/0/8366/coverorgin.jpg?v=7f911a9bc8a5fc1b2c82524542a66ba8&imageMogr2/format/webp)
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi merona Sandra. Semua tatapan aneh saat ini terus memandanginya seakan penuh dengan pertanyaan aneh mengenai dirinya. Tatapan paling tajam dimiliki oleh lelaki tampan dengan setelan jas biru dongker sambil memegang gelas berisi anggur berwarna merah.
“Dasar wanita hina! Perusak rumah tangga orang.” Sintia menyirami kepala Sandra dengan minuman alkohol kemudian menjambak rambut dan merobek pakaian perempuan yang dipermalukannya habis-habisan itu.
Sandra hanya diam mematung. Ia tidak kuasa menahan puncak amarah istri dari pria yang tengah memberikannya begitu banyak fasilitas mewah. Sedangkan semua orang ramai bersorak dan ikut mencibir Sandra.
Tidak pernah ia sangka bahwa pesta yang dibuat sesempurna mungkin oleh Hardy menjadi kuburan yang sedang ia gali sendiri.
***
“Pergi cepat!”
“Tapi, Yah …”
“Jangan hiraukan Ayah. Ayah bisa urus semuanya. Kamu pergi jauh dari sini. Jangan sampai Roki menemukanmu. Kamu bisa berjanji akan hal itu, kan?
“Iya aku janji.”
“Cepat pergi. Jangan hubungi Ayah untuk saat ini.”
Sandra berlari ke arah pintu belakang rumahnya. Ia disambut oleh Raya, teman setia yang ia punya.
“Aku udah beli tiket kereta api menuju Jakarta. Ayo cepat naik. Nanti Roki bisa nangkep kamu.”
Sandra segera menaiki sepeda motor milik Raya. Sepeda motor yang mereka tumpangi melaju dengan kencang menembus jalanan menuju stasiun kereta api. Hanya butuh waktu tiga puluh menit menuju stasiun. Sesampai di tujuan, Raya memeluk erat Sandra dan memberikan sebuah amplop berisi uang kepada sahabat karibnya itu.
“Gunakanlah ini selama kamu di Jakarta.”
“Apa ini, Ya?”
“Udah jangan banyak tanya. Cepat naik kereta. Biar kamu aman.” Raya memegangi kedua Pundak Sandra dengan tatapan meyakinkan.
“Aku nggak perlu uang kamu. