Langit Jam 4 Sore
cukup lama lelaki itu tidak keluar dari dalam mobilnya. Dia hanya duduk seorang diri, kijang putihnya diparkirkan lurus menghadap ke jalan raya, sejajar dengan ken
n. Kini pikirannya masih kacau, masih terasa ngilu setiap kali teringat akan hal itu. Kek
ernyata membawa penumpang. Awan sudah mulai gelap, hujan pasti akan turun dalam hitungan menit. Sikap jengkelnya malah membuat Arman tertawa sendiri. Akhirnya dia putuskan un
kedai. Gayanya cool dan terkadang dia merasa dirinya memang tampan. Sepuluh menit kemudian Arman kembali keluar dari kedai sambil menyedot es kapucino
pontan Divia m
benar tidak sengaja telah menabrak tubuh Divia ak
h tuh kopi. Kalau
Saya beneran
tadi dijinjingnya. Dia berharap lelaki itu segera enyah dari hadapannya. Namun Arman jus
ah s
ngan penuh percaya diri Arman malah menyo
ia menyambut tangan Arman,
kuning akan melintas di hadapan mereka. Dia pun buru-buru menyetopn
ia seraya tersenyum pada Arman sem
Tak disangka di balik wajahnya yang penuh amarah tadi, gadis itu memiliki senyum yang sangat menawan. Sesaat Arman terdiam, dia t
nomor ponsel Divia. Perkenalan yang sangat singkat telah berlalu begitu saja. Seandainya taksi
yang baru dia hidupkan. Arman tertegun sejenak menatap hujan, tap
n sikunya pada pegangan pintu. Tiba-tiba saja dia teringat pada lelaki yang belum lama tadi berkenalan dengannya. Terbayang senyuman Ar
*
i balik pintu rumah sambil Mamanya membopong sebuah kue tart cokelat kesukaan Arman.
. Semoga sukses.", dilanjutkan dengan ke
. Makasi
ang yang lebih baik lagi
asih
ir bersamaan pada sofa ungu di ruang tamu rumah mereka. Kedua orang tua yang usianya lebih dari setengah baya itu kini hanya memiliki seorang anak saja. Hanya Arman yang ad
rlintas lagi dalam benaknya andaikan saja saat ini Maya masih berada di sisinya. Sekuat hati Arman kembali menepis pikiran itu. Dia coba tersenyum dan mulai pada s
*
rapa macam kue kering sambil menonton tayangan televisi. Suara nyaring Divia memecah konsentrasi
ng bayarin
lahan dari duduknya, beliau meletakkan dulu
l Gema. Kakak Divia yang berusi
uju ke dalam kamarnya. Lagi-lagi Ibunya dikerjai u
taksinya Bu?
an ngga hilang-hilang. Coba saja, pali
ke atm. Ambil duit sedikit-sedikit bukan
s Gem. Kalau pegang duit di tang
tu. Harusnya kalau tau mau pergi ya lebihan ambil duitnya.
.", ucap Ibu seraya tersenyum sembari kedua tang
ebih suka menonton drama Korea. Tak terasa adonan kue kering di dalam baskom telah habis. Semua adonan telah selesai dibentuk oleh keterampilan dan kecekatan tan
seraya menyergap tubuh
tuh nih kue.", kedua tangan Gema sedang
pelukannya dari balik tubuh Gema, dia berdiri di samping kakak
, Gema telah siap mendengarkan
kedai ko
kok
epan situ. Tuh cowok lewat samb
dia ngajak lo k
s pikir kayak di film saja ketemunya. Hahaha. Tapi beneran Ka
an Maulana?
gnya tinggi, putih, rambutnya rap
ukeran n
sempet, keburu t
a macem-macem kenalan dil
jelas kok. Jelas ga
gue bilang
ang kakak terhadapnya. Divia dapat merasakan Gema begitu menyayangi serta berusaha menjaga dirinya. Empat bulan lag
malam, Ayah
ema. Mereka sedang duduk berdua di teras lal
a seraya kedua anak perempuannya itu
usun kue ke tople
n ngga
mau bantu Ibu.", tukas Gema ya
oba membela diri. Sedangkan Ayah su
menghampiri Ayah saat mel
ni toko rame katanya.", seraya me
syuk
diri untuk menengok kesana sekalian mengambil setoran hasil penjualan harian toko kue
an Kak? Male
Bimo masih
omong cowok yang
l ngga tukeran
Divia beranjak meninggalkan Gema yang masih duduk d
sok Arman benar-benar telah menyita pikirannya hari ini. Hingga a
*
bersama mobil Ayah. Keduanya akan berangkat sama-sama karena kantor Gema searah dengan kantor Ayah. Hari ini
k bertemu. Dia seorang gadis yang selalu on time dalam setiap temu janji yang akan dilakukannya. Dia tidak pernah mau membuat orang lain sampai bosan menunggu dirinya datang. Maka itu tak jarang dia datang lebih awal, tidak masalah baginya jika dia yang harus
matanya masih tertuju ke la
kir Mba. Bonj
ah sampai di tujuan. Buru-buru dia save dan close lembar kerjanya. Sambi
turun disini saja.
sana ya Mba.
un dengan segala benda yang berada dalam pelukannya. Pak sopir pu
u pintu masuk kedai. Dia tidak tahu kalau kijang put
tu sudut ruang kedai. Dia duduk menghadap ke arah meja pemesanan. Tak lama kemudian pesa
kap keberadaan Divia di sudut sana. Segera dia memesan pula, kopi hitam unt
g Mba
Saya kira Pak Yu
jatuhkan diri di kursi yan
pesan
imana nih ada berapa kemas
ori serta gambaran dari desain yang harus dikerjakan oleh Pak Yudis. Begitupun Pak Yudis yang tak kalah fokusnya mendengarkan penjelasa
temuan mereka dengan menghabiskan kopi dan makanan ringan mereka masing-masing. Karena mas
kabari soal desainnya. Mana tahu ada yang
Makasih banyak ya Pak..", ser
pun bangkit dari kursinya dan mulai
embali agar jangan sampai ada yang tertinggal di meja atau di kursi sebelahnya. Yakin sudah
dari arah belakang. Dengan jengkel dia membalikkan badann
erkejut karena adegan dua hari yang lalu di d
Divia dengan nada meledek kepada Arman. Dia sampai lupa kalau k
ya Di....
as laptopnya di atas meja. "Permisi.", Divia meminta
rin aku lupa. Boleh a
r rumah? Ata
", jawab A
up menguji kesabaran. Dalam hitungan detik akhirnya dia mau bersuara
boleh pergi
memberi jalan untuk Divia. Sementara dirinya sendiri masi
an seraya melempar senyum. Dia tahu bahwa sejak tadi Arman juga masih memandang kepadanya. Arman tak menyangk
membelakangi pintu kedai maka Arman tidak melihat Divia masuk setelahnya. Hingga ketika dirin
mutuskan untuk ngopi di Bonjour Cafe pada jam istirahatnya tadi. Keasyikan memandangi Divia dari jauh, dia sampai lupa kalau dirinya juga hendak pergi
Saya keluar. Baru sa
sana. Nah pas mobil disitu keluar, Saya
da sopir kantornya itu. Lalu dia kembali membuka laptopnya melanjut
ntai dua dan sampai di meja kerjanya. Belum sempat dia meletakka
al
a itu langsung memutus teleponn
..", dengan nada ger
rdengar seorang teman mele
yang sejak tadi dibawa ikut pergi dengannya. Dia bergegas
ketemu
nya harus diperbarui. Dua kemasan kopi ins
n sel
udis sendiri, inf
follow up terus perkemb
er. Saya
, masih dengan gerutuannya, "Cuma nanya
ya Pak Lukas yang meja kerjanya dia
ggil segala. Saya kan baru sampe atas, jadi turu
ah jangan cemberut, na
a melanjutkan langkahnya untuk
a bosnya di bagian bawah surat itu. Dia baru ingat kalau harus meminta tanda tangan Mr. Jung sebagai persetujuan, sebelum surat tersebut dikirimnya
p meninggalkan kantor. Dia biasa memesan ojek o
aju perlahan sedikit tersendat-sendat di sisi kiri jalan. Suatu hal yang
Gema juga belum lama sampai. Ibu yang sedari sore sudah lebih dulu berada di rumah, kini sedang menyusun tampila
eka. Sesekali terdengar perbincangan diantara mereka. Namun, kali ini Divia tak banyak bercerita tentang harinya. Dia han
hnya, dia tetap menyempatkan diri melakukan pekerjaan rumah. Setelah beres mencuci peralatan makan, dia kembali ke meja makan dan mengelapi meja
nsel yang tadi diletakkannya di atas meja, segera diraihnya.
ku, Arman. Kamu mau kan
elaki itu. Lantas dia segera membalasnya
tw kamu la
. Kamu sendi
h ngga nyangka lho, kita bi
juga kaget ditabr
sana, Arman menunggu pesannya dibalas namun dia tersadar ketika melihat jam di dinding kamarnya. Dia tahu mungkin Divia sudah tidur. Tapi dirinya sendiri belum
tas dan kesibukan mereka masing-masing. Namun kini hari-hari mereka sedikit berbeda. Hampir setiap har
adis yang menarik dan menyenangkan. Arman cukup terhibur dengan adanya Divia saat ini, meski dirin
termasuk gadis yang tidak mudah percaya pada seorang lelaki, di usianya yang ke dua puluh lima ini dia semakin berhati-hati dalam m