/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Keisha menghela napas, jemarinya membelai renda halus pada gaun pengantin putih yang dikenakannya. Cermin di depannya memantulkan bayangan seorang wanita muda yang tampak rapuh namun memancarkan aura keteguhan. Matanya sembap, sedikit kemerahan akibat tangis semalaman, tetapi senyum tipis masih terukir di bibirnya. Hari ini, adalah hari yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan setelah lima tahun penantian. Hari ini, ia akan menikah dengan Rafael.
Sejak Keisha berusia lima belas tahun dan Rafael menginjak tujuh belas, mereka adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Cinta mereka tumbuh di antara lorong-lorong SMA, di bawah pohon beringin tua di taman kota, dan di meja kafe yang menjadi saksi bisu janji-janji masa depan. Rafael, dengan senyumnya yang menawan dan mata cokelat yang selalu memancarkan kehangatan, adalah segalanya bagi Keisha. Dia adalah pelabuhan, sahabat, kekasih, dan impian yang menjadi nyata. Keluarga mereka pun merestui, melihat betapa tulusnya cinta dua sejoli itu. Ibu Keisha seringkali mengatakan, "Rafael itu seperti anakku sendiri, Keisha. Kalian memang ditakdirkan bersama." Kata-kata itu selalu menghangatkan hati Keisha, meyakinkannya bahwa pilihannya sudah benar.
Persiapan pernikahan sudah dilakukan berbulan-bulan lamanya. Mulai dari pemilihan tanggal baik, lokasi resepsi yang megah di salah satu hotel bintang lima di pusat kota, hingga daftar tamu yang mencapai ratusan. Keisha sendiri terlibat langsung dalam setiap detailnya, dari pemilihan bunga hingga dekorasi pelaminan. Dia ingin semuanya sempurna, persis seperti yang ia impikan sejak kecil. Rafael pun demikian, ia tampak antusias dan berulang kali meyakinkan Keisha bahwa ia tidak sabar untuk memulai hidup baru bersamanya. Obrolan mereka kini tidak lagi seputar film terbaru atau tempat liburan impian, melainkan tentang tata letak rumah masa depan, nama anak-anak mereka, dan rencana pensiun yang masih jauh di angan. Semua tampak begitu nyata, begitu indah.
Namun, keindahan itu perlahan retak, tanpa Keisha sadari. Beberapa minggu menjelang hari H, Rafael mulai sedikit berubah. Ia lebih sering sibuk dengan ponselnya, panggilan teleponnya menjadi lebih rahasia, dan jam pulangnya semakin larut. Ketika Keisha bertanya, Rafael selalu menjawab dengan alasan pekerjaan yang menumpuk atau proyek mendadak yang harus diselesaikan. "Ini demi masa depan kita, sayang," katanya selalu, dan Keisha, yang terlalu mencintai dan percaya, tidak pernah sekalipun curiga. Ia malah merasa bersalah karena mengganggu kesibukan calon suaminya.
Puncaknya terjadi semalam. Keisha, yang seharusnya menghabiskan malam terakhirnya sebagai lajang dengan tenang, justru dihinggapi kegelisahan aneh. Rafael tidak bisa dihubungi sejak sore. Pesan teksnya tidak dibalas, panggilannya tidak dijawab. Panik mulai merayapi hatinya. Ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif. Mungkin Rafael sibuk persiapan terakhir, atau ponselnya mati. Namun, hingga larut malam, hingga Keisha tertidur dengan air mata di pipinya, tidak ada kabar dari Rafael.
Pagi ini, kegelisahan itu berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Saat Keisha tengah dirias, ibunya masuk ke kamar dengan wajah pucat. Matanya berkaca-kaca, dan tangannya sedikit gemetar saat menggenggam jemari putrinya.
"Keisha..." Suara ibunya serak, nyaris tak terdengar.
Keisha merasakan jantungnya berdebar kencang. Firasat buruk mulai menggelayuti. "Ada apa, Bu?" tanyanya, mencoba menjaga ketenangannya.
"Rafael... dia..." Ibu Keisha tidak mampu melanjutkan kalimatnya, isakan kecil lolos dari bibirnya.
