Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Proyek Villa di Kaki Gunung Slamet

Proyek Villa di Kaki Gunung Slamet

Aishwa Nahla

5.0
Komentar
164
Penayangan
5
Bab

"Rahasia gaib hanya diketahui oleh Allah semata. Cerita ini bukan rujukan syariah dan hanya hasil imajinasi dan fantasi belaka". Adam, seorang pria berusia 30 tahun, diutus oleh pamannya untuk pergi ke desa terpencil di kaki gunung Slamet. Paman Adam sedang membangun sebuah proyek villa di sana dan Adam harus mengawasi kedatangan alat-alat berat dan bahan bangunan. Namun, Adam tidak menyangka bahwa desa itu menyimpan banyak misteri dan bahaya yang mengintainya. Dari awal datang, Adam dihantui oleh makhluk-makhluk gaib di sana. Mampukah Adam dan pamannya menyelesaikan pembangunan Villa dan misteri yang menyelimuti desa itu?

Bab 1 Seperti kota mati

Aku terkejut mendengar suara sopir yang mengumumkan kalau bus ekspres yang kunaiki sudah tiba di terminal kota Mangkubumen. Kota kecil yang berada di lereng gunung Slamet itu adalah tujuan perjalananku.

Aku mengucek mata, lalu mengecek jam tangan yang menunjukkan pukul sepuluh malam, kemudian mengambil tas dan bersiap turun.

"Matur nuwun, Pak. Assalamualaikum." Ucapku sambil menuruni tangga bus. Namun, sopir yang sudah beruban itu tidak membalas salamku. Ah, sudahlah. Mungkin dia sedang lelah.

"Alhamdulillah, akhirnya bisa sampai di sini," ucapku dalam hati saat kakiku menginjak aspal.

Aku memutuskan untuk istirahat sejenak di bangku semen. Tak lama kemudian, bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Ternyata, aku adalah satu-satunya penumpang yang turun di sini.

Aku melihat sekeliling. Suasana terminal sangat sepi. Hanya ada dua lampu yang menyala redup, satu di kanan dan satu di kiri. Selebihnya gelap gulita.

Angin malam yang bertiup semakin membuatku merinding. Aku tidak melihat ada orang atau kendaraan lain di sekitar terminal bus ini, seolah-olah aku terdampar di kota mati.

"Kok bisa sepi sekali, ya. Angkot aja ndak ada. Piye carane ke Desa Pringan?" Gumamku. Andai saja tiket bus siang hari tidak habis, mungkin aku bisa sampai di sini lebih awal.

Namaku Adam, bulan depan umurku genap 30 tahun. Ini adalah kali pertamaku datang ke kota kecil ini, dan juga kali pertamaku menuju Desa Pringan. Aku di sini atas permintaan Paman Tarmin, adik Ibu.

Paman ditugaskan untuk membangun sebuah Villa. Tugasku adalah mengurus kedatangan bahan bangunan besok siang.

Aku tidak tahu apa-apa tentang desa yang akan kusambangi, hanya nama seorang warga desa yang harus kucari, Pak Jangkung namanya.

Paman Tarmin memberi petunjuk yang terkesan mudah, padahal tugasku tidak semudah itu. Pasalnya, ada rasa tidak nyaman yang mengusikku. Aku merasa ada yang aneh dengan kota ini, tapi aku berusaha mengesampingkannya.

Tak lama kemudian, aku melihat lampu mobil mendekatiku. Aku merasa lega. Mobil itu berhenti tepat di hadapanku, sebuah Nissan tua yang sudah berkarat.

"Mau ke mana, Mas?" tanya seorang pria paruh baya dari balik kaca mobil yang terbuka. Aku bisa melihat ada seorang pria dan seorang wanita di kursi belakang, tapi wajah mereka samar-samar karena gelap.

"Saya mau ke Desa Pringan, Pak."

"Oh, Desa Pringan lumayan jauh dari sini. Sekitar satu jam perjalanan. Dua orang di belakang juga mau ke sana. Mau ikut saya, Mas? Tapi saya minta lima puluh ribu ya, hehehe," katanya.

Aku tidak punya pilihan lain selain mengiyakan, buru-buru aku naik ke mobil dan duduk di sebelah sopir sambil memeluk tas. Mobil itu langsung melaju menuju tujuan.

"Kok malam-malam gini mau ke Desa Pringan. Apa Mas nggak takut?" tanya sopir mobil itu yang menyebut namanya Pak Kasman.

"Ada urusan di sana, Pak. Oh ya, saya mau ke rumah Pak Jangkung. Apa Pak Kasman tahu?"

"Pak Jangkung? Ohh... tahu... tahu... nanti saya antar ke rumahnya."

Aku tersenyum lega melihat sikap ramah Pak Kasman. Tapi, sejak tadi dua orang di kursi belakang tidak mengeluarkan suara sama sekali. Lima belas menit pertama, perjalanan berlangsung lancar meskipun jalan menuju Desa Pringan makin gelap.

