Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dinikahi Berondong Bucin

Dinikahi Berondong Bucin

Noorie

5.0
Komentar
2.5K
Penayangan
100
Bab

Menjadi janda yang memiliki paras cantik membuat Mentari Harsaya menjadi musuh bersama para wanita di lingkungannya. Di sisi lain, Ranggi, seorang berondong pemilik kafe, tidak mau menyerah mengejar cinta Mentari, meskipun sudah ditolak puluhan kali. Mentari yang muak dengan gunjingan dan 'teror' Ranggi akhirnya memutuskan menerima berondong itu. Mentari berpikir suatu hari nanti Ranggi akan bosan setelah mendapatkannya. Oleh karena itu, Mentari tidak pernah serius menanggapi cinta Ranggi. Namun, Ranggi ternyata budak cinta sejati. Lama kelamaan, Mentari terbawa perasaan. Hingga fakta masa lalu terungkap, menjelma badai yang siap menenggelamkan bahtera pernikahan mereka. Apa Ranggi dan Mentari mampu melewati badai itu?

Bab 1 Satu

"Saya harap Bu Mentari pergi dari lingkungan ini demi kenyamanan bersama," ucap Bu Wiwin, selaku Bu RT dan perwakilan dari perkumpulan para istri yang merasa terancam dengan keberadaan Mentari.

Mentari sontak menghela napas lelah. Dia sama sekali tidak terkejut dengan pengusiran halus yang baru saja dia dengar. Mentari sudah sering mengalaminya.

"Saya cantik dan awet muda sudah dari sananya. Jadi bukan salah saya jika suami-suami ibu sekalian menyukai saya. Memang suaminya saja yang genit dan suka jelalatan. Saya bahkan selama ini berpakaian sopan," ujar Mentari kesal.

Bu Yuni yang ikut mendampingi Bu Wiwin turut memberikan komentar. "Saya tahu Bu Mentari perempuan baik-baik. Tapi, tetap saja keberadaan Bu Mentari di sini meresahkan para istri."

"Mereka juga sudah membuat petisi, Bu," kata Bu Wiwin seraya menyerahkan selembar kertas yang berisi tanda tangan persetujuan.

Mentari langsung menerimanya. Ternyata memang banyak yang menginginkan Mentari pergi. Mentari sedikit terkejut karena salah satu tetangganya yang sesama janda juga menandatangani petisi itu. Gadis juga ada.

"Sebanyak 85% para istri itu ingin Bu Mentari pergi dari sini. Jadi, saran saya, Bu Mentari lebih baik meninggalkan tempat ini sebelum mereka nekat mengusir Ibu," tutur Bu Yuni.

"Yang benar saja!" Mentari berdecak sebal.

Dia yang tidak meladeni rayuan para lelaki hidung belang itu bisa mendapat kecaman seperti ini. Bagaimana jika Mentari iseng membalas kegenitan mereka? Bukan tidak mungkin akan ada yang mengirim santet kepadanya.

"Kami mohon kerja sama dari Ibu," ucap Bu Wiwin.

Mentari mengepalkan tangannya. Lagi-lagi seperti ini. Selalu dia yang harus mengalah.

Perempuan itu lantas bangkit. "Baiklah. Beri saya waktu untuk berkemas. Bu Wiwin dan Bu Yuni bisa pergi," ucapnya dingin seraya mengulurkan tangan ke arah pintu keluar agar tamunya segera pergi.

Setelah mereka menghilang dari pandangan, Mentari meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.

"Kita pindah lagi, Bun?" tanya Sasi, putri semata wayang Mentari. Dia pasti mendengar semuanya dari kamar.

Mentari menoleh dan menatap prihatin gadis itu. Sasi juga sudah bosan pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat baru menempati rumah ini, Sasi meminta kepada Mentari jika hari itu adalah kepindahan mereka yang terakhir.

"Mau bagaimana lagi, Bulanku? Kamu juga ikut terseret masalah ini," ucap Mentari merasa bersalah.

Kemarin Sasi mengadu jika dia dilabrak seorang emak saat pulang sekolah. Emak itu justru melampiaskan amarahnya kepada Sasi dengan melontarkan kata-kata buruk.

Mentari masih bisa bertahan jika hanya dirinya yang dipermasalahkan. Namun, Mentari tidak bisa tinggal diam jika putrinya ikut diganggu.

"Bunda minta maaf karena tidak bisa memberi kehidupan yang nyaman untuk kamu," sambung Mentari.

Sasi menggeleng. Gadis itu lantas berjalan menghampiri Mentari, kemudian memeluknya. "Bukannya Bunda tadi bilang kalau Bunda tidak salah?"

"Bunda takut kamu menyesal jadi anak Bunda."

"Tidak mungkinlah, Bunda. Aku justru bangga lahir dari sosok ibu yang hebat seperti Bunda," ucap Sasi yang menghangatkan perasaan Mentari.

Mentari tersenyum. Sasi adalah alasan Mentari bertahan mengahadapi segala badai ujian. Satu-satunya keinginan Mentari hanyalah membahagiakan Sasi. Sebelum mengurai pelukan mereka, dia mengusap pelan punggung putrinya.

Mentari lalu meminta Sasi mulai mengemasi barang. Sedangkan dia harus mengurus ini dan itu, termasuk mencari kontrakan baru. Tentu bukan hal yang mudah karena tidak boleh jauh dari sekolah Sasi. Anak itu satu minggu lagi akan menghadapi ujian.

Besoknya, saat Mentari masih sibuk mencari info kontrakan di ponselnya, seseorang mengucap salam di depan. Perempuan berusia 34 tahun itu seketika memutar bola mata. Dia langsung tahu siapa yang datang.

"Masalah satu belum hilang, muncul yang lainnya." Mentari menggerutu seraya membuka pintu.

Berbanding terbalik dengan ekspresi Mentari yang menahan kesal, raut wajah tamunya justru berseri-seri. "Selamat pagi menjelang siang, Mbak Tari," ucap pria itu ramah.

Dia adalah Ranggi. Mentari menjadi supplier dessert di kafe miliknya.

"Ada perlu apa, Ranggi?" tanya Mentari tidak ingin berbasa-basi.

"Stok avocado chocolate mousse dan avocado cheesecake sudah kosong, Mbak," jawabnya.

"Kamu bisa menelepon, tidak perlu repot datang ke sini. Lagian, sekarang saya tidak bisa membuat pesanan. Saya sedang sibuk."

"Sibuk apa, Mbak Tari? Apa ada yang bisa kubantu?" Pria itu tetap menunjukkan keramahan meskipun Mentari sudah berusaha jutek kepadanya.

Mentari akan menjawab tidak. Namun, Sasi di dalam justru berseru meminta pertolongan Ranggi untuk membantunya mengangkat dus berisi barang-barang.

"Kenapa dikemas seperti ini, Calon Anak?" tanya Ranggi sambil mengeluarkan dus itu dari kamar Sasi.

Mentari hendak melarang Sasi memberi tahu Ranggi. Sayangnya, Sasi lebih dulu menjawab, "Kita mau pindah."

"Pindah?" Pria itu seketika menoleh Mentari. "Pindah ke mana, Mbak?"

"Bukan urusan kamu."

"Menjadi urusan aku, dong, Mbak. Mbak Tari, kan, supplier utama dessert di Ravocado," ucap Ranggi.

"Tenang saja. Saya tidak akan pindah ke luar kota," kata Mentari.

"Kalau tidak diusir Paguyuban Istri Takut Ditinggal Suami, kita juga tidak akan pindah, Om."

"Sasi!" Mentari memberi tatapan peringatan kepada putrinya itu.

"Kenapa, sih, Bunda? Siapa tahu Om Ranggi bisa membantu kita mencarikan tempat tinggal yang baru. Di kompleksnya, mungkin."

"Ngaco di kompleks!" Mentari menolak mentah-mentah ide itu.

"Tapi, Bun. Kalau kita tinggal di tempat yang orang-orangnya individual, telinga kita dingin dari nyinyiran tetangga."

"Sasi benar, Mbak Tari," ucap Ranggi.

"Uangnya mana tinggal di kompleks?"

"Mbak tidak usah khawatir. Aku siap membantu."

Mentari langsung mengibaskan tangan tanda tidak setuju. "Lebih baik kamu pulang, Ranggi. Nanti malah mengundang fitnah. Hidup saya sudah terlalu banyak masalah."

"Bagus, dong, kalau kita digerebek warga terus disuruh nikah." Ranggi justru tersenyum menyebalkan.

Mentari mendengkus. Apa tidak ada pria waras di sekelilingnya? Kata siapa disukai banyak orang itu menyenangkan? Mentari justru merana karena hal itu membuatnya selalu berurusan dengan Paguyuban Istri Takut Ditinggal Suami. Garang-garang, pula!

"Aku setuju," seru Sasi yang membuat Mentari langsung memelototinya.

Anak itu kembali berujar, "Kalau Bunda punya suami, Bunda akan terbebas dari julukan janda gatal, janda penggoda, janda ini-itu. Lelaki hidung belang di luar sana juga pasti berpikir dua kali sebelum mengganggu Bunda."

Ranggi manggut-manggut. "Nikah saja denganku, Mbak. Sudah dapat lampu hijau dari Sasi."

Mentari tidak menjawab. Menikah? Mentari sudah memutuskan tidak akan menjalin hubungan lagi dengan pria mana pun. Mentari tidak percaya ungkapan cinta yang pernah dia terima, apalagi dari Ranggi yang lebih muda darinya.

"Hei, pelakor! Sundal! Keluar kamu!"

Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat ketiganya menoleh ke arah jendela.

"Bunda, ada apa lagi, sih, ini?" tanya gadis itu. Keterkejutan sekaligus cemas tergambar jelas di wajahnya.

"Tidak ada habisnya, ya, mereka itu!" Mentari bergumam geram. "Sasi, kamu tunggu di dalam. Tolong jaga dia, Ranggi." Mentari melepaskan pelan pegangan Sasi di lengannya.

Setelah mengembuskan napas kasar, Mentari melangkah membuka pintu. Dia belum melihat dengan jelas siapa yang sudah membuat keributan saat sesuatu melayang ke arahnya.

Mentari tidak sempat menghindar. Dia harus merelakan kepala, wajah, dan dadanya dilempari telur berbau busuk.

"Kamu pantas mendapatkannya, wanita jalang!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku