Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
449
Penayangan
20
Bab

Halimah tiba- tiba bisa melihat tempat yang aneh dan calon tumbalnya. Apa yang terjadi pada Halimah? Apakah Haimah harus mencari tumbalnya? Apakah Halimah bisa diselamatkan?

Bab 1 Bagian 1 : Halimah

“Jadi mengapa kamu ke sini? Bukankah aku sudah bilang kalau tidak boleh ke sini?” teriak wanita tua itu dengan marah dan wajah memerah.

Halimah menundukkan pandangannya dan mulai menangis. Tangannya memilin-milin ujung bajunya.

“Tidak usah menangis! Hentikan tangismu itu! Apa maumu?” teriak wanita tua itu. Halimah semakin menundukkan pandangannya. Wanita tua itu mendecakkan lidahnya kesal, dia mendekati gadis bertubuh kecil itu. Wanita tua memegang dagu Halimah dengan tangannya yang berkuku panjang dan kotor itu.

“Kamu cari mati, ya, datang ke sini? Apa sajennya kurang kemarin?” bisik wanita tua itu dengan geram. Halimah mendongak dan melihat ke arah wanita tua itu dengan pandangan takut, dia segera menunduk lagi. Halimah mundur sedikit, berusaha menghindari wanita tua itu.

“Jawa, Limah! Mengapa kamu diam aja?” teriak wanita tua itu dengan kemarahan yang menggelora, dia mencengekeram dagu Halimah. Halimah menjerti kesakitan.

“Abdi kambuh lagi, Nyai. Aku di suruh memanggil nyai ke rumah Pak Slamet,” jawab Halimah pelan. Wanita tua itu terkejut dan perlahan melepaskan cengkeramannya pada dagu Halimah, dia mundur perlahan.

“Kenapa tidak bilang dari tadi?” bisik wanita tua itu. Halimah menunduk lagi.

“Aku takut karena Nyai Barinah sudah berteriak-teriak seperti tadi,” jawab Halimah dengan melirik kesal pada wanita tua bertubuh bungkuk dan berwajah bocel-bocel itu.

“Ya, sudah, aku akan segera ke sana. Pulanglah dulu. Maafkan aku, ya, Limah,” kata Nyai Barinah. Halimah mengangguk dan segera melesat meninggalkan rumah Nyai Barinah. Halimah lupa jalan yang dilaluinya tadi licin dan berbatu terjal, sehingga dia beberapa kali jatuh dan membuat bajunya kotor penuh lumpur. Tubuhnya sakit sekali dan ada beberapa bagian tubuhnya yang berdarah dan membuatnya menangis tersedu.

***

Halimah sampai di rumah Pak Slamet setengah jam kemudian. Badannya kotor dan sakit semua. Dia mengetuk pintu dapur dengan keras dan terburu-buru.

“Mbok Nem, bukakan pintunya!” teriak Halimah. Sunyi, tidak ada yang membukakan pintu, “MBok Nem! Pak Tatang!” teriak Halimah lagi. Setelah beberapa waktu akhirnya ada suara langkah kaki membukakan pintu dapur.

“Limah?”

“Iya, Mbok! Bukakan pintu, Mbok!” teriak Halimah lagi.

“Iya! Iya! Sabar, Mah!” gerutu Mbok Nem. Dan tak lama kemudian pintu dapur itu terbuka. Mbok Nem sangat terkejut melihat kondisi Halimah yang agak memrihatinkan.

“Kamu kenapa, Mah? Apa Nyai Barinah ngamuk lagi?” tanya Mbok Nem dan buru-buru meminta Halimah masuk ke dalam rumah Pak Slamet, “kok, ya, nyuruh surup-surup (senja) begini, ya? Kan bahaya! Nanti kalau Buto Ijonya itu keluar gimana coba? Kamu nggak papa, Mah?” tanya Mbok Nem sambil berusaha membersihkan wajah dan rambut Halimah yang kusut masai. Halimah hanya bisa menangis kesakitan.

“Mandi dulu saja, ya? Nanti setelah itu kuobati semuanya,” kata Mbok Nem. Halimah mengangguk, dia berjalan tertatih menuju kamarnya. Di dalam kamar dia segera mandi, berganti baju dan kemudian melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh pak Slamet selama Halimah tinggal di rumah itu, yaitu salat. Dengan buru-buru Halimah salat Magrib dengan sprei yang dijadikannya mukena dan setelah selesai dia segera melipat spreinya lagi dan memasukkannya ke dalam lemari.

“Limah! Sudah belum ganti bajunya? Lama sekali!” teriak Mbok Nem sambil menggedor kamar Halimah. Halimah buru-buru menyembunyikan sajadah di dalam lemarinya dan membukakan pintu kamarnya.

“Kebiasaan kalau mandi lama banget! Mbok, ya kalau mandi itu yang cepet, sat set gitu lo!” gerutu Mbok Nem lagi. Dia mencebik sambil memeriksa tubuh Halimah yang memar, lebam dan berdarah. Halimah mengaduh kesakitan ketika Mbok Nem menotol-notol luka di tubuhnya dengan minyak ramuan kunyit dan daun sirih yang bisa digunakan sebagai antibiotika dan sekaligus juga penghilang rasa sakit.

“Kalau ini sudah selesai, langsung mbantu aku menyiapkan makan malam, ya? Katanya Nyai Barinah akan datang selepas maghrib,” kata Mbok Nem. Halimah mengangguk.

“Matur nuwun wis gelem nggon omahe Nyai Barinah, ya? (Terima kasih sudah mau ke rumah Nyai Barinah, ya?)” kata Mbok Nem sambil mengelus rambut Halimah. Halimah mengangguk sambil tersenyum haru karena melihat bulir-bulir air mata yang hendak menetes di pipi Mbok Nem, yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri.

“Ayo, sekarang bantu aku, ya?” kata Mbok Nem memecah kesunyin dan keharuan itu. Halimah mengangguk dan buru-buru mengikuti Mbok Nem menuju ke dapur.

***

Halimah selalu terpesona dengan menu makanan keluarga Pak Slamet. Mbok Nem selalu disuruh masak makanan dalam jumlah yang banyak dan menunya juga selalu enak sekali menurut Halimah. Seperti malam itu, dia membantu menyiapkan makan malam yang sangat ‘wah’, ada rendang daging, ada pecel, ada sayur asem, ada tempe bacem, tahu bacem, ayam goreng, dan sayur sop daging. Hmm … Halimah hampir saja mengambil sebuah tahu bacem yang nampak sangat enak, berwarna kecoklatan dan berkilauan tertimpa cahaya lampu dan perut Halimah berkeriut menahan lapar. Dia hanya bisa menelan ludah membayangkan betapa lezatnya makanan yang disajikan malam itu.

Tetapi tetap saja rasa heran menyeruak dalam hati Halimah. Bukankah keluarga Pak Slamet hanya empat orang? Ada Pak Slamet, Bu Slamet, Abdi dan kakak perempuannya yang bernama Siti Hayati, mungkin hari ini ada Nyai Barinah, yang pastinya akan makan malam di rumah Pak Slamet. Tetapi sebanyak apapun makanan dan lauk yang dimasak dan disajikan di meja makan, tetap saja semuanya habis tuntas tak tersisa.

Kadang Halimah ikut membereskan meja makan setiap selesai makan malam dan selalu saja tidak ada setetespun kuah, sebutirpun nasi atau secuilpun lauk yang tersisa. Aneh sekali!

“Nggak usah mikir aneh-aneh!” desis seseorang di belakang Halimah. Halimah terlonjak kaget, dia menoleh ke belakang dan melihat Bu Slamet berdiri sambil tersenyum di belakangnya. Halimah langsung menunduk dan Bu Slamet meninggalkan Halimah begitu saja, membuat Halimah semakin ketakutan, karena menyadari bahwa langkah Bu Slamet tak berbunyi sama sekali, begitu mengerikan.

***

Dari dapur Halimah mendengar suara denting sendok dan piring yang beradu di ruang makan, dan anehnya, dia juga mendengar suara dengus-dengus aneh dari ruang itu, seperti suara orang yang kelelahan setelah berlari. Halimah sangat tidak nyaman mendengar dengusan itu. Dia juga sangat penasaran. Akhirnya Halimah mengintip melalui sebuah lubang kecil yang terdapat di bagian atas tengah pintu yang memisahkan antara dapur dengan ruang makan dan … dan Halimah melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu ….

Halimah membeliak tak percaya. Dia mundur dan segera berlari ke kamarnya. Napasnya memburu, jantungnya berdetak kencang. Halimah mencoba menenangkan diri ketika mendengar teriakan Abdi.

“Halimah salat di rumah kita, Pak! Halimah salat di rumah kita!

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku