Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Langit Jam 4 Sore

Langit Jam 4 Sore

NOVIA RESPATI

5.0
Komentar
878
Penayangan
47
Bab

Ada seorang gadis yang begitu menyukai teduhnya langit jam empat sore. Dirinya selalu berkhayal kelak jalan hidupnya akan seindah langit sore itu. Divia Putri Gayatri, justru menemukan cintanya di saat dirinya tak pernah mencari cinta. Pertemuannya dengan Arman yang terjadi seperti di film-film drama, akhirnya menjadi kenangan yang tak terlupakan seumur hidupnya. Namun di saat cerita masa lalu mengusik kebahagiaan mereka, masih mungkinkah mereka bersatu di kemudian hari? Mungkinkah takdir indah berpihak kepada mereka?

Bab 1 Kali Pertama

Divia sedang menunduk, menatap layar ponselnya dengan geram ketika lelaki yang berada di seberang sana mengamati tingkahnya sedari tadi dari balik setirnya. Sudah cukup lama lelaki itu tidak keluar dari dalam mobilnya. Dia hanya duduk seorang diri, kijang putihnya diparkirkan lurus menghadap ke jalan raya, sejajar dengan kendaraan lain yang sedang diparkir juga. Arman baru saja bertemu dengan seorang kenalannya di kedai kopi seberang sana, setelah dua jam membahas rencana proyek baru.

Dua hari yang lalu Arman harus merelakan kekasihnya yang menerima lamaran dari lelaki lain. Kini pikirannya masih kacau, masih terasa ngilu setiap kali teringat akan hal itu. Kekasih yang dimilikinya selama tujuh tahun akhirnya pergi begitu saja, dirampas oleh takdir.

Gadis manis yang belum juga mendapat taksi di seberang jalan sana, masih tetap berdiri di depan kedai kopi. Wajahnya tampak semakin masam, taksi yang disetopnya sekian kali ternyata membawa penumpang. Awan sudah mulai gelap, hujan pasti akan turun dalam hitungan menit. Sikap jengkelnya malah membuat Arman tertawa sendiri. Akhirnya dia putuskan untuk turun dari kijangnya. Bukan untuk menghampiri Divia, tapi dia ingin kembali masuk ke kedai kopi dan membeli segelas es kapucino untuk menemaninya dalam perjalanan pulang.

Arman menunduk saat dirinya melintas di hadapan gadis berambut bob itu. Seolah tak melihatnya sejak tadi, Arman tetap berjalan lurus menuju pintu masuk kedai. Gayanya cool dan terkadang dia merasa dirinya memang tampan. Sepuluh menit kemudian Arman kembali keluar dari kedai sambil menyedot es kapucino di tangan kirinya, sedikit demi sedikit. Sedang di tangan kanannya dia memegang ponsel, matanya menunduk membaca notifikasi email yang baru saja masuk.

“Aduh..!!!”, spontan Divia mengaduh kesal.

“Aduh maaf.. Maaf ya Mba.”, kali ini Arman benar-benar tidak sengaja telah menabrak tubuh Divia akibat matanya yang terlalu fokus pada layar ponsel.

“Untung ngga tumpah tuh kopi. Kalau tumpah…. HUAH!!!”

“Iya maaf Mba. Saya beneran ngga sengaja.”

Divia hanya menunduk tanpa bicara lagi, tangannya menggoyangkan tali tas hitam yang sejak tadi dijinjingnya. Dia berharap lelaki itu segera enyah dari hadapannya. Namun Arman justru mematung, tak bicara tak bergerak hingga Divia akhirnya mendongak memandang wajahnya.

“Sudah sana!”

“Hehe. Judes banget Mba. Saya Arman.”, dengan penuh percaya diri Arman malah menyodorkan tangannya mengajak Divia berkenalan.

Dengan ekspresi kesal, Divia menyambut tangan Arman, “Divia.”, ucapnya singkat.

Divia kembali menunduk namun tetap menyadari sebuah taksi berwarna kuning akan melintas di hadapan mereka. Dia pun buru-buru menyetopnya dan akhirnya berhentilah taksi yang sudah ditunggunya sejak tadi.

“Saya duluan ya. Bye..!”, ucap Divia seraya tersenyum pada Arman sembari melangkah masuk ke dalam taksi.

Arman balas tersenyum dan melambaikan tangan tanpa sepatah kata membalas salam Divia. Dia terpana oleh senyuman gadis manis itu. Tak disangka di balik wajahnya yang penuh amarah tadi, gadis itu memiliki senyum yang sangat menawan. Sesaat Arman terdiam, dia terhipnotis. Dan baru tersadar ketika petir membelah awan hitam. Buru-buru Arman menyebrang jalan, kembali ke dalam kijang putihnya.

“Aduh. Ngga sempet tanya nomer HP.”, gerutu Arman menyesali dirinya yang belum sempat meminta nomor ponsel Divia. Perkenalan yang sangat singkat telah berlalu begitu saja. Seandainya taksi tadi tidak lewat, pasti dirinya masih punya waktu sebentar lagi untuk mengobrol dengan Divia.

Hujan turun dengan derasnya berbarengan dengan mesin mobil Arman yang baru dia hidupkan. Arman tertegun sejenak menatap hujan, tapi akhirnya dia bergerak di balik kemudinya menuju pulang ke rumah.

Sementara Divia, dalam perjalanannya dia menatapi jatuhnya air hujan yang menetesi kaca jendela taksi. Dia bertopang dagu, mengganjalkan sikunya pada pegangan pintu. Tiba-tiba saja dia teringat pada lelaki yang belum lama tadi berkenalan dengannya. Terbayang senyuman Arman ketika menyodorkan tangan untuk mengajaknya berkenalan. Divia pun menyayangkan perkenalan yang hanya sesingkat itu diantara mereka.

****

“Selamat ulang tahun Man..”, Mama dan Papa Arman kompak menyambut kedatangan Arman di balik pintu rumah sambil Mamanya membopong sebuah kue tart cokelat kesukaan Arman. Berhiaskan cahaya lilin merah angka tiga dan nol, Arman pun hati-hati meniup apinya.

“Selamat ya Man. Kamu sudah makin dewasa. Semoga sukses.”, dilanjutkan dengan kecupan manis yang mendarat di kening Arman.

“Aamiin.. Makasih ya Ma.”

“Selamat ya Man. Jadi orang yang lebih baik lagi.”, seraya memeluk Arman.

“Makasih Pa..”

Mereka hendak memotong kue cantik itu, lantas menghampiri meja tamu yang beberapa langkah terletak di dekat mereka. Arman dan kedua orang tuanya mengambil posisi duduk, hampir bersamaan pada sofa ungu di ruang tamu rumah mereka. Kedua orang tua yang usianya lebih dari setengah baya itu kini hanya memiliki seorang anak saja. Hanya Arman yang ada, anak kedua mereka yaitu Rafli adik laki-laki Arman telah berpulang saat usianya masih tujuh belas tahun. Rafli menderita leukimia sejak masih bersekolah di kelas satu SMP.

Potongan kue pertamanya, diberikan Arman kepada sang Mama. Lalu barulah kue berikutnya dia berikan kepada Papanya. Tangannya masih melanjutkan memotong kue itu, terlintas lagi dalam benaknya andaikan saja saat ini Maya masih berada di sisinya. Sekuat hati Arman kembali menepis pikiran itu. Dia coba tersenyum dan mulai pada suapan pertamanya, dia memakan sendiri sepotong kue tart cokelat yang barusan dipotongnya. Arman berlapang hati, dia nikmati sisa hari itu bersama kedua orang tuanya.

****

Divia sampai di rumah ketika Ibu dan kakak perempuannya sedang duduk di atas karpet, membuat beberapa macam kue kering sambil menonton tayangan televisi. Suara nyaring Divia memecah konsentrasi kedua orang itu yang sedang asyik mendengarkan dialog dalam drama sinetron sore yang mereka tonton.

“Ibu.. tolong bayarin taksi aku.”

“Astaga Ivi. Kebiasaan.”, seraya bangkit perlahan dari duduknya, beliau meletakkan dulu gumpalan adonan kue yang hendak dibentuknya.

“Ivi, kebiasaan banget.”, timpal Gema. Kakak Divia yang berusia empat tahun lebih tua darinya.

Sedang Divia hanya melengos saja, dia langsung menuju ke dalam kamarnya. Lagi-lagi Ibunya dikerjai untuk membayar taksi yang tadi mengantarnya pulang.

“Udah pergi taksinya Bu?”, tanya Gema.

“Udah. Adikmu tuh bener-bener. Kebiasaan ngga hilang-hilang. Coba saja, paling alasannya belum ambil duit ke atm.”

“Iya. Dia kenapa sih males banget mampir ke atm. Ambil duit sedikit-sedikit bukan sekalian. Habis jajan udah, habis duitnya.”

“Ya mungkin biar ngga jajan terus Gem. Kalau pegang duit di tangan kan jadi pingin jajan terus.”

“Iya juga sih Bu. Tapi jangan nyusahin orang dong kalau gitu. Harusnya kalau tau mau pergi ya lebihan ambil duitnya. Jadi ngga kayak tadi, main suruh Ibu yang bayar taksinya.”

“Udahlah Gem. Ngoceh saja. Ayo fokus lagi ke kue.”, ucap Ibu seraya tersenyum sembari kedua tangannya mulai membentuk lagi adonan kue kering tadi.

Kedua pasang mata Ibu dan Gema juga telah kembali tertuju pada layar televisi. Menonton drama sinetron adalah kesukaan mereka berdua, berbeda dengan Divia yang lebih suka menonton drama Korea. Tak terasa adonan kue kering di dalam baskom telah habis. Semua adonan telah selesai dibentuk oleh keterampilan dan kecekatan tangan Ibu serta Gema. Kini mereka sedang menyusun calon kue nastar itu pada loyang-loyang kaleng berbentuk persegi kemudian siap membakarnya di dalam oven tangkring.

“Kak Gema!”, seru Divia seraya menyergap tubuh kakaknya dari belakang.

“Apa? Ngagetin saja sih. Untung ngga jatuh nih kue.”, kedua tangan Gema sedang sibuk memasukkan loyang ke dalam oven.

“Tadi gue kenalan sama cowok ganteeng..”, Divia telah melepas pelukannya dari balik tubuh Gema, dia berdiri di samping kakaknya itu. Bertopang dagu pada meja yang sejajar dengan perutnya.

“Hahaha. Basi. Kenalan dimana?”, Gema telah siap mendengarkan celotehan adik tersayangnya itu.

“Di depan kedai kopi Bertha.”

“Hih, kok bisa?”

“Gue kan lagi nunggu taksi di depan situ. Tuh cowok lewat sambil main handphone, gue ditabrak.”

“Hahaha. Terus dia ngajak lo kenalan? Modus!”

“Hmm.. Bener Kak. Sumpah deh tadi di jalan gue juga ngga habis pikir kayak di film saja ketemunya. Hahaha. Tapi beneran Kak, dia minta maaf terus ngenalin dirinya gitu. Namanya Arman.”

“Hahaha. Arman Maulana? Vokalis Gigi.”

“Serius Kak.. Namanya Arman. Orangnya tinggi, putih, rambutnya rapi. Wah, pokoknya enak dilihat deh.”

“Terus tukeran nomer HP?”

“Ngga Kak. Ngga sempet, keburu taksi gue dateng.”

“Hahaha. Bagus! Awas lo ya macem-macem kenalan diluar sama cowok ngga jelas.”

“Ih Kak Gema.. Dia jelas kok. Jelas gantengnya. Hahaha..”

“Bandel lo, gue bilangin Ibu lho..”

Divia beranjak dari hadapan Gema sambil tertawa sendiri. Dalam hatinya, dia tahu akan kekhawatiran yang dirasakan sang kakak terhadapnya. Divia dapat merasakan Gema begitu menyayangi serta berusaha menjaga dirinya. Empat bulan lagi Gema akan menikah dan pastinya pindah dari rumah itu. Membayangkan hal itu, kerap kali membuat Divia menjadi sedih.

Jam delapan malam, Ayah tiba di rumah.

“Wih, Ayah pulang tuh.”, ucap Divia kepada Gema. Mereka sedang duduk berdua di teras lalu melihat Ayah yang membuka pagar dari luar.

“Ibu mana?”, tanya Ayah kepada mereka seraya kedua anak perempuannya itu bergiliran cium tangan menyambutnya.

“Di dalem lagi nyusun kue ke toples.”, jawab Divia.

“Kalian ngga bantu?”

“Udah tadi. Ivi tuh yang ngga mau bantu Ibu.”, tukas Gema yang sedikit menyudutkan adiknya.

“Ih, apaan sih..”, balas Divia mencoba membela diri. Sedangkan Ayah sudah melangkah masuk ke dalam rumah.

“Eh Ayah.”, Ibu langsung menghampiri Ayah saat melihat kedatangan suaminya.

“Ini setoran dari Mba Rum. Hari ini toko rame katanya.”, seraya merogoh ke bagian dalam tas kerjanya.

“Wah, syukurlah.”

Jika Ibu tidak sempat menengok toko, biasanya sepulang kerja Ayah lah yang menyempatkan diri untuk menengok kesana sekalian mengambil setoran hasil penjualan harian toko kue milik Ibu. Disana sudah ada Mba Rum yang dipercaya oleh Ibu untuk mengurus keuangan toko.

“Lo ngga jalan Kak? Malem mingguan.”

“Ngga. Mas Bimo masih di Surabaya.”

“Hmm.. Ngomong-ngomong cowok yang tadi sore itu....”

“Kenapa? Nyesel ngga tukeran nomer? Hahaha.”

“Hmm.. Udah ah gue mau tidur saja. Daripada galau.”, Divia beranjak meninggalkan Gema yang masih duduk di teras, sedang asyik dengan cemilan di pangkuannya.

Di dalam kamar pun, Divia masih gelisah memikirkan lelaki itu. Sosok Arman benar-benar telah menyita pikirannya hari ini. Hingga akhirnya Divia terlelap tidur dalam khayal dan senyum di bibirnya.

****

Dua hari berikutnya, Senin telah tiba. Divia berangkat lebih pagi ke kantor. Sedang Gema akan berangkat nanti bersama mobil Ayah. Keduanya akan berangkat sama-sama karena kantor Gema searah dengan kantor Ayah. Hari ini Ibu juga akan pergi ke toko kue. Membawa selusin toples kue kering yang sudah siap dipasarkan di toko mereka.

Sesuai agenda kerjanya, siang ini Divia harus bertemu diluar kantor dengan seseorang yang akan mengerjakan desain kemasan produk yang nantinya dipasarkan oleh perusahan tempat Divia bekerja. Divia pun telah berangkat menuju kedai kopi yang mereka sepakati untuk bertemu. Dia seorang gadis yang selalu on time dalam setiap temu janji yang akan dilakukannya. Dia tidak pernah mau membuat orang lain sampai bosan menunggu dirinya datang. Maka itu tak jarang dia datang lebih awal, tidak masalah baginya jika dia yang harus menunggu. Dalam perjalanannya diantar sopir kantor, kedua tangannya masih sibuk mengetik penawaran harga yang sore ini akan diajukannya kepada perusahan lain. Saking seriusnya menghitung, Divia tidak menyadari kalau dirinya telah sampai di kedai kopi tujuannya.

“Kok berhenti Pak?”, kedua matanya masih tertuju ke layar laptop dalam pangkuannya.

“Saya mau parkir Mba. Bonjour Cafe kan?”

Spontan Divia menoleh ke samping kirinya, dan baru menyadari dirinya telah sampai di tujuan. Buru-buru dia save dan close lembar kerjanya. Sambil mematikan laptop dan merapikannya ke dalam tas, mulutnya tetap bersuara.

“Sebentar Pak, Saya turun disini saja. Bapak cari parkir.”

“Saya ke depan sana ya Mba. Disini penuh.”

“Oke, kabarin saja ya!”, seraya membuka pintu mobil dan sigap turun dengan segala benda yang berada dalam pelukannya. Pak sopir pun kembali melaju perlahan mencari area parkir yang masih tersedia.

Dengan setengah menunduk, Divia berjalan lurus menuju pintu masuk kedai. Dia tidak tahu kalau kijang putih yang terparkir di sisi kanannya adalah mobil Arman.

