"Pak, bagaimana ini? Mengapa Bapak mengatakan kalau kita suami istri?" Adinda mulai berani menyuarakan isi hatinya. "Apa kamu tega melihat Nenek Laila yang sudah menaruh harapan kepada kita? Nenek Laila sangat baik," jawab Alan, kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. "Tapi, Pak. Bagaimana jika Nenek tahu yang sebenarnya?" "Tidak akan." "Saya tidak ingin menjadi istri pura-pura, dan begitupun Bapak menjadi suami pura-pura saya." "Jadi, kamu ingin menjadi istri saya sesungguhnya?" Deg! Adinda terdiam, ia tidak mampu menjawab pertanyaan Alan. Ia terjebak dengan perkataannya sendiri. Tetapi, Adinda tidak tinggal diam. Ia terus berdebat dengan Alan. Hingga akhirnya, Adinda kesal dan membelakangi Alan. "Saya tidak ingin berpura-pura seperti ini, Pak!" tegasnya.
Suasana tegang menghiasi ruangan itu. Seorang anak sedang berseteru dengan kedua orang tuanya. Mereka saling beradu pendapat, dan tidak ada mengalah di antara ketiganya. Wajahnya pun tampak memerah karena menahan amarah.
Adinda Salsha, seorang gadis yang baru saja menggapai gelar sarjana, dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya. Ia menentang, karena menurutnya perjalanan hidup masih panjang, dan Adinda belum puas untuk menikmati masa muda. Sementara Lukman – ayah Adinda, terus bersikeras agar anaknya segera menikah. Dengan alasan umurnya yang tidak akan lama lagi, mengingat dirinya sudah paruh baya dan ingin melihat puterinya ada yang membimbing.
"Ayah, Adinda tidak mau jika harus menikah sekarang," ujar Adinda dengan penuh penekanan.
"Sampai kapan kamu akan sendiri seperti ini? Ayah sudah tua, dan tidak mungkin bisa mendampingimu lebih lama."
"Ayah jangan berkata seperti itu. Adinda masih bisa jaga Ayah, tidak harus dengan menikah secepat ini."
Lukman mendengus kesal, "Kalau kamu tidak mau menikah, maka tidak akan ada harta warisan untukmu."
Lukman kemudian pergi meninggalkan mereka. Sementara Hana – Ibu Adinda, mengusap pundaknya agar anaknya sedikit lebih tenang. Adinda merasa kalau dirinya telah melakukan kesalahan. Sebab, telah membuat sang ayah terluka karena perkataannya.
"Sudah, biar nanti Bunda bicarakan hal ini kepada ayahmu."
"Tapi, Bunda. Kenapa Ayah tega sekali dengan Adinda? Padahal Adinda ingin menikmati masa muda."
Hana mengusap pundak anaknya itu, "Kamu tidak usah khawatir, mungkin Ayah itu sedang banyak pikiran. Yang membuat Ayah seperti itu."
Adinda menghela nafas, karena tidak mau bertengkar lagi dengan ayahnya. Adinda memutuskan untuk pergi ke luar rumah, dan mencari udara segar yang mampu pikirannya kembali tenang. Adinda pergi mengendarai mobilnya, sepanjang perjalanan ia terus memikirkan permintaan ayahnya tersebut. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Adinda tidak ingin mengecewakan ayahnya. Tetapi ia juga tidak mungkin menikah muda. Kepala Adinda terasa pusing dan berdenyut. Hal itu membuat ia tidak focus mengendarai mobil. Dan secara tiba-tiba, ada seorang pria yang melintas begitu saja. Membuat Adinda menghentikan laju mobilnya secara mendadak.
"Astaga! Siapa itu?" Kejadian itu membuat tubuhnya condong ke arah depan.
Ia melihat seorang pria tengah berdiri kaku tepat berada di depan mobilnya. Ia tidak kalah terkejut, bahkan sampai berteriak sambil menutupi wajahnya menggunakan kedua lengannya. Adinda kemudian turun untuk menghampiri pria tersebut. Terlihat seorang pria yang berpenampilan biasa saja. Mengenakan kaos polos berwarna hitam, dan sandal jepit yang melindungi kakinya.
"Kalau jalan lihat-lihat, jangan asal menyebrang begitu saja," oceh Adinda.
"Harusnya anda yang hati-hati. Kalau mengendarai mobil itu pelan saja."
Adinda berdecak kesal, bukannya meminta maaf, pria itu malah memarahinya.
"Anda tidak sopan sekali. Sudah tahu anda yang salah, kenapa malah menyalahkan saya?" Nada bicara Adinda meninggi.
Pria itu menatap Adinda dengan intens, ia tidak mau mempermasalahkan lebih jauh. Dan memutuskan pergi begitu saja, meninggalkan Adinda yang masih dikuasai oleh rasa kesalnya.
"Awas saja kalau bertemu, aku tidak akan pernah mengampuni pria seperti itu."
Adinda kembali berjalan masuk ke dalam mobil. Ia mengarahkan laju mobil pada sebuah café yang terletak di kota tersebut. Tetapi sebelum ke sana, Adinda lebih dulu menghubungi Chika – sahabatnya untuk menemani dirinya.
Sampainya di cafe, Chika sudah lebih dulu sampai ke sana. Bahkan ia sudah memesankan minuman untuk dirinya dan juga Adinda. Chika melihat kedatangan Adinda dan langsung menghempaskan tasnya ke atas meja. Menyebabkan suara bising.
"Kamu kenapa? Wajah ditekuk seperti itu," oceh Chika.
"Hari ini membuat suasana hatiku hancur. Sudah Ayah yang terus memaksa untuk menikah. Dan tadi ada pria yang tidak sopan, sudah dia yang salah dan dia juga tidak mau meminta maaf." Adinda menceritakan semua kejadian sialnya hari ini.
Chika yang mendengar cerita itu terkekeh geli, "Hahaha. Makanya patuh dengan nasihat orang tua. Jangan melawan."
"Tapi aku masih mau menikmati masa muda. Masa mau nikah sekarang?"
Chika menaikkan bahunya tanda tidak tahu.
Adinda mengaduk minuman itu dan sesekali menyeruputnya. Hatinya benar-benar hancur, dan tidak tahu harus berbuat apa. Tak berapa lama, datang makanan yang sudah dipesankan oleh Chika. Tanpa aba-aba, Adinda langsung saja melahap semua makanan itu. Chika menelan ludahnya, memang sudah biasa melihat Adinda yang rakus dengan makanan. Tetapi Adinda tetap menjaga tubuhnya agar terlihat ramping dan menarik.
"Oiya, bagaimana jika kamu tinggal di rumahku saja?" Tawar Chika.
"Boleh juga, telingaku rasanya panas kalau harus terus menerus mendengarkan Ayah yang mendesak untuk menikah."
"Oke, baiklah kalau begitu. Nanti kita langsung saja ke rumahku."
Adinda setuju dengan itu semua. Chika memang sudah memiliki rumah sendiri, itu ia lakukan karena kampung halamannya yang jauh. Mengharuskan Chika membeli rumah agar tidak harus pulang pergi ke rumah kedua orang tuanya. Setelah makan selesai, Chika langsung mengajak Adinda untuk segera pulang. Kebetulan Chika datang ke café dengan menaiki taksi.
Sampainya di rumah Chika. Adinda langsung turun bersama dengan sahabatnya itu. Tampak sebuah rumah, yang bisa dibilang tidak terlalu mewah. Tetapi terkesan sederhana, dan cukup nyaman dengan taman kecil di samping rumah itu. Ini bukan kali pertama Adinda berkunjung ke rumah Chika. Ia sudah sering sekali mampir atau menginap sekalipun di rumah itu. Mereka memang bersahabat sejak pertama kali menjejakkan kaki di bangku perkuliahan.
Suasana rumah yang rapi, Chika itu tidak akan tinggal diam jika melihat rumahnya berantakan. Maka ia sering dijuluki gadis rajin oleh teman-temannya yang lain. Berbeda sekali dengan Adinda yang tidak terlalu perduli dengan sekitar. Bahkan barangnya saja Adinda jarang merapikan. Selalu saja Hana yang merapikan itu.
"Oiya, aku 'kan tidak membawa pakaian? bagaimana?" Adinda baru ingat kalau ia tidak membawa apa-apa.
