Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
“Apa kau yang bernama Giselle?”
Gadis bermanik abu yang tengah membaca buku itu mengangkat kepala, balas menatap pemuda yang berdiri di depannya. Wajahnya sedikit asing. Apalagi ia mengenakan setelan jas formal. Hal yang tak lazim teman-teman kampus-nya kenakan.
“Apa kau yang bernama Giselle?”Dia mengulangi pertanyaan.
Gadis itu menggeleng.
Seolah tak percaya, pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. “Kau yakin?”
“Bisakah kau menyingkir dari hadapanku?”
Eh?
Gadis itu berdecak sebal. “Kau membuatku risih.”
Demi apapun! Belum pernah ada seorang gadis yang berkata seperti itu pada seorang Gavin. Gavin Yuda Adhitama, seorang jenius yang bahkan bisa menjual ribuan produk olahraga se-harga ratusan juta dalam kurun waktu dua minggu.
Jika melupakan bagian prestasi dan kejeniusan pemuda itu, wajah tampan dengan tubuh tinggi yang sempurna lebih dari cukup untuk menggaet wanita manapun yang ia mau. Tapi, gadis di depannya itu sungguh membuat Gavin menghela nafas tak percaya.
Dia jelas berbeda. Jelas ada yang salah pada pengelihatan gadis itu. Pantas saja Malik mau mempertaruhkan uang dengan nominal yang cukup fantastis.
**
Satu hari yang lalu.
Malam kian larut. Namun, tempat itu justru semakin ramai dijejali oleh para manusia yang ingin melepas lelah dengan menenggak minuman beralkohol.
Salah satu dari mereka adalah Gavin. Pemuda itu sudah dua jam duduk di sana. Dia baru saja menghabiskan lima botol vodka sendirian. Kemejanya kusut. Rambutnya berantakan. Pikirannya kacau.
Gavin adalah seorang manajer pemasaran yang andal. Dia bisa menyusun strategi marketing yang apik dan selalu berhasil dalam meningkatkan penjualan hingga memperoleh keuntungan lebih dari dua ratus persen. Berkat kepiawaiannya, pemuda itu berhasil memperoleh kemewahan di usianya yang baru menginjak dua puluh empat tahun.
Apes. Hampir bisa dibilang begitu.
Karena tak sengaja bersenggolan dengan seorang anak dari salah satu Presdir perusahaan ternama, Gavin dengan mudah dan tanpa alasan yang jelas dikeluarkan dari perusahaan. Semua rekan kerjanya tahu akan ketidak-adilan yang Gavin alami, tapi bahkan tidak ada satupun yang berani dan beniat untuk membelanya. Mereka jelas memilih hidup aman dan damai tanpa mau berurusan dengan para anak orang kaya di luaran sana.
“Kau dipecat?” Seruan itu datang dari pemuda yang kini berjalan ke arah Gavin. Dia adalah teman masa kecil pemuda itu.
“Sepertinya beritanya memang cepat menyebar.” Gavin tersenyum kecut. “Kau mau membantuku, kan, temanku?”
Malik mendengus. Dia duduk di depan seseorang yang baru saja menghubunginya setelah lima tahun menghilang tanpa kabar. Dan dengan entengnya dia meminta bantuan?
“Kau pernah lihat aku membantu seseorang?”
Malik mengangkat tangan. Memberikan kode kepada pelayan untuk memberikan gelas dan minuman untuknya.
“Lagian, apa untungnya aku membantumu?” Malik meletakan ke-dua tangannya di atas meja. “Apa yang akan kau berikan padaku sebagai imbalannya?”
Di tengah sisa-sisa kesadaran yang Gavin miliki, pemuda itu mengangkat kepalanya. Mata abu-nya menatap dengan sorot putus asa dan keteguhan secara bersamaan.
“Aku… akan melakukan apapun.” Suara itu terdengar serak. Namun, Malik bisa menangkap dengan jelas nada keyakinan pemuda di depannya itu.
Malik menunduk. Mengusap hidungnya. Dia tidak terlalu suka membantu orang. Ralat. Dia bahkan tidak pernah membantu orang lain apalagi disaat orang yang ia bantu tidak memberikan keuntungan apapun untuknya.
Dering notifikasi masuk terdengar. Ada sebuah pesan baru dari grup kelas.
Giselle: