Bagaimana rasanya menikah dengan laki-laki yang belum menyelesaikan masa lalunya? Sakit dan teriris. Itulah yang dirasakan Nayra saat melihat sang suami lebih memilih mengasuh anak dari sahabat kecilnya yang menjanda daripada dirinya yang mandul. "Papa pulang!" Seorang anak umur empat tahun menyerbu keluar pintu. Didapatinya perempuan dengan selendang tipis dan bibir merah merona. Menatap dengan tatapan tajam di balik kacamata hitam. "Tante siapa? Papa mana?" "Papa?" Perempuan itu mengelus puncak kepala sang bocah. "Laki-laki yang kamu panggil Papa itu adalah suami sah saya." "Mika, Papa udah datang? Suruh masuk, kita makan malam bareng." Sebuah suara menyusul dari dalam menampakkan perempuan cantik bertubuh mungil. Langkahnya seketika berhenti saat menangkap pemandangan perempuan yang sedang mengelus kepala anaknya. "K-kamu?!" "Hai, Ca. Ini saya, Nayra. Istri sah temen kecil kamu." "Mau apa kamu ke sini?" "Mau minta suami saya, kembalikan dia karena dia adalah milik saya." *** Ambil sisi baiknya dari cerita ini, jangan memberatkan saya di akhirat. Dosa masing-masing.
"Aku mau ke rumah Caca sebentar, Mika demam."
Bunyi mangkuk menyentuh meja terdengar. Mataku tak beralih kemana pun, masih setia menatap pada sup ayam dengan asap mengepul. Baru saja dipindahkan dari panci. "Hujan, Mas, nggak mau nunggu besok aja? Bahaya nyetir malam-malam, kamu juga baru lima menit lalu sampai di rumah," kataku.
"Harus segera diantar ke dokter, Nay , takutnya makin parah. Mika itu masih kecil, kasihan dia. Cacha juga sendirian di apartemennya. Nggak ada yang jagain mereka berdua."
Aku mengangkat alis mendengar alasan itu. Entah sudah berapa kali Mas Ruby menggunakannya. Terlalu sering sampai aku sendiri hapal. Alasan karena Caca takut lah, karena petir, karena bola lampu kamar mandinya putus, kerannya bocor, televisinya rusak, lapar, membeli galon, dan sekarang anaknya sakit.
Aku tahu mereka bersahabat sejak kecil, tentu banyak sekali memori yang sudah tercipta hingga menimbulkan perasaan saling menjaga.
'Aku dan Caca itu ibarat anak kembar tak sedarah. Jika salah satunya sakit, maka yang lainnya juga' Itu yang dikatakan Mas Ruby waktu itu.
Aku menggigit bibir, getir pekat di hati membuat mataku panas. Rasanya akan ada setetes air dihasilkan dari sana.
"Kalau kamu pergi yang jagain aku juga nggak ada lho. Aku sendirian di rumah ini." Suaraku gemetar, pahit menelan ludah sekedar mengeringkan tenggorokan. Sekuat tenaga menahan nyeri yang meronta-ronta di dalam diri. Meski sudah beberapa kali hal seperti ini terjadi, rupanya tetap aku tak bisa terbiasa.
Mas Ruby menatap tenang dari seberang meja. Dia mengembuskan napas berat, tahu kalau aku keberatan dengan keputusannya untuk kembali mengunjungi teman kecil kesayangannya itu. Dia berjalan memutar meja, membalikkan tubuhku agar menghadap sepenuhnya padanya. Terasa jelas cengkraman kokoh jemari Mas Ruby memegang bahuku.
Lama kami berpandangan. Aku tahu dua mata hitamnya mengarah sejak lama padaku sejak dia membawa kembali nama Caca di percakapan makan malam kami, aku hanya tidak mau menoleh. Tidak ingin menunjukkan kalau aku peduli, tapi dia ingin aku peduli. Lebih tepatnya memaksa.