"Pakai saja ini. Bukannya pakaianku juga bisa dipakai sama kamu?" ujar Chika sambil melempar satu pakaian ke tangannya.
"Oiya aku lupa," jawab Adinda singkat.
**
Malam tiba.
Adinda sudah disibukkan oleh pekerjaan kantor. Sejak lulus, ia langsung melamar pekerjaan. Dan langsung diterima sebagai staff marketing. Memang tidak tinggi, tetapi Adinda selalu mensyukuri apa yang sudah ia dapat dengan jerih payahnya sendiri. Bahkan Adinda sama sekali tidak mengemis pekerjaan kepada orang tuanya, padahal Ayahnya adalah direktur utama di PT. Abadi Jaya. Sedari tadi Adinda terus sibuk dengan layar laptopnya, sampai tidak memberi jeda kepada tubuhnya untuk beristirahat.
"Ini minum." Chika meletakkan minuman di atas meja.
Adinda menoleh kemudian tersenyum, "Terima kasih, sahabat aku memang baik sekali."
"Kamu ini kalau sudah kerja suka tidak ingat waktu. Jaga kesehatan, Din, kamu juga perlu istirahat."
Adinda mengangguk faham, "Aku tahu. Tapi pekerjaan di kantor lagi banyak sekali, dan aku harus mengerjakan malam ini juga."
Chika tidak menanyakan lebih, karena ia tahu kalau sahabatnya akan melakukan yang terbaik untuk membuat pekerjaannya menjadi sempurna. Chika dan Adinda tidak bekerja pada perusahaan yang sama. Walau begitu, mereka sering sekali menghabiskan waktu berdua.
Tidak terasa malam semakin larut, Adinda memutuskan untuk menyudahi semuanya. Rasa kantuk mulai menyerang, dan ingin rasanya Adinda meregangkan otot-otot yang tegang. Sementara Chika sudah lebih dulu tertidur di kamar. Sebelum pergi ke kamar, Adinda terlebih dulu memberikan pesan kepada sang bunda. Agar Hana tidak mencemaskan dirinya. Ia mengatakan kalau akan tinggal di rumah Chika untuk beberapa hari, sampai Lukman menghentikan permintaannya untuk Adinda segera menikah.
**
Bersambung.
Bab 1 Pertemuan
09/12/2021
Bab 2 Bos kejam
09/12/2021
Bab 3 Perdebatan di Rumah Makan
09/12/2021
Bab 4 Pulang Bersama
09/12/2021
Bab 5 Kekasih baru
09/12/2021
Bab 6 Pergi dari Rumah
13/12/2021
Bab 7 Kejadian Tidak Terduga
14/12/2021
Bab 8 Satu Kamar
18/12/2021
Bab 9 Pasangan Suami Istri
19/12/2021
Bab 10 Jantung Berdebar
20/12/2021
Bab 11 Pria Menyebalkan
23/12/2021
Bab 12 Suami Sempurna
01/01/2022
Bab 13 Pipi yang Merona
03/01/2022
Bab 14 Menikmati Waktu Berdua
05/01/2022
Bab 15 Jatuh Hati
06/01/2022
Bab 16 Kedekatan Alan dan Salma
07/01/2022
Bab 17 Cemburu
08/01/2022
Bab 18 Perjodohan
25/06/2022
Bab 19 Pasangan Sungguhan
26/06/2022
Bab 20 Pijatan Di Malam Hari
26/06/2022
Bab 21 Percaya Diri Yang Tinggi
27/06/2022
Bab 22 Kekompakan
27/06/2022
Bab 23 Menikmati Senja
28/06/2022
Bab 24 Genting
01/07/2022
Bab 25 Ancaman
01/07/2022
Bab 26 Hubungan Tanpa Status
02/07/2022
Bab 27 Kecemasan Adinda
03/07/2022
Bab 28 Malang Nasib Alan dan Adinda!
04/07/2022
Bab 29 Kerinduan
05/07/2022
Bab 30 Rencana Pertemuan Dua Keluarga
06/07/2022
Bab 31 Jodohku, Suami pura-pura
08/07/2022
Bab 32 Mantan Kekasih
10/07/2022
Bab 33 Surat Wasiat
11/07/2022