Lalu kami sampai di sebuah persimpangan, dan sejak itu suasana berubah. Keadaannya makin gelap dan sepi. Pak Kasman tiba-tiba jadi pendiam dan tidak lagi terlihat ceria seperti sebelumnya.

Suasana yang mencekam ini membuatku merasa cemas. Aku mulai mengucapkan ayat-ayat yang pernah aku hafal, mencoba mencari ketenangan dalam hati karena merasa ada yang tidak beres.

Hujan mulai turun. Di dalam mobil yang tidak ada AC-nya, kaca mobil jadi berembun. Aku tercium bau wangi yang menusuk. Sesekali aku menoleh ke arah Pak Kasman, khawatir kalau dia tertidur karena sekarang dia hanya membisu.

Bau wangi itu lama-lama berubah jadi bau anyir. Aku membaca ayat-ayat lagi, merasa ada yang ganjil di dalam mobil ini. Aku menoleh ke sisi pengemudi, tapi apa yang kulihat membuat mataku terbelalak.

Wajah Pak Kasman sudah berubah. Mata kanannya keluar dan terjuntai ke bawah, sedangkan kepala yang sebelah kiri gepeng, seperti terlindas atau menghantam sesuatu yang cukup keras.

Aku segera menjauhkan diri dan bersandar pada pintu mobil. Sekarang aku bisa lihat lebih jelas ke arah Pak Kasman dan dua orang di belakang.

Wajah wanita itu tak kalah mengerikan, kulitnya menghitam dan mengelupas dengan belatung-belatung yang merayap dari hidung dan mulutnya. Sedangkan pria di sampingnya, kepalanya terbelah dua hingga otaknya tersembul keluar.

Aku membaca ayat-ayat dan meniup ke arah mereka bertiga. Hujan makin deras, bajuku basah kuyup karena air hujan yang masuk lewat jendela yang tidak tertutup.

Ketiga sosok itu makin marah setiap kali aku menghembuskan bacaan ayat suci Al-Quran ke arah mereka. Wanita itu mulai menggigit-gigit bibirnya sampai robek, sementara pria itu menghentakkan kepalanya berkali-kali ke kaca mobil, membuat isi kepalanya muncrat kemana mana, membuat aku mual seketika.

Tiba-tiba mobil makin melaju kencang dan melaju ke sisi kanan. Aku hanya bisa menjerit saat mobil terjun ke jurang dan...

"Allahuakbar. Allahuakbar. Allaaahhhhh!!!"

BRAKKK!

Mobil menabrak sesuatu dan membuat kepalaku berdenyut karena terbentur dashboard. Aku berusaha membuka mata, tapi pandanganku masih buram karena benturan itu.

Dengan bantuan cahaya alami dari langit, aku bisa melihat mobil ini menabrak pohon di sisi kanan. Kayu dan daun berserakan di sekitar mobil.

Aku segera mengambil senter yang selalu kubawa di tas, lalu menyinari sisi pengemudi dan kursi belakang. Tapi, ketiga orang yang tadi bersamaku sudah hilang entah kemana.

Tak menunggu lama, aku buru-buru membuka pintu mobil dan keluar dari sini karena asap putih mulai keluar.

Hujan yang masih turun membuat langkahku terasa berat, dan aku harus berjuang keras untuk naik dari jurang. Untungnya, jurang ini tidak terlalu dalam.

Setelah berjuang selama sepuluh menit, akhirnya aku bisa mencapai puncak. Dengan napas yang terengah-engah, aku memeriksa tubuhku. Aku bersyukur karena tidak ada luka yang serius.

Aku melepas jam tangan, lalu menilik jarum yang menunjukkan pukul sebelas malam sebelum menyimpannya ke dalam tas. Dari atas, aku menggunakan senter untuk melihat ke bawah. Aku kaget melihat mobil yang baru saja kunaiki sudah berubah jadi bangkai. Body-nya ringsek, banyak akar yang merambat menutupinya.

Meskipun hujan masih turun, aku memilih untuk melanjutkan perjalanan mengikuti jalan yang ada. Aku tidak mau berlama-lama di sini, karena aku semakin bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Di tengah hujan aku berjalan kaki sambil menyorotkan senter ke depan. Tanah yang berlumpur dan berkerikil serta air yang menggenang membuat langkahku sedikit terhambat.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, akhirnya aku melihat sebuah papan tanda kecil yang bertuliskan 'Desa Pringan'. Aku sangat lega dan terus berjalan tanpa henti.

Tak lama kemudian, aku menemukan sebuah warung kecil yang sudah tutup. Aku bisa melihat ada cahaya lampu dari dalam warung. Aku beranikan diri untuk mengetuk pintu, berharap ada orang yang bisa membantu.

"Assalamualaikum, Pak, Bu," panggilku. Tapi, tidak ada yang menjawab. Aku mengulangi lagi, tapi tetap sepi. Tiba-tiba, pintu warung terbuka, dan seorang lelaki tua muncul dari balik pintu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Aishwa Nahla

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku