Dalam satu hari Rihana kehilangan calon suami dan juga pekerjaannya. Padahal ia dituntut untuk menghasilkan uang banyak, karena harus menjadi tulang punggung keluarga. Gadis itu kemudian mendapatkan tawaran nikah kontrak dengan laki-laki yang baru dikenalnya. Seorang Presiden Direktur yang memberinya jaminan ekonomi stabil dan cenderung melimpah, tetapi berbeda keyakinan. Haruskah ia menerimanya?
"Jadi, calon suami yang selama ini kamu sembunyikan adalah tunanganku, Nay?"
Perempuan dengan make up tebal itu hanya menunduk. Laki-laki di sampingnya menggerakkan tangan dengan kikuk. Ia seolah ingin meminta maaf padaku, tetapi tidak satu kata pun terucap. Aku mengarahkan jari telunjuk sangat dekat ke wajahnya.
"Nggak kusangka kamu akan setega ini, Al. Bukankah sejak awal kita bertunangan, aku menyampaikan harapan untuk bisa tinggal di rumah ini? Kenapa justru kamu beli buat dia, hah?"
Ruang tamu yang disulap menjadi tempat resepsi itu seketika hening. Semua undangan yang semula sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, kini menatap ke arah kami bertiga.
Kulayangkan tamparan ke wajah lelaki yang berdiri di samping mempelai wanita itu. "Ini untuk pengkhianatanmu, Al!"
Pipi kanan Alden yang putih langsung berwarna kemerahan. Ia hendak mengusapnya, tetapi aku telah lebih dulu menampar sekali lagi. "Ini karena kau membuat sahabatku juga berkhianat."
Aku beralih pada Naya. Wanita dengan gaun pengantin yang bagian belakangnya menjuntai hampir empat meter itu kini terlihat gemetar.
"Tenang, Nay. Aku tidak akan menamparmu. Seorang Elisha Rihana masih punya hati, untuk tidak menyerang pengantin yang sedang hamil."
Suara berdengung seketika muncul dari arah para tamu undangan. Mereka yang sejak tadi menyaksikan keributan ini tanpa suara karena tegang, sekarang saling menyampaikan keheranannya dengan berbagai ekspresi. Ya, semua pasti tidak menyangka jika mempelai wanita di hadapan mereka telah berbadan dua.
"El! Apa yang kamu lakukan? Jangan bikin malu di sini!"
Suara Alden justru membuat gelak yang hebat keluar dari mulutku. "Apa kamu bilang?" tanyaku setelah puas tertawa. "Siapa yang sebenarnya bikin malu? Apakah kalian berdua masih punya malu setelah menusuk aku dari belakang?"
Naya yang masih menunduk kini mengepalkan kedua tangan. Aku tahu ia geram karena dipermalukan di pesta pernikahannya sendiri. Namun, itu semua tidak sebanding dengan luka yang ia goreskan padaku.
"Sekarang kamu, Nay. Apakah dirimu masih punya malu?" Kali ini aku menurunkan volume suara. "Berapa lama persahabatan kita? Kebersamaan selama belasan tahun itu kamu anggap apa, hah?"
Suaraku meninggi lagi. Ruangan pun kembali hening. Sepertinya semua orang ingin tahu bagaimana drama satu babak ini akan berakhir.
"Aku tahu kamu sangat ingin menikah, tapi kenapa harus diam-diam merebut dia dariku? Kalau memang jatuh cinta sama Alden, bilang, Nay! Aku mungkin akan mengikhlaskan lelaki sampah ini untuk kamu."
Alden tiba-tiba menarik tanganku. Dari raut wajahnya aku bisa melihat kemarahan semakin menggulung di dada lelaki itu.
"Hentikan, El!"
Kembali aku tertawa. "Aku memang akan berhenti, Al. Berhenti mencintaimu jelas keputusan yang sudah kuambil sejak undangan ini kuterima pagi tadi," jawabku sambil memperlihatkan layar ponsel. Di sana terpampang undangan pernikahan yang pernah kubayangkan akan bertulis nama Al dan El. Ternyata justru Naya dan Alden yang tertera.
Pantas saja sejak awal mengatakan dirinya telah dilamar dan akan menikah, Naya tidak pernah mau mengungkap identitas sang kekasih. Ia selalu mengelak dan beralasan akan memberi tahu di saat yang tepat.
"Ini udah H-1, Nay. Kenapa aku belum juga dikasih undangan?" Akhirnya aku bertanya melalui WhatsApp kemarin.
Cukup lama pesan itu tidak kunjung ia jawab setelah dibaca. Jelang hampir lima belas menit, akhirnya Naya terlihat mengetik.
"Kamu doain aku aja ya, El. Aku nggak bikin pesta, kok. Hanya akad di KUA aja," jawab Naya.
"Kenapa? Bukannya kamu anak perempuan pertama di keluarga? Masa iya, nggak ada pesta?"
Lagi-lagi pesan itu tidak segera dijawab. Rasa heran semakin bertumpuk di dadaku.
"Aku bisa bantu apa, Nay? Aku ke rumahmu, ya?"
Kali ini dengan cepat Naya membalasnya. "No. Nggak usah, El. Semua udah beres. Minta doanya aja."
Setelah itu Naya offline. Pesanku berikutnya hanya bertanda centang satu. Apakah ia memblokir nomorku? Tidak. Foto profilnya masih terlihat.
Buku lain oleh NH Soetardjo
Selebihnya