Perias yang sedang memulaskan eyeliner pada mata Keisha menghentikan pekerjaannya, tatapannya penuh simpati.
"Ada apa dengan Rafael, Bu?" Nada suara Keisha mulai naik, kepanikan membuncah. Ia bangkit dari kursi riasnya, menghampiri ibunya.
Ibunya akhirnya berhasil bicara, suaranya tercekat. "Rafael... dia tidak datang, Nak."
Dunia Keisha seolah runtuh. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam. Tidak datang? Bagaimana mungkin? Hari ini adalah hari pernikahan mereka. Bagaimana mungkin Rafael tidak datang?
"Apa maksud Ibu?" Keisha merasa suaranya asing di telinganya sendiri. "Ini hari pernikahan kami! Dia pasti datang!"
"Kakaknya, Dion, yang memberitahu Ibu. Dia sudah menunggu di lobi. Rafael mengirim pesan padanya, katanya ada hal mendadak yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia... dia bilang tidak bisa menikahimu."
Kepala Keisha terasa berputar. Nafasnya tercekat. Rasa sakit yang tajam menghantam dadanya, lebih parah dari apapun yang pernah ia rasakan. Lima tahun... lima tahun kebersamaan, janji-janji, impian... semuanya hancur dalam sekejap. Tanpa penjelasan, tanpa alasan, Rafael menghilang di hari terpenting dalam hidup mereka.
"Tidak mungkin..." bisiknya, air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya yang sudah dirias. Perias menatapnya dengan iba, segera mengambil tisu dan menyodorkannya.
"Keisha, Nak... Ibu tahu ini berat. Tapi kita harus kuat," kata ibunya, memeluk erat tubuh putrinya yang mulai bergetar. "Ada ratusan tamu di bawah. Kita tidak bisa membatalkan ini begitu saja."
"Lalu apa, Bu?" Keisha melepas pelukan ibunya, tatapan matanya kosong. "Aku harus bagaimana? Aku harus bilang apa pada semua orang? Bahwa pengantinku kabur?" Suara terakhirnya pecah menjadi isakan.
Pada saat itulah, pintu kamar terbuka dan Dion masuk. Pria itu tampak tegang, wajahnya kusut, dan matanya memancarkan kesedihan serta rasa bersalah yang mendalam. Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, namun sorot matanya menunjukkan kekacauan batin. Dion adalah kakak laki-laki Rafael, seorang arsitek sukses dengan reputasi baik dan kepribadian yang tenang. Ia selalu menghormati Keisha dan seringkali menjadi penengah jika Keisha dan Rafael bertengkar.
"Keisha..." panggil Dion lembut, suaranya penuh penyesalan. "Maafkan aku... maafkan Rafael."
Keisha menatap Dion, air mata terus mengalir di pipinya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya. "Di mana dia, Dion? Kenapa dia melakukan ini? Kenapa?"
Dion menghela napas panjang, tampak kebingungan bagaimana harus menjelaskan. "Aku... aku tidak tahu secara pasti. Dia hanya mengirim pesan singkat pagi ini, bilang dia tidak bisa melakukannya. Dia bilang dia punya alasan, tapi belum bisa mengatakannya padaku."
"Alasan apa?!" teriak Keisha, emosinya meledak. "Setelah lima tahun?! Setelah semua ini?! Dia menghancurkan hidupku, Dion! Dia menghancurkan hari ini!"
"Aku tahu, Keisha. Aku tahu ini tidak adil," Dion berjalan mendekat, tatapan matanya memohon. "Tapi ada ratusan tamu di bawah. Semua media juga sudah menunggu. Nama baik keluargamu, nama baik keluargaku... ini akan menjadi bencana besar."
"Lalu aku harus apa?" Keisha balas berteriak, suaranya serak. "Pura-pura tidak terjadi apa-apa? Menikahi hantu?"
Dion terdiam sejenak, menatap Keisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada keraguan, namun juga tekad yang kuat di sana. "Aku... aku punya ide."
Keisha menatapnya bingung. Ibu Keisha juga ikut menatap Dion dengan tatapan penasaran.
"Aku akan menggantikannya," kata Dion, suaranya tegas namun sedikit gemetar. "Aku akan menikahimu."
