Aku menyebut namamu disetiap doaku, berharap kaulah jodohku. Namun, aku sadar. Cinta tanpa usaha bukanlah apa-apa. Aku ingin berusaha, namun dirimu kian menjauhiku. Apa salahku? Sepertinya takdir tak mempersatukan kita. Namun aku berharap, suatu saat nanti ada seseorang yang mengantikan dirimu dan akan lebih baik darimu. Bahagia lah dengan wanita pilihanmu, jangan pernah kau buat dirinya menangis. sebagaimana kau meninggalkanku dulu.
Kamu tahu luka yang paling dalam apa? Iya, saat aku melihatmu dengan orang lain di pelaminan. Sedangkan aku sudah lama berjuang denganmu. Tapi aku ikhlas. Karena aku tahu, kamu bukanlah takdirku.
Aku tersenyum melihatnya, yang tengah bersanding didepan sana. Ada rasa perih, namun aku tepas. Karena aku tahu, dia bukan lagi miliku. Dia hanya singgah tidak menetap. Seharusnya aku tidak usah berharap lebih padanya, karena aku tahu akan ada rasa kecewa yang akan melukai hati ini.
"Semoga bahagia ya, aku yakin kamu pasti bisa lebih baik lagi. Jaga dia, jangan pernah kamu lukai hatinya." Aku menyalimi kedua pengantin itu, berusaha untuk tersenyum. Aku ingin menangis, tapi air mata itu tak bisa turun seperti biasanya, ia seakan tahu. Bahwa aku harus kuat dalam situasi seperti ini.
Sang pemelai wanita hanya tersenyum, dan memelukku. Seakan-akan ia ingin memberikan kekuatannya padaku, aku tahu wanita itu sangat baik. Buktinya dia lebih memilih wanita itu ketimbang diriku.
Aku tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Aku yakin, jodoh tak akan kemana. Sejauh apa pun kita melangkah jika dia jodohmu maka akan bertemu.
Aku kembali seperti biasanya. Melupakan kejadian kemarin yang membuat goresan baru dihatiku.
Fokus ku tertuju pada Kakek tua yang berada disebrang sana. Sepertinya dia ingin menyebrang namun, kesulitan. Aku segera berlari ke arahnya. Ingin membantunya.
"Kek, aku bantu ya," tawar ku. Kakek itu hanya menganggukan kepalanya. Aku mengengam tangannya, menuntunnya ke sebrang.
"Terima kasih ya ndok," balas Kakek itu. Aku tersenyum, sebagai jawaban. Saat aku hendak melangkah, suaranya menghentikan langkahku. "Jodohmu kelak akan menuntunmu kejalan yang benar, bersabarlah. Jika kamu bersabar Allah akan memberikan permata yang begitu berharga padamu."
Aku melongo, tak percaya dengan ucapan Kakek itu. Tapi aku membenarkannya, karena aku tahu akan ada pelangi setelah hujan. Dan akan ada yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Aku kembali menghampiri Kakek yang sedang terduduk dikursi halte. "Terima kasih Kek, bagaimana Kakek bisa tau kalau aku sedang patah hati?" aku sedikit tertawa saat mengatakan kata 'patah hati' seharusnya aku tidak membicarakan hal ini lagi.
"Wajahmu sangat mudah untuk ditebak ndok," balas Kakek itu. Aku yakin Kakek ini sangat pintar menebak karakter mimik wajah seseorang. Contohnya seperti aku, padahal baru saja bertemu dengannya. Tapi Kakek ini sudah menebak mimik wajah sendu ku.
"Benarkah? Padahal wajahku terlihat biasa saja," aku tersenyum. Wajahku memang terlihat biasa, tapi hatiku sudah menjerit luar biasa. Dua tahun setengah yang ku lewati dengannya, tapi berakhir dengan sia-sia. Aku pikir dia jodohku,ternyata aku keliru. Ternyata hadirnya adalah luka yang dibekukan oleh waktu.
"Wajahmu seakan berbohong. Apakah dengan cara ini kamu menutupi segala perihmu?" Aku kembali dibuat binggung, ternyata Kakek ini sangat tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Aku mengelengkan kepalaku. Mencoba mencari obrolan baru, agar Kakek ini tidak membahas masa laluku lagi. "Kek, apa Kakek mau pulang?" Aku bertanya, sekaligus menandaskan obrolan tentang mantanku.
"Kakek sedang menunggu bus," balasnya. Aku berinisiatif ingin menawarkannya untuk pulang bersamaku, "Memang Kakek mau kemana?"
Kakek itu mengeluarkan selembar kertas, yang aku yakini itu pasti sebuah alamat. Aku kaget dengan alamat yang tertara dikertas itu.
"Kakek yakin ini alamatnya?" Tanyaku, siapa tahu alamat itu salah.
"Benar, apakah kamu tahu?"
"Itu alamat rumahku Kek," balasku tersenyum. Ada hubungan apa keluargaku dengan Kakek yang kutemui ini?
"Sungguh?" Tanya Kakek itu tak percaya. Aku menganggukkan kepalaku, sebagai jawabannya.
"Ayo antarkan Kakek ke sana! Kakek jadi tidak sabar." Seulas senyuman terpapar jelas disudut bibirnya. Aku hanya menuruti apa katanya dan membukakan pintu untuk Kakek itu.