan kepala sebentar, menyesuaikan jasnya, dan berdiri. Ia tahu, pertemuan ini akan berbeda dari biasanya. Tidak ada ruang untuk spontanitas dalam hidupnya, tapi entah bagaimana, nama Aluna selalu berhasil menimbulkan rasa ingin tahu yang tidak biasa.
Di lobi, Aluna berdiri sambil memainkan ponselnya, matanya menatap layar seolah ada hal penting yang sedang ia tunggu. Tapi ketika Reyhan muncul dari lift, waktu seakan berhenti sebentar. Aluna menatapnya dengan mata berbinar, senyumnya merekah alami, sedangkan Reyhan menatap balik dengan pandangan dingin namun penuh pengendalian.
"Selamat pagi, Tuan Reyhan," sapa Aluna dengan nada riang. Suaranya menembus udara dingin lobi, membuat beberapa orang yang lewat menoleh sejenak.
Reyhan membalas dengan anggukan singkat, menatap matanya sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke depan. "Selamat pagi, Nona Aluna," jawabnya, suara rendah dan terkontrol, khas pria yang terbiasa menahan segala ekspresi.
Aluna melangkah mendekat, matanya masih menatapnya, seolah membaca setiap detail dalam diri Reyhan. "Aku dengar kau sangat disiplin," ujarnya sambil tersenyum, "menarik. Orang-orang bilang, sulit bagi siapa pun untuk masuk ke duniamu."
Reyhan tetap diam sejenak, menimbang apakah ia harus menjawab. "Itu benar," katanya akhirnya. "Aku tidak suka gangguan."
"Tapi kau di sini sekarang, kan?" Aluna mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Apakah aku termasuk gangguan?" tanyanya sambil menahan tawa kecil.
Reyhan menghela napas. Ia tahu wanita di depannya ini berbeda dari kebanyakan orang yang ia temui. Ada sesuatu yang ringan tapi menantang, membuatnya ingin menjaga jarak tapi juga membuatnya penasaran. "Mungkin," jawabnya, suara tetap tenang tapi ada sedikit nada penasaran yang sulit ia sembunyikan.
Mereka berjalan bersama menuju ruang konferensi. Aluna berbicara ringan tentang hal-hal sepele: cuaca, perkembangan terbaru perusahaan, bahkan cerita lucu yang ia dengar dari stafnya. Reyhan hanya mendengarkan, kadang mengangguk, kadang menatap dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.
"Tapi kau selalu terlihat sangat serius," komentar Aluna setelah beberapa menit berjalan. "Apakah tidak ada yang bisa membuatmu tersenyum, Reyhan?"
Reyhan berhenti sejenak, menatapnya lurus di mata. "Tersenyum tanpa alasan adalah pemborosan waktu," katanya.
Aluna tertawa kecil, hampir terdengar seperti lonceng yang memecah ketegangan. "Hmm... jadi aku harus punya alasan yang sangat bagus, ya?" tanyanya, menatapnya penuh tantangan.
Reyhan menatapnya sebentar, mencoba menilai maksud di balik senyum itu. "Mungkin," katanya singkat.
Di ruang konferensi, suasana berubah. Aluna duduk dengan tenang, meletakkan tasnya di kursi samping, dan menatap Reyhan. Ia mulai membicarakan hal-hal penting terkait proyek yang ingin ia jalankan, tapi dengan caranya sendiri-ringan, percaya diri, dan penuh semangat.
Reyhan mendengarkan, membuat catatan sesekali, tapi tetap menjaga jarak emosionalnya. Ia terbiasa dengan rapat formal, tapi energi Aluna membuat segalanya terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya ingin membuka diri, tapi ia menolak menyerah terlalu cepat.
"Proyek ini penting," kata Aluna akhirnya, menatapnya penuh keyakinan. "Dan aku percaya kau bisa membantuku mewujudkannya."
Reyhan menghela napas, menimbang kata-katanya. Ia jarang memberi pujian atau mengakui keunggulan orang lain. Tapi kali ini, ada rasa hormat yang muncul, meskipun ia tidak mengatakannya. "Aku akan mempertimbangkan," jawabnya. Nada suaranya tetap datar, tapi ada sedikit nada hangat yang tidak sengaja muncul.
Pertemuan itu berlangsung lebih lama dari yang Aluna perkirakan. Mereka membahas strategi, tantangan, hingga rencana jangka panjang, tapi selalu dengan cara yang berbeda: Aluna menekankan kreativitas dan semangat, Reyhan menekankan ketelitian dan disiplin. Perbedaan itu justru membuat mereka saling melengkapi, meski belum sepenuhnya mereka sadari.
Ketika pertemuan selesai, Aluna berdiri, senyumnya masih sama cerianya. "Terima kasih, Reyhan. Aku tunggu keputusanmu," katanya sambil melangkah ke pintu.
Reyhan menatapnya pergi, merasa ada sesuatu yang aneh-sebuah rasa yang tidak biasa menghampiri hatinya. Ia tahu, wanita ini akan sulit dilupakan. Cara ia berbicara, tertawa, bahkan cara ia menatapnya... semuanya terasa berbeda.
Di luar gedung, Aluna menarik napas panjang, tersenyum pada dirinya sendiri. Pertemuan pertama itu berjalan sesuai rencana-atau mungkin lebih dari yang ia harapkan. Ia tahu satu hal: Reyhan bukan tipe pria yang mudah ditaklukkan, dan itu justru membuatnya semakin tertantang.
Sementara Reyhan duduk kembali di kantornya, ia menatap tumpukan dokumen dengan pandangan kosong. Namun pikirannya jauh dari laporan keuangan, strategi perusahaan, atau target bulanan. Ia terus memikirkan Aluna-senyum, tawa, bahkan rasa percaya diri yang membuatnya sedikit terguncang. Ia tidak suka perasaan ini, tapi ia tidak bisa mengabaikannya.
Hari itu, Jakarta sibuk seperti biasa. Tapi di satu sudut gedung Hartawan Corp, ada dua orang yang baru saja bertemu, dan dunia mereka tidak akan pernah sama lagi. Badai kecil telah datang-tanpa amarah, tanpa suara petir-hanya senyum, tawa, dan pandangan yang mengguncang ketenangan yang selama ini dijaga.
Aluna melangkah keluar gedung, menatap langit biru yang cerah. "Ini baru permulaan," gumamnya. Senyumnya merekah, penuh rencana dan semangat.
Reyhan menatap layar komputernya, menulis laporan dengan tangan yang bergetar sedikit-sebuah tanda kecil yang ia sendiri enggan akui. Ia tahu satu hal: wanita itu tidak akan mudah hilang dari pikirannya. Dan itu membuatnya... penasaran.
Pagi itu, langit Jakarta tampak berat, meskipun matahari berusaha menembus awan tipis. Di sebuah kafe di kawasan bisnis, Aluna duduk di pojok dengan secangkir cappuccino panas di tangan. Rambutnya diikat longgar, menampilkan wajah cerahnya yang sulit untuk diabaikan. Ia membuka laptop, menelusuri laporan proyek baru yang akan ia jalankan-proyek yang melibatkan Reyhan lebih jauh daripada sekadar pertemuan kemarin.
Di sudut lain kafe, Reyhan memasuki tempat itu dengan langkah mantap. Pagi ini, ia tidak mengenakan jas formal seperti biasanya, melainkan kemeja putih dan celana abu-abu yang sederhana. Meski tampak lebih santai, aura disiplin dan tegasnya tetap terpancar. Ia memindai ruangan sebentar, matanya tertuju pada sosok yang sudah dikenalnya: Aluna, dengan senyumnya yang ceria, seolah dunia di sekitarnya berhenti sebentar.
Aluna menoleh dan menyadari kehadirannya. Senyumannya melebar, tidak ada tanda bahwa ia akan mundur. "Reyhan," sapanya sambil melambai, suaranya ringan dan hangat.
Reyhan mengangguk singkat. Ia berjalan ke meja Aluna, menatapnya tanpa kata, lalu duduk di seberang dengan gerakan yang rapi dan terkontrol. Sekilas, ia memperhatikan bagaimana Aluna tampak nyaman, bahkan di tempat umum, seolah ia lah yang menguasai ruangan.
"Kau datang lebih cepat dari yang kuharapkan," kata Aluna sambil menutup laptopnya. "Apakah kau sudah sarapan?"
Reyhan menggeleng. "Tidak. Aku tidak terbiasa sarapan di luar," jawabnya singkat, nada suaranya tetap tenang namun ada ketertarikan samar yang ia sembunyikan.
Aluna mencondongkan tubuh, matanya bersinar. "Kalau begitu, aku pesan sesuatu untukmu. Jangan pikir aku memaksa, tapi ini bagian dari perjanjian 'membuatmu nyaman'."
Reyhan menatapnya sekilas, lalu menoleh ke menu. Ia jarang membiarkan orang lain menebak preferensinya. Tapi ada sesuatu pada Aluna yang membuatnya sedikit longgar. "Baiklah. Apa yang kau rekomendasikan?"
Senyum Aluna melebar. "Kue cokelat ini enak, dan kopi cappuccino panas-itu favoritku, dan aku yakin kau akan menyukainya."
Mereka duduk dalam diam sesaat. Suasana kafe yang ramai seperti menghilang di sekitar mereka. Aluna menatap Reyhan, mencoba membaca ekspresi di wajahnya yang biasanya sulit ditebak. Reyhan, di sisi lain, menahan diri untuk tidak terlalu memperhatikan gerak-gerik Aluna, tapi matanya terus kembali padanya secara refleks.
"Aku penasaran," kata Aluna akhirnya, menyalakan percakapan ringan, "apakah semua orang di kantormu selalu sekuat itu, disiplin tanpa celah?"
Reyhan menatapnya, lalu tersenyum tipis-sebuah senyum yang sangat jarang ia berikan. "Kebanyakan ya. Tapi disiplin bukan berarti keras. Ini tentang menjaga keseimbangan."
Aluna mencondongkan kepala. "Menarik. Kalau begitu, kau pasti tidak mudah terkejut, kan?"
"Kurasa tidak," jawab Reyhan singkat. Tapi ada nada penasaran di balik kata-katanya, seolah ingin menantang dirinya sendiri.
Aluna menahan tawa kecil. Ia tahu, pria di depannya bukan tipe yang mudah terkecoh, dan itu membuatnya semakin tertantang. "Aku suka orang yang tidak mudah terkecoh," katanya. "Tapi aku juga percaya, semua orang punya titik lemah. Kau pasti punya, kan?"
Reyhan menghela napas pelan, mencoba mengontrol diri. "Semua orang punya kelemahan. Tapi kelemahanku... bukan untuk dibicarakan sembarangan."
Aluna mengangguk, menyeringai sedikit nakal. "Aku suka tantangan."
Mereka berbicara selama hampir satu jam, membahas proyek, strategi, dan beberapa hal pribadi-tentu dengan cara yang berbeda dari pertemuan formal kemarin. Aluna tetap ringan dan percaya diri, sedangkan Reyhan tetap fokus namun tidak sepenuhnya menutup diri. Ada sesuatu yang aneh dan baru dalam interaksi mereka, sesuatu yang membuat Reyhan sadar bahwa ia mulai menunggu percakapan ini lebih dari yang seharusnya.
Ketika kue cokelat dan kopi mereka tiba, Aluna mengambil sepotong kue dan menyuapkan sedikit ke Reyhan. "Coba ini," katanya sambil tersenyum, matanya berbinar penuh tantangan.
Reyhan menatapnya sekilas, sedikit kaku, tapi menerima potongan kue itu. Rasanya manis dan hangat, tapi lebih dari itu, ada kehangatan yang tidak biasa dirasakannya. Ia menelan pelan, menatap Aluna tanpa berkata apa pun, merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya.
"Aku senang kau mencoba," kata Aluna. "Aku ingin kita bekerja sama lebih dekat. Tapi jangan salah paham-ini bukan tentang pekerjaan semata. Aku ingin kau merasa nyaman bersamaku."
Reyhan menundukkan kepala sebentar, menenangkan diri. Ia jarang membuka diri, apalagi membiarkan perasaan campur aduk mengganggu logikanya. "Aku mengerti," katanya. Nada suaranya tetap stabil, tapi ada ketegangan yang samar di suaranya.
Percakapan mereka kemudian bergeser ke hal-hal lebih personal. Aluna mulai berbicara tentang perjalanan terakhirnya ke luar negeri, buku yang sedang ia baca, dan beberapa pengalaman lucu di keluarga Hartawan. Reyhan mendengarkan, sesekali tersenyum tipis, merasa ada kenyamanan yang tidak ia sadari sebelumnya. Ia jarang merasa begitu, terutama dengan seseorang yang begitu percaya diri dan bebas seperti Aluna.
Namun tidak semua berjalan mulus. Ketika topik beralih ke proyek besar yang melibatkan klien penting, Reyhan menunjukkan sisi tegasnya. "Ini bukan sekadar ide kreatif, Aluna. Ada banyak risiko yang harus dipertimbangkan," katanya dengan nada serius, menegaskan batasannya.
Aluna menatapnya dengan tatapan menantang. "Aku tahu, Reyhan. Tapi aku percaya kreativitas dan strategi bisa berjalan beriringan. Kalau kita terlalu takut, kita tidak akan maju."
Reyhan meneguk kopinya, menahan napas sebentar. Ia menyadari bahwa wanita ini bukan tipe yang mudah dikalahkan, dan itu membuatnya harus berpikir lebih keras. Ada ketertarikan dan rasa penasaran yang tumbuh, tapi juga frustrasi karena ia tidak bisa begitu saja menyerah pada perasaan itu.
Setelah hampir dua jam, mereka akhirnya meninggalkan kafe. Jakarta siang itu mulai terasa panas, tapi Aluna tampak segar, penuh semangat. Reyhan menutup pintu mobilnya dan menatapnya sebentar sebelum masuk ke dalam mobilnya sendiri. Ada ketegangan yang samar di antara mereka-sebuah janji tak terucap bahwa pertemuan berikutnya akan membawa lebih banyak hal yang tidak terduga.
Di kantor Reyhan, ia duduk kembali di mejanya, menatap dokumen dengan pandangan kosong. Pikiran tentang Aluna terus muncul, senyum dan tawa yang tidak bisa ia hilangkan. Ia sadar satu hal: wanita itu telah menembus tembok yang selama ini ia bangun, tembok disiplin dan jarak yang ia pertahankan.
Sementara itu, Aluna berjalan menyusuri jalanan Jakarta, menikmati aroma kopi yang masih menempel di udara dan hiruk-pikuk kota. Ia tersenyum sendiri, tahu bahwa pertemuan hari ini bukan sekadar formalitas. Reyhan bukan tipe pria yang mudah didekati, dan itu justru membuat permainan ini semakin menarik. Ia tahu ia harus hati-hati, tapi juga tahu ia tidak bisa berhenti.
Hari itu berakhir dengan dua orang yang berpikir tentang satu sama lain-satu dengan ketertarikan dan sedikit frustrasi, satu lagi dengan rasa penasaran dan semangat tantangan. Mereka baru saja memulai sesuatu, sesuatu yang tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana akhirnya.
Badai kecil telah datang lagi, tanpa amarah, tanpa gemuruh petir. Hanya senyum, tawa, dan pandangan yang saling menantang, mengguncang ketenangan yang selama ini dijaga. Dan mereka berdua, entah sadar atau tidak, sudah mulai terjebak di dalamnya.
Bab 1 ada sosok yang mampu membuat pagi itu terasa lebih hangat
24/10/2025
Bab 2 Ia tahu pria itu bukan tipe yang suka basa-basi
24/10/2025
Bab 3 menjadi pusat perhatian
24/10/2025
Bab 4 mempesona
24/10/2025
Bab 5 Hari ini bukan hari biasa
24/10/2025
Bab 6 terlihat resah
24/10/2025
Bab 7 mobil yang melintas
24/10/2025
Bab 8 ekspresi yang tak terbaca
24/10/2025
Bab 9 Reyhan masih menjauh
24/10/2025
Bab 10 ada sesuatu yang membuatnya yakin
24/10/2025
Bab 11 suasana berbeda dari biasanya
24/10/2025
Bab 12 Aku terlalu sibuk
24/10/2025
Bab 13 Mereka tidak boleh selamat
24/10/2025
Bab 14 kita mencoba menghentikan mereka secara paksa
24/10/2025
Bab 15 tentang kebenaran
24/10/2025
Bab 16 kecerdikannya
24/10/2025
Bab 17 menghalangi
24/10/2025
Bab 18 ambigu
24/10/2025
Bab 19 menyasar reputasi
24/10/2025
Bab 20 cukup puas dengan manipulasi
24/10/2025
Bab 21 ragu harus diawasi
24/10/2025
Bab 22 kepentingan perusahaan
24/10/2025
Bab 23 memperkuat posisi mereka
24/10/2025
Bab 24 Kau ingin menyelamatkan Reyhan
24/10/2025
Bab 25 Tidak ada lagi ruang untuk keraguan
24/10/2025
Buku lain oleh Yayat Supriyatna
Selebihnya