"Nay, Caca itu janda," kata Mas Ruby lembut. "Dia juga nggak punya keluarga di kota ini, cuma aku yang dia kenal. Aku harap kamu ngerti, ya. Lagian aku juga kan nggak sering-sering."
"Nggak sering-sering?" ulangku menaikkan sedikit nada bicara. "Nggak sering-sering apanya, Mas? Kamu lho selalu bergegas setiap kali Caca nelpon, seolah dia bakal mati mengenaskan kalau kamu nggak datang ke sana dan mengabulkan semua perintahnya. Kamu bukan tukang suruh dia, 'kan."
"Nay, aku sama Cacha itu..."
"Iya aku tahu, dia temen kecil kamu, sahabat, udah kayak kembar tak terpisahkan, satu hati, satu misi, tapi kamu juga harus ngertiin perasaan aku, Mas. Aku ini istri kamu. Sah di mata agama dan hukum. Sementara dia ..." Aku menahan lidahku untuk menyematkan kata pengganggu di belakang nama Caca.
Mas Ruby selalu terlihat seperti orang teraniaya dan tersakiti tiap kali aku menjelek-jelekkan teman kecil kesayangannya itu. "Mas kamu itu sudah menikah sama aku. Seharusnya aku prioritas kamu. Seharusnya aku yang kamu pentingin, bukan dia.".
"Iya Nay, aku tahu itu. Tanpa kamu beritahu sekali pun aku juga udah tahu. Foto pernikahan kita yang besar ada di ruang tengah. Setiap hari aku melihatnya, setiap hari juga aku sadar kalau aku udah jadi suami orang. Tapi ini darurat, Mika sakit dan harus segera aku periksa keadaannya," jelas Mas ruby menggebu-gebu. "Aku janji makan malam berikutnya aku akan di sini nemenin kamu. Malam ini kamu makan sendiri aja, ya, aku harap kamu bisa mengerti. Sesama perempuan seharusnya bisa saling menghargai."
"Sesama perempuan harus saling mengerti? Lelucon macam apa ini?" Aku mengulang kata itu seolah-olah seperti kalimat yang paling memuakkan. "Kamu hanya menempatkan aku sebagai orang yang harus mengerti keadaan di antara kalian berdua, tapi tak ada satu pun di antara kalian yang mau ngertiin aku, Mas. Kalian berdua egois."
"Nay!" Mas Ruby agak mengencang suara. Bukan bentakkan, tapi sudah cukup meluluh lantakkan damai di dada, mengubahnya menjadi badai amuk yang sulit jinak.
"Apa? Kamu nggak ngaku? Emang iya, 'kan. Kenyataannya seperti itu," kataku balas menaikkan lebih dan lebih lagi volume bicara. Dia pikir dia saja yang bisa sekeras batu di sini.
"Sayang, tolong lah. Oke kali ini bukan buat dia, tapi buat anaknya. Mereka benar-benar nggak punya siapa pun. Cuma aku doang. Aku mohon pengertian kamu, ya. Kalau kamu nggak mau memahami keadaan ini, justru kamu lah yang egois."
Usai mengucapkan kalimat seegois itu. Mas Ruby berjalan tergesa dan menyambar kunci mobil. Dia tak lagi butuh tanggapanku, karena punggungnya lenyap begitu saja dengan cepat, meninggalkan aku yang berdiri mematung tanpa melakukan gerakan.
Mataku beralih menatap kepulan asap dari sup yang sudah tak lagi dihasilkan. Aku menangis. Ya Tuhan, ini sakit sekali. Bukan main luar biasa. Ujung jemariku gemetar meremas dada sebelah kiri. Repot menenangkan debar jantung yang teracuni oleh semua drama rumah tangga menyebalkan ini.
Kenapa? Kenapa takdir percintaanku harus seperti ini? Apa salahku? Apakah memang seperti ini ujung dari kisah cinta yang kujalani? Rumah tangga yang diidam-idamkan oleh semua perempuan, bersama dengan seseorang yang mau menemaninya sampai akhir hayat.