Setelah memesan kopi dan rotinya, Divia mengambil posisi ke meja yang berada di salah satu sudut ruang kedai. Dia duduk menghadap ke arah meja pemesanan. Tak lama kemudian pesanannya pun telah mendarat di atas meja. Divia menyesap kopi latte hangat favoritnya itu.

Pak Yudis telah melangkah memasuki Bonjour Cafe, kedua matanya lihai menangkap keberadaan Divia di sudut sana. Segera dia memesan pula, kopi hitam untuknya kemudian menghampiri Divia yang sedang terfokus pada layar ponselnya.

“Siang Mba Div..”

“Eh siang Pak.. Saya kira Pak Yudis masih jauh.”

“Ah ngga Mba.”, seraya menjatuhkan diri di kursi yang berhadapan dengan Divia.

“Sudah pesan kopi?”

“Sudah Mba, sudah.. Jadi gimana nih ada berapa kemasan yang mesti Saya kerjain?”

Dan selanjutnya mereka pun larut dalam pembicaraan yang memerlukan konsentrasi penuh. Dengan lugasnya Divia menjelaskan setiap detil teori serta gambaran dari desain yang harus dikerjakan oleh Pak Yudis. Begitupun Pak Yudis yang tak kalah fokusnya mendengarkan penjelasan mendetil yang diutarakan Divia. Tentu mereka tidak ingin kalau nantinya sampai ada kesalahan dalam pengerjaan desain kemasan tersebut.

Setelah perbincangan kerja siang hari ini dirasa cukup, Divia dan Pak Yudis mengakhiri pertemuan mereka dengan menghabiskan kopi dan makanan ringan mereka masing-masing. Karena masih ada temu janji di tempat lain maka Pak Yudis harus pergi lebih dulu meninggalkan kedai.

“Mba, Saya duluan ya. Nanti secepatnya Saya kabari soal desainnya. Mana tahu ada yang kurang-kurang jadi bisa tanya dulu ke Mba.”

“Siap Pak, kontek Saya saja. Makasih banyak ya Pak..”, seraya keduanya berjabat tangan.

“Sama-sama Mba. Mari..”, Pak Yudis pun bangkit dari kursinya dan mulai melangkah menuju pintu depan kedai.

Perlahan Divia merapikan semua benda yang tadi dibawa olehnya. Dengan teliti dia mengecek kembali agar jangan sampai ada yang tertinggal di meja atau di kursi sebelahnya. Yakin sudah siap untuk beranjak, dia berdiri seraya merapikan blazer putih yang dikenakannya hari ini.

“Aduh..!!!”, seseorang telah menabrak tubuh langsing Divia dari arah belakang. Dengan jengkel dia membalikkan badannya lantas memandang wajah lelaki yang barusan menabraknya.

“Maaf Mba.. Maaf..”, dan keduanya sama-sama terkejut karena adegan dua hari yang lalu di depan kedai kopi Bertha kini terulang kembali.

“Hahaha, kamu tuh emang hobi banget ya nabrak orang?”, celoteh Divia dengan nada meledek kepada Arman. Dia sampai lupa kalau kemarin malam dirinya sempat teringat-ingat akan senyuman Arman.

“Aduh maaf ya Di.... Di..... ?”

“Divia!”, ucap gadis itu cemberut. Menunduk meraih tas laptopnya di atas meja. “Permisi.”, Divia meminta Arman untuk lekas bergeser karena dirinya mau lewat.

“Tunggu tunggu.. Kemarin aku lupa. Boleh aku minta nomor kamu?”

“Nomor? Nomor rumah? Atau nomor....?”

“Nomor HP.”, jawab Arman tegas.

Divia terdiam. Dia sedang berpura-pura sok jual mahal. Tingkahnya cukup menguji kesabaran. Dalam hitungan detik akhirnya dia mau bersuara dan menyebutkan nomor ponselnya. Arman sigap mencatat dalam ponselnya.

“Udah? Aku boleh pergi sekarang?”

“Udah. Makasih ya Divia.”, Arman pun bergeser ke samping memberi jalan untuk Divia. Sementara dirinya sendiri masih mematung memandangi punggung Divia yang perlahan menjauh.

Di ujung dekat pintu depan sana, sebelum mendorong pintunya keluar, sempat-sempatnya Divia menoleh kepada Arman seraya melempar senyum. Dia tahu bahwa sejak tadi Arman juga masih memandang kepadanya. Arman tak menyangka Divia melakukan itu, dia kira Divia tidak akan menoleh kepadanya tapi ternyata Divia memang cukup menggoda.

Rupanya Arman sudah berada di kedai itu beberapa menit sebelum Divia tiba disana. Karena duduk membelakangi pintu kedai maka Arman tidak melihat Divia masuk setelahnya. Hingga ketika dirinya telah selesai dan hendak keluar dari kedai, dia menabrak Divia yang berdiri di samping meja.

Arman adalah seorang manajer proyek konstruksi. Karena dia tidak menemukan kedai kopi yang menarik di sekitar proyek garapannya kali ini, maka dia memutuskan untuk ngopi di Bonjour Cafe pada jam istirahatnya tadi. Keasyikan memandangi Divia dari jauh, dia sampai lupa kalau dirinya juga hendak pergi dari kedai itu. Dia pun melanjutkan langkahnya namun ketika dirinya sampai di pelataran kedai, Divia baru saja naik ke mobil hitam yang menjemputnya.

“Untung Bapak lihat Saya keluar. Baru saja Saya mau telepon.”

“Iya Mba. Tadi sempat parkir di samping sana. Nah pas mobil disitu keluar, Saya buru-buru parkir. Jadi Mba ngga kejauhan.”

“Kita langsung balik kantor ya Pak.”, ucap Divia memberi komando pada sopir kantornya itu. Lalu dia kembali membuka laptopnya melanjutkan mengetik surat penawaran harga yang tadi belum diselesaikannya.

Setengah jam berlalu, Divia baru saja menginjakkan kakinya di lantai dua dan sampai di meja kerjanya. Belum sempat dia meletakkan tas dan semua benda di tangannya, telepon di mejanya berdering.

“Halo..”

“Kesini sekarang!”, bos Koreanya itu langsung memutus teleponnya tanpa menunggu jawaban Divia.

“Ih.. Gue baru sampe..”, dengan nada geram Divia menggerutu.

“Hahaha.. Kaciaaann..”, terdengar seorang teman meledeknya dari meja pojok sana.

Dengan bersungut-sungut Divia lekas meletakkan semua benda yang sejak tadi dibawa ikut pergi dengannya. Dia bergegas turun untuk menghampiri ruang kerja bosnya di lantai satu.

“Sudah ketemu Yudis?”

“Sudah Mister. Ada lima produk yang desainnya harus diperbarui. Dua kemasan kopi instan dan tiga untuk bungkus cokelat impor.”

“Kapan selesai?”

“Kalau dari Pak Yudis sendiri, infonya satu minggu.”

“Hmm.. Bagus. Nanti kamu follow up terus perkembangan desainnya ya! Oke.”

“Ya Mister. Saya permisi.”

Divia beranjak pergi dari ruangan bosnya, masih dengan gerutuannya, “Cuma nanya gitu doang lewat telepon saja bisa kali..”

“Kenapa sih Vi, ngedumel saja?”, tanya Pak Lukas yang meja kerjanya dia lintasi untuk menuju tangga ke atas.

“Itu Mister Jung, mau nanya desain saja pake manggil segala. Saya kan baru sampe atas, jadi turun lagi.”, Divia menghentikan langkahnya sejenak.

“Hahaha, biasa itu. Udah jangan cemberut, nanti jomblo terus lho.”

“Hahaha.. Lucu ya Pak..”, seraya melanjutkan langkahnya untuk kembali ke meja kerjanya di atas.

Divia langsung membuka laptop dan berniat mencetak surat penawaran harga yang telah rampung diketiknya tadi. Dia menghela nafas setelah membaca nama bosnya di bagian bawah surat itu. Dia baru ingat kalau harus meminta tanda tangan Mr. Jung sebagai persetujuan, sebelum surat tersebut dikirimnya keluar. Berarti dia harus turun sekali lagi menghadap Mr. Jung. Alih-alih menggerutu terus, dia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya yang satu itu.

Akhirnya tepat pukul lima sore, Divia telah siap meninggalkan kantor. Dia biasa memesan ojek online yang akan mengantarkannya sampai di rumah.

