Langit Jam 4 Sore
angan seorang tamu di kantornya. Beliau adalah perwakilan dari perusahaan supermarket yang sudah setuju dengan penawaran harga produk yang sebelumnya pernah diajukan oleh Divia. Karena kebetul
aya bangkit dari kursi tamu ketika melihat kemuncula
erjabat tangan, "Ngga apa-apa Bu
adapan, dibatasi oleh sebuah m
t di google map, kayaknya dekat kesini. Kebetulan penawaran dari
inum dulu.", Divia mempersilahkan Bu Stefy untuk mengambil sebotol teh siap minum yang sudah tersedia sejak tadi di hadap
sebotol dan perlahan membuka
ni masih produk
l juga, cuma kadang kita ngga perha
nya, "Jadi harga segini sudah diskon ya Mba buat kami?", seraya
i bos. Malah khusus buat supermarket itu biasanya kami memang kasih pilih
n Saya. Menurut beliau sih harganya masih masuk lah. Cuma memang
sudah paling bagus kok. Saya tiap bikin penawaran jug
rikan oleh Divia. Di penghujung pertemuan Divia dan Bu Stefy sore ini, Bu Stefy mengatakan kalau secepatnya akan mengirimkan PO kepada Divia. Tentu D
kembali ke lantai dua. Meja kerjanya tampak masih berantakan karena tadi dirinya langsung turun saat mendeng
ang memenuhi meja kerjanya. Siapa tahu pulpen kesayangannya itu bersembunyi di bawah tumpukan kertas itu. Namun dia tidak men
esi yang mejanya tak beg
Itu yang kuni
ata Desi mengarahkan Divia k
elapan tahun. Terkadang anak manis itu memang diajak papanya main ke kantor. Namun Divia tida
hampiri anak laki-laki itu. "Sini, kasih aku pulpennya.", dengan salah satu tang
menjauhi Divia seraya membawa
rasanya meladeni anak kecil. Dia hanya mampu bersuara
imat tadi, Mr. Jung Wo Jin muncul di ujung tangga lant
apa itu?
ia berjalan lemah ke arah Divia dan me
g apa?", uc
raya menunduk mem
kecil, " Iya.. M
Jung naik hanya untuk mengajak anaknya pulang. Desi yang sejak t
anak.", ucap Divia
kerjain lo
erjanya. Dengan tetap teliti, kedua tangannya sigap menyusun rapi kertas-kertas dokumen yang dianggurin
na hari ini Murni dan Radit bersama-sama tugas keluar kantor dan kemungkinan urusan mereka diluar sana baru
enghampirinya, sore ini mulai menampakkan keberadaannya lagi. Divia hanya menahannya, dia tampak baik-baik saja dilihat dari luar. Baginya, rasa nyeri di ulu hati dan sakit di bagian perut merupakan sesuatu yang sudah lama menyatu dengan dirinya. Bahkan terkadang Divia sampai harus merasa
rjalanan pulang dibonceng ojek online, Divia beberapa kali menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri ulu hatinya yang belum juga berkurang. Sesampainya di rumah, Divia langsung masuk ke ka
h yang dibuka. Namun beliau tak melihat siapapun di sekitarnya. Keluarga mereka memang memegang kunci rumah masing-masing. Jadi, mesk
amar, masih mengena
-nepuk dadanya melihat kemun
u naik nih. Makanya pula
akitnya? Kamu kerj
sih selalu aku bawa, cuma tadi udah tanggung. Udah
ng makan. Tadi siang kamu n
jawab Divia datar seraya tangannya
s Ibunya mengira-ngira apa yang menjadi
bantah Divia dengan
enyelidik menajamkan sorot matan
dan
Vi. Kurangin
ng saja kok. Jarang Bu. Seharian
ar, masih ngebul asapnya. Untung buru-buru Ibu nyalahin eksosnya. Habis itu
r bisa cepat-cepat makan.", lantas bangkit dari sofa menuju
keluar dari kamar mandi. Divia terlihat sangat manis berbalut daster kuning polos sel
ni, makan b
hampiri meja makan dan duduk di kursi yang berhada
nya. Ayah nungguin dia dulu, ta
a. Segar.", seraya mengangguk
akit ngga u
. Ngga nyeri ban
Vi. Habis makan jangan langsu
ose hormat dan segera bangkit dari kursi makannya.
a mulai diserang pasukan nyamuk. Dia pun seg
? Ibu baru mau
muknya lagi banyak tu
. Ya
i Arman dua puluh menit yang lalu. Dia pun memilih memba
tidu
habis makan. Tadi s
rang masih
sih. Kamu lagi apa M
sampe rumah. Tadi banyak kerja
s terhenti karena Divia malah ketiduran, m