Seandainya saja aku bisa memutar waktu tentu aku tidak akan mau menikah dengannya. Menikah dengan seseorang yang belum selesai masa lalunya adalah kiamat besar bagi perempuan. Berandai-andai Sekarang pun juga terasa sangat bodoh. Penyesalan yang selalu kujalin hanya akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri, karena hanya aku seorang saja yang sedih.
Tetes-tetes air mata jatuh ke dalam kuah yang kubuat untuk Mas Ruby. Tatapan mataku pun terasa kabur. Aku lalu menghapus basah di wajah dengan punggung tangan. Mencoba untuk tegar menghadapi semua ini.
Kulangkahkan kaki menuju ruang tengah di mana foto pernikahan kami ada di sana. menatap lamat-lamat sosok yang sedang tersenyum lebar di sana. Ah, Betapa cantiknya aku saat itu. Menggunakan gaun berwarna putih. Juga sebuah mahkota kecil yang menghiasi bagian kepala.
Di sampingku adalah Mas Ruby tentu saja. Sosok yang saat ini menjadi suamiku. Kami berdua tersenyum lebar ke arah kamera. Merasakan kebahagiaan luar biasa karena telah menjadi sah sepasang suami istri. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Mungkin hanya aku yang berpikir kalau kami bahagia. Padahal sebenarnya Mas Ruby tidak pernah bahagia bersamaku.
Ku putar Arah pandangan dan merekam semua yang ada di sini. Rasa sedih langsung menghampiri. Aku ingin punya banyak waktu untuk tinggal di tempat ini. Aku ingin diberikan sekali lagi kesempatan untuk bisa merasakan kehangatan rumah ini. Namun pada akhirnya aku tetap harus meninggalkan tempat ini. Semakin banyak kenangan yang tertoreh semakin sulit untuk pindah. Tidak, aku tidak mau. Sudah saatnya untuk menekan tombol menyerah.
Aku tidak mau kesulitan meninggalkan kakiku di sini hanya karena kenangan-kenangan yang menurutku saja indah tapi tidak dengan Mas Ruby.
Tawa dan senyum gembira. Obrolan-obrolan ringan kami tentang apa pun. Semua itu akan menjadi kenangan yang sangat indah dan tidak akan pernah kulupakan.
Aku lagi-lagi mengatur napas. Ini maksudku, malam ini mungkin terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini. Jadi sebelum aku benar-benar pergi Aku perlu mengingat dengan persis semua yang ada di sini agar jika suatu hari nanti, kalau aku rindu aku bisa mengingat-ingatnya dengan jelas.. Setelah puas memandang semua yang ada di rumah ini aku masuk ke dalam kamarku dan mulai menyusun barangku.
Melipat satu persatu pakaianku. Lalu memindahkannya ke dalam koper untuk ku bawa.
Aku bersyukur bahwa aku memiliki apartemen kosong yang dahulu kubeli sebelum kami menikah. Itu adalah tempat tinggalku saat aku masih gadis dahulu dan aku tidak percaya kalau Hari ini aku akan kembali ke tempat itu.
Di malam yang dingin ini dan saat hujan turun gerimis. Rasanya menyakitkan, benar-benar sangat menyakitkan.
Aku lalu menutup koperku setelah yakin semua pakaianku ku pindahkan. Lalu mengambil ponsel untuk menelpon Adel menjemputku di sini.
Dia adalah sahabatku, seseorang yang paling mengerti apa yang terjadi pada diriku. Atas sarannya aku membuat keputusan ini sebuah keputusan yang sangat sulit untuk dilakukan.
Aku tidak menduga kalau Mas Rubi benar-benar akan pergi mengunjungi teman kecilnya itu. Lalu meninggalkan aku sendiri di sini. Selamat tinggal Mas Ruby, selamat tinggal pernikahanku.
Kalau memang rumah tangga ini tak bisa bertahan, biar aku saja yang tenggelam di lautan lepas penderitaan.
Buku lain oleh 26mil_
Selebihnya