Di tengah kepadatan jalan raya sore ini, motor yang ditumpangi Divia melaju perlahan sedikit tersendat-sendat di sisi kiri jalan. Suatu hal yang biasa bagi Divia, dia tak perlu lagi menggerutui situasi sekelilingnya.

Satu jam sepuluh menit Divia berjibaku dengan kemacetan ibukota. Kini dirinya telah tiba di rumah ketika Ayah dan Gema juga belum lama sampai. Ibu yang sedari sore sudah lebih dulu berada di rumah, kini sedang menyusun tampilan makan malam mereka di atas meja makan. Sedang anggota keluarga yang lainnya antri untuk menggunakan kamar mandi.

Tak perlu sampai berjam-jam, kini mereka sekeluarga telah duduk bersama di kursi makannya. Siap menikmati makan malam mereka. Sesekali terdengar perbincangan diantara mereka. Namun, kali ini Divia tak banyak bercerita tentang harinya. Dia hanya menimpali satu dua kali cerita yang dituturkan oleh Gema. Dirinya juga hanya menjawab singkat ketika ditanyai sesuatu.

Dari meja makan, Divia membopong seluruh peralatan makan yang kotor. Dia hendak mencucinya di wastafel dapur. Meski tampak tersirat lelah di wajahnya, dia tetap menyempatkan diri melakukan pekerjaan rumah. Setelah beres mencuci peralatan makan, dia kembali ke meja makan dan mengelapi meja yang dibalut taplak plastik berwarna abu itu. Ibu dan Ayah masih terlihat duduk bersama di ruang tv, sedangkan Gema belum lama masuk ke kamarnya.

Divia pun menyusul, dia melangkah menuju kamarnya sendiri. Ponsel yang tadi diletakkannya di atas meja, segera diraihnya. Dan ternyata ada satu pesan masuk lima belas menit yang lalu.

“Hai Divia. Ini nomor aku, Arman. Kamu mau kan simpan nomor aku? Hehe.”

Divia tertawa kecil membaca pesan dari lelaki itu. Lantas dia segera membalasnya, “Haha iya aku simpan deh. Tenang saja.”

“Ok Div. Btw kamu lagi apa nih?”

“Habis makan. Kamu sendiri lagi apa?”

“Aku lagi santai saja. Masih ngga nyangka lho, kita bisa ketemu lagi tadi siang.”

“Iya. Aneh ya. Aku juga kaget ditabrak lagi sama kamu.”

Malam kian larut, keduanya terus berbincang lewat pesan singkat hingga akhirnya Divia ketiduran. Dia tak sempat lagi membaca pesan terakhir Arman. Di kejauhan sana, Arman menunggu pesannya dibalas namun dia tersadar ketika melihat jam di dinding kamarnya. Dia tahu mungkin Divia sudah tidur. Tapi dirinya sendiri belum mengantuk, Arman menggapai gitar akustiknya dan mulai memetiknya dengan irama sendu. Akhirnya sisa malam itu hanya membuatnya kembali teringat pada sosok Maya.

Keesokan hari dan seterusnya, Divia dan Arman masih tetap beraktivitas seperti biasanya. Dengan rutinitas dan kesibukan mereka masing-masing. Namun kini hari-hari mereka sedikit berbeda. Hampir setiap hari keduanya saling bertukar kabar dan berbagi cerita. Meski itu hanya mereka lakukan lewat pesan singkat.

Arman sedang berusaha membuka hatinya kembali, dia ingin sembuh dari lukanya yang kemarin. Divia gadis yang menarik dan menyenangkan. Arman cukup terhibur dengan adanya Divia saat ini, meski dirinya sama sekali belum berniat menjadikan Divia sebagai kekasih, menggantikan tempat Maya di hatinya.

Bagi Divia sendiri, pertemanannya dengan Arman sangat menarik. Dia begitu menghargai keberadaan Arman dalam mengisi harinya. Divia termasuk gadis yang tidak mudah percaya pada seorang lelaki, di usianya yang ke dua puluh lima ini dia semakin berhati-hati dalam menjalin pertemanan dengan lelaki. Dan entah mengapa dengan Arman, dirinya merasa percaya. Dia percaya bahwa Arman lelaki yang baik.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh NOVIA RESPATI

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku