/0/13501/coverorgin.jpg?v=1a1199ebd16f44b6ec106fc74bf349fc&imageMogr2/format/webp)
Azura Paramitha, nama itu selalu terasa seperti bisikan angin di antara dedaunan. Lembut, sejuk, dan melankolis. Namun, di balik kelembutan namanya, tersimpan kekuatan yang tak banyak orang tahu. Kekuatan untuk tetap tersenyum, bahkan ketika dunia terasa enggan untuk membalas. Mata indahnya, bagai danau tenang di pagi hari, memancarkan kedamaian dan sedikit jejak kesedihan yang tersembunyi jauh di dasarnya. Ia adalah gadis yang lemah lembut, itu sudah pasti, tapi keceriaannya adalah topeng yang ia pakai dengan sangat baik, menutupi kerentanan seorang yatim piatu.
Sejak ingatan pertamanya terbentuk, Azura sudah mengenal dinding-dinding Panti Asuhan Harapan. Bukan karena orang tuanya menitipkannya di sana, melainkan karena ia tak pernah mengenal mereka sama sekali. Mereka meninggal ketika Azura masih terlalu kecil untuk mengingat sentuhan hangat ibu atau suara berat ayah. Sebuah kecelakaan tragis, itu yang ia dengar dari Ibu Asih, kepala panti yang berwajah teduh dan selalu wangi melati. Tidak ada sanak saudara, baik dari pihak ibu maupun ayah, yang pernah datang menjenguknya, apalagi mengulurkan tangan untuk mengasuhnya. Dunia terasa seperti sebuah lingkaran tertutup, di mana Azura berada di dalamnya, tanpa pintu keluar menuju sebuah keluarga. Tetangga orang tuanyalah yang akhirnya, dengan berat hati dan setelah berusaha keras mencari kerabat, menitipkan Azura di Panti Harapan. Sebuah tindakan putus asa yang berbuah kehidupan baru bagi Azura, meski kehidupan itu terasa hampa di beberapa sudut.
Panti Asuhan Harapan bukan tempat yang buruk. Jauh dari itu. Ibu Asih memimpin panti dengan hati yang tulus dan tangan yang cekatan. Anak-anak di sana tidak pernah kekurangan makan, pakaian, atau pendidikan. Namun, Azura selalu merasakan perbedaan. Ia melihat anak-anak lain sesekali dijenguk oleh paman, bibi, atau bahkan kerabat jauh. Ia melihat binar di mata mereka saat menerima hadiah atau pelukan dari dunia luar. Azura tidak pernah merasakannya. Ia hanya punya Ibu Asih, Mbak Siti sang juru masak yang galak tapi sebenarnya penyayang, dan puluhan anak-anak lain yang berbagi nasib serupa dengannya. Mereka adalah keluarganya, satu-satunya yang ia punya.
Azura tumbuh menjadi gadis remaja yang menawan. Bukan hanya karena parasnya yang cantik dengan hidung mancung dan bibir tipis yang selalu tersenyum, tapi juga karena tutur katanya yang santun dan suaranya yang lembut, selembut beludru. Suara itu adalah anugerah baginya. Setiap kali ia berbicara, ada ketenangan yang menyebar, menenangkan hati pendengarnya. Para sukarelawan yang sering berkunjung ke panti selalu memuji Azura. "Suaramu menenangkan sekali, Nak," kata mereka. Azura hanya akan tersipu malu, menundukkan kepalanya, dan mengucapkan terima kasih dengan suara yang semakin pelan.
Pendidikan formal di panti asuhan cukup memadai. Azura termasuk anak yang cerdas. Ia menyerap pelajaran dengan cepat dan selalu mendapatkan nilai terbaik di sekolah. Cita-citanya sederhana: ingin bekerja, mendapatkan uang, dan membalas budi Ibu Asih yang sudah mengasuhnya selama ini. Ia ingin membangun Panti Harapan yang lebih baik, dengan fasilitas yang lebih lengkap, agar anak-anak lain bisa merasakan kebahagiaan yang lebih sempurna. Ia ingin semua anak di panti tidak perlu merasakan hampa yang terkadang masih singgah di sudut hatinya.
Rutinitas Azura di panti cukup padat. Pagi hari ia membantu Mbak Siti menyiapkan sarapan, kemudian berangkat sekolah. Sepulang sekolah, ia akan membantu anak-anak yang lebih kecil mengerjakan pekerjaan rumah mereka, membersihkan area panti, atau sesekali membacakan cerita sebelum tidur. Malam harinya, setelah semua anak terlelap, Azura akan duduk di teras panti, di bawah cahaya rembulan yang samar, membaca buku atau sekadar memandang bintang. Pada saat-saat itulah, topeng keceriaannya sedikit longgar. Kesedihan itu akan merayap keluar, membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia temukan jawabannya. Mengapa orang tuanya pergi begitu cepat? Mengapa tidak ada satu pun kerabat yang peduli padanya? Apa salahnya sehingga ia harus merasakan kesendirian seperti ini? Namun, ia akan segera mengusir pikiran-pikiran itu. Ia tidak ingin menjadi gadis yang mengasihani diri sendiri. Ia punya tujuan, ia punya harapan.
Suatu sore yang terik, ketika Azura sedang menyirami bunga di taman panti, sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan gerbang. Mobil itu terlihat begitu mencolok di antara deretan rumah sederhana di sekitar panti. Seorang pria berjas hitam keluar dari kursi penumpang depan, membuka pintu belakang, dan mempersilakan seorang pria lain keluar. Pria itu tinggi, tegap, dengan rahang tegas dan mata setajam elang. Wajahnya beku, tanpa ekspresi, memancarkan aura dingin yang membuat siapa pun enggan mendekat. Itu adalah Revan Aksara.
Desas-desus tentang Revan Aksara sudah lama beredar. Ia adalah seorang pengusaha properti yang sangat sukses, namun namanya juga dihubungkan dengan berbagai bisnis gelap dan praktik kejam. Konon, ia adalah sosok yang tak kenal ampun, ambisius, dan tak segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Orang-orang menyebutnya "Serigala Hitam", karena mata tajam dan perilakunya yang misterius. Azura sendiri belum pernah melihatnya secara langsung, hanya mendengar cerita-cerita samar yang beredar di kalangan staf panti dan relawan.
Revan Aksara datang ke Panti Harapan bukan untuk beramal atau menjadi sukarelawan. Ia datang karena sebuah proyek pembangunan besar miliknya akan mengambil alih sebagian lahan di dekat panti. Kabar itu sudah membuat Ibu Asih pusing tujuh keliling, karena akan ada penyesuaian besar yang harus dilakukan panti. Revan, dengan caranya sendiri, "membantu" panti dengan menawarkan sumbangan besar, tentu saja dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihaknya.
Saat Revan melangkah masuk ke halaman panti, semua mata tertuju padanya. Aura kekuasaannya begitu kuat, hingga anak-anak yang biasanya riuh mendadak terdiam. Azura, yang sedang memegang selang air, merasa jantungnya berdebar tak karuan. Ia belum pernah melihat pria semengerikan ini secara langsung. Revan melirik sekilas ke arah Azura yang berdiri mematung di samping bunga-bunga mawar. Tatapan Revan dingin, tak terbaca, namun Azura merasa seolah seluruh isi hatinya sedang dibaca. Ia buru-buru menunduk, menghindari tatapan pria itu.
Ibu Asih menyambut Revan dengan senyum ramah yang dipaksakan. Mereka berdua masuk ke ruang tamu panti untuk membicarakan masalah lahan. Azura, setelah selesai menyiram bunga, masuk ke dalam untuk membantu Mbak Siti di dapur. Ia bisa mendengar samar-samar percakapan dari ruang tamu, suara Revan yang berat dan dingin, kontras dengan suara lembut Ibu Asih.
Beberapa menit kemudian, pintu ruang tamu terbuka. Revan Aksara dan Ibu Asih keluar. Revan terlihat akan segera pergi, namun pandangannya kembali tertuju pada Azura yang sedang menuangkan air ke dalam teko di dapur.
"Siapa gadis itu?" suara Revan berat, tanpa intonasi.
Ibu Asih menoleh ke arah Azura. "Oh, itu Azura, Nak. Salah satu anak asuh kami. Dia sangat rajin dan santun."
Azura, yang merasa disebut namanya, menoleh. Matanya bertabrakan sejenak dengan mata Revan yang tajam. Ia segera menunduk lagi, memegang teko air erat-erat.
"Azura, bisakah kau ambilkan saya segelas air?" perintah Revan, suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.
/0/24866/coverorgin.jpg?v=f7065baf7f62da0e74ee8bf6ac37822d&imageMogr2/format/webp)
/0/14562/coverorgin.jpg?v=e2ff56d992c0745ecf9692a1ea900313&imageMogr2/format/webp)
/0/23734/coverorgin.jpg?v=20250526182827&imageMogr2/format/webp)
/0/14153/coverorgin.jpg?v=1881b3dd5cb5b65f491727b47073ca66&imageMogr2/format/webp)
/0/19622/coverorgin.jpg?v=73733647e6f2a2812273138ab4bae08f&imageMogr2/format/webp)
/0/23611/coverorgin.jpg?v=454a209608c173e8be20bbf7e4df9b0f&imageMogr2/format/webp)
/0/10233/coverorgin.jpg?v=cd233853460167106ac51c664dee3b77&imageMogr2/format/webp)
/0/21183/coverorgin.jpg?v=bd3e19f3170b167e10cb6be806c1a043&imageMogr2/format/webp)
/0/18360/coverorgin.jpg?v=0b2e1603fbce88128ccb2ce7e9ed3e5d&imageMogr2/format/webp)
/0/18454/coverorgin.jpg?v=6ec314479b50e99d85a4e920e53be21b&imageMogr2/format/webp)
/0/20911/coverorgin.jpg?v=a118fcfd84a16c7214b7083fcf58d996&imageMogr2/format/webp)
/0/17951/coverorgin.jpg?v=826938fa2d6147a359ff89b8580da6c0&imageMogr2/format/webp)
/0/13466/coverorgin.jpg?v=81e65921a2deae8529f27d361223e649&imageMogr2/format/webp)
/0/23830/coverorgin.jpg?v=f6c400d446c191c6b21160edd80e9314&imageMogr2/format/webp)
/0/29153/coverorgin.jpg?v=25932d412c156f3501bea1c1af134c39&imageMogr2/format/webp)
/0/12906/coverorgin.jpg?v=1b33352383fc7da5c274fa9d922a261b&imageMogr2/format/webp)
/0/28876/coverorgin.jpg?v=09731113ad696b94b92efb22936e56d0&imageMogr2/format/webp)