/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Hana POV
***
Menyukai seseorang seharusnya berada pada konteks yang bisa dimengerti oleh manusia. Nyatanya cinta tidak punya logika. Cinta akan mendorong kita pada jalan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Aku mengikuti alur cintaku. Tanpa kusadari, aku telah jatuh ke dalam jurang yang menghancurkan diriku sendiri. Tidak, bukan hanya diriku tetapi juga orang-orang di sekelilingku.
Aku memegang kuat gelas berisi teh di atas meja kami. Gelas kaca itu mampu menahan kekuatanku. Aku terlalu bingung memikirkan masalahku sampai mengira mencengkeram gelas mampu menyelesaikan persoalan pribadiku. Teh adalah minuman favoritku, tetapi sekarang rasanya tidak spesial lagi buatku.
"Jadi bagaimana Mas? Apa yang harus kita lakukan?"
Aku bertanya pada Romeo, menantuku yang kini duduk berhadapan dengan diriku. Pria itu terlihat sangat frustrasi akan hubungan rumit kami.
Lagu Chrisye berjudul Kisah Cintaku menggema di udara. Suaranya khas, menambah kesedihan yang tengah mendera diriku dan menantuku. Kami adalah sebuah kesalahan. Entah bagaimana cara menyadikkan jalan kami yang berbelok ini. Seandainya menabak di tempat karaoke mampu mengubah keadaan, mungkin sudah kulakukan sejak tadi.
"Aku tidak tahu, Hana," bisik Romeo.
Suaranya serak, begitu merdu di kupingku. Aku selalu ingin dengarkan dia berbicara. Kalau saja aku bisa memilikinya secara utuh. Tentu aku akan jadi wanita paling bahagia. Khayalanku yang terselindung teralihkan saat Romeo menggenggam tanganku begitu kencang. Dia menyingkirkan jemariku yang menyentuh gelas kaca. Sama seperti menantuku, aku pun tidak tahu mesti melakukan apa. Aku merasa egois telah menjalin hubungan gelap dengan suami putriku, Olivia.
Aku memandang ke arah luar kafe, hendak mengingat-ingat bagaimana hubungan gelap kami dimulai. Ada banyak mobil berseliweran. Di dalam kendaraan itu tentu terdapat manusia. Aku membayangkan apakah kisah cinta orang lain bisa se-rumit kisah diriku. Aku mulai memutar semua kejadian yang ada di kepalaku.
Dulu aku menikah muda, berusia 17 tahun ketika ibuku menjodohkan aku dengan pria berumur 40 tahun bernama Wahyu. Kemudian lahirlah putri tunggal kami, Olivia.
Olivia mau mengikuti jejak diriku menikah muda. Pacarnya Romeo meminangnya beberapa hari setelah putriku dinyatakan lulus SMA. Aku tidak mendukung pernikahan mereka. Aku tidak mau putriku memiliki nasib sama seperti diriku.
Aku punya pengalaman pahit menikah dengan pria dewasa. Dulu, aku dinikahi Mas Wahyu yang lebih tua. Alhasil aku menunjukkan sikap kekanakanku pada suamiku. Pada akhirnya, Mas Wahyu berpaling pada wanita lain. Aku bersabar sampai Olivia masuk SMA. Kejadian tersebut terus berulang-ulang. Aku lelah hidup bersamanya. Lalu, aku memutuskan untuk bercerai dari Mas Wahyu saat Olivia naik kelas dua SMA. Sekarang kami sudah tidak punya masalah, tetapi aku cukup trauma dengan pernikahan dini.
Tadinya aku tidak merestui pernikahan Olivia dan Romeo karena merasa menikah muda tidaklah menyenangkan. Aku mau putriku menikmati masa gadisnya dulu, melepaskan semua sikap kekanakan yang dia punya. Olivia memohon agar aku mewujudkan keinginannya saat itu. Kerja kerasku menyabot hubungan mereka telah gagal. Aku tidak punya pilihan selain memberikan dukungan atas hubungannya bersama pria dewasa, yang 5 tahun lebih muda dariku. Romeo berusia 30 tahun waktu itu.
Aku bilang pada putriku untuk tidak buru-buru memprogramkan anak. Namun, semua yang aku perintahkan bagaikan angin lalu. Olivia dan Romeo dikarunia anak laki-laki setahun setelah mereka menikah. Di awal pernikahan mereka baik-baik saja. Lambat laun Olivia mengulang kesalahan sama seperti yang kulakukan dulu. Akhirnya ketakutan-ku selama ini terjadi.
Setiap kali aku mampir ke rumah mereka. Aku sering mendapati Olivia mencomeli suaminya dengan masalah-masalah sepele, misalnya lampu yang tiba-tiba mati dan Romeo belum mengganti lampu itu, atau masalah seperti Romeo menegur istrinya agar lebih hemat. Perempuan memiliki ego yang lebih besar, selalu merasa benar. Olivia dan suaminya bertengkar seperti anak kecil nyaris setiap hari.
Mereka mengabaikan anak mereka, Aryan. Aku menyarankan agar cucuku tinggal denganku. Olivia bilang kalau sebaiknya aku tinggal di rumah mereka. Sekali lagi, aku tidak punya pilihan karena kebetulan aku tinggal sendiri. Aku sering diganggu bapak-bapak kompleks. Mereka kira aku janda gampangan.
Baru sebulan tinggal di rumah putriku, aku merasa keadaan semakin tidak kondusif. Romeo sibuk bekerja sampai lupa istrinya sedang ulang tahun. Olivia merajuk, mengamuk ke Romeo. Aku tidak tahan dengan situasi mereka. Jadi kusarankan agar mereka introspeksi diri selama beberapa hari. Jika ada waktu, aku nasihati mereka. Aku bicara empat mata di kedua belah pihak.
Aku dekati putriku persuasif, begitu pun dengan Romeo. Aku berniat baik. Tetapi ada pihak yang menyalah-artikan perhatianku. Romeo haus akan perhatian. Ketika aku berikan itu, dia berpikir aku menyukainya. Aku tegaskan pada menantuku kalau hubungan kami hanya sekadar menantu dan mertua. Kendati selisih umur kami hanya berjarak 5 tahun.
Romeo tidak kehabisan akal. Suatu malam dia menjebak aku dengan minuman, memasukkan Viagra ke dalam sana. Dia memaksaku bercinta di dapur, melecehkan diriku. Aku menangis pada saat itu. Aku menjauhi Romeo, tetapi dia selalu datang padaku. Pria itu tidak menyerah. Aku merasa luluh. Aku membuka hatiku padanya sebab aku tahu seperti apa kehidupan rumah tangganya dengan putriku. Aku merasa lelaki itu butuh mainan, dan aku pertaruhkan diriku sebagai mainan barunya.
Ini sudah dua bulan hubungan gelap kami. Aku merasa ini salah. Aku tidak mau menyakiti putriku. Aku ajak Romeo bertemu di kafe ini, membicarakan kelanjutan hubungan kami.
"Ini terakhir kalinya kita bertemu, Mas. Aku tidak mau Olivia patah hati. Dia putriku. Takkan kubiarkan dia terluka," gumamku.
/0/2744/coverorgin.jpg?v=34dc371bad51a2740480c7a38a5d8518&imageMogr2/format/webp)
/0/15671/coverorgin.jpg?v=74d2f39c3fb4e4db67973a2933f899b5&imageMogr2/format/webp)
/0/9959/coverorgin.jpg?v=e7a636a98918d8fe2356929a5f97b700&imageMogr2/format/webp)
/0/3263/coverorgin.jpg?v=da51877b94893f98820b80291b788f0a&imageMogr2/format/webp)
/0/7183/coverorgin.jpg?v=2c7413fa5623c226eb15c56a42383ec6&imageMogr2/format/webp)
/0/24786/coverorgin.jpg?v=8b4900a9b5e54ae058c619b10f342531&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/21226/coverorgin.jpg?v=e13efa5f6553a71befb5eec17f044060&imageMogr2/format/webp)
/0/28915/coverorgin.jpg?v=852149d4888d15629b474de2d6a9b795&imageMogr2/format/webp)
/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
/0/24927/coverorgin.jpg?v=09a6b4ac3c49d9c142eca1406092c220&imageMogr2/format/webp)
/0/3853/coverorgin.jpg?v=b9640e1bc4332274459607b536ffc0db&imageMogr2/format/webp)
/0/23705/coverorgin.jpg?v=20250429185641&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)