Keisha mematung. Kata-kata itu menggema di telinganya. Dion? Menikahiku? Ini gila! Ini benar-benar gila!
"Apa?!" Ibu Keisha berseru kaget. "Dion, apa yang kau katakan?!"
"Aku serius, Tante," Dion menatap ibu Keisha dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak ingin nama baik Tante dan Om tercoreng. Aku tidak ingin Keisha menanggung malu sendirian. Rafael sudah berbuat kesalahan fatal, dan sebagai kakaknya, aku merasa bertanggung jawab."
Keisha tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Dion, mencoba mencari celah kebohongan di matanya, namun yang ia temukan hanyalah ketulusan yang mendalam. Dion, yang selalu dikenalnya sebagai sosok yang tenang dan rasional, kini menawarkan diri untuk menikahi calon adik iparnya sendiri, di hari pernikahan yang seharusnya menjadi milik adiknya.
"Tapi... tapi kau dan Keisha..." Ibu Keisha tergagap, tidak bisa membayangkan skenario aneh ini. "Kalian tidak saling... tidak ada perasaan..."
"Ini bukan tentang perasaan, Tante. Ini tentang tanggung jawab," potong Dion. "Kita bisa menjelaskannya nanti. Untuk sekarang, kita harus menyelamatkan situasi ini. Aku bersedia menikahi Keisha, apa pun risikonya."
Keisha merasakan sebuah dilema besar menghantamnya. Di satu sisi, ide ini terdengar absurd, seperti adegan dalam drama. Menikahi Dion? Pria yang adalah kakak dari Rafael, pria yang tidak pernah ia lihat lebih dari seorang kakak ipar potensial? Pria yang, sejujurnya, jarang sekali ia ajak bicara empat mata selain basa-basi.
/0/24914/coverorgin.jpg?v=d6ad7f73a65af1318f9044f14cb7a14c&imageMogr2/format/webp)
/0/16720/coverorgin.jpg?v=54be792147baf3f00831af802d59ae4c&imageMogr2/format/webp)
/0/2923/coverorgin.jpg?v=68d2838c3ce6df5b17da8ebe41d681e7&imageMogr2/format/webp)
/0/16637/coverorgin.jpg?v=c3d4169a78d92ec9a94f028d3a0c7015&imageMogr2/format/webp)
/0/4254/coverorgin.jpg?v=d84a0741127769f3d57e79c54cb9eefb&imageMogr2/format/webp)
/0/16751/coverorgin.jpg?v=f612d8dba1185a003f2be71447074c8c&imageMogr2/format/webp)
/0/6665/coverorgin.jpg?v=95620bb7883df9f2de35ae8ace74a672&imageMogr2/format/webp)
/0/23223/coverorgin.jpg?v=13fafc757166bcc33aaec03226211df6&imageMogr2/format/webp)
/0/17244/coverorgin.jpg?v=410d268298fe64fbe66826b65da25921&imageMogr2/format/webp)
/0/13947/coverorgin.jpg?v=f8b816da23fda6a8a32e06104ed4ce79&imageMogr2/format/webp)
/0/12530/coverorgin.jpg?v=be0f830b602d8f97ae5e967e9f4006f4&imageMogr2/format/webp)
/0/3729/coverorgin.jpg?v=bea84ce318fdd83ba0f93e1e04dff7f6&imageMogr2/format/webp)
/0/16096/coverorgin.jpg?v=15c0e24c8a7ad12a41541555859cb02b&imageMogr2/format/webp)
/0/17239/coverorgin.jpg?v=fb9051abfe928fe97b10451bd3259ec7&imageMogr2/format/webp)
/0/8979/coverorgin.jpg?v=3085bd68c195178d7936477ecca1a1a1&imageMogr2/format/webp)
/0/21120/coverorgin.jpg?v=fdd38c3480a108ed83ad83ab658c83c4&imageMogr2/format/webp)
/0/17261/coverorgin.jpg?v=211dec2471a438566a136d1b977f0108&imageMogr2/format/webp)
/0/22465/coverorgin.jpg?v=28fe4085e0960e9273335ed267288bc5&imageMogr2/format/webp)
/0/17105/coverorgin.jpg?v=40e37bfaac1da73a3d48e518acb5037d&imageMogr2/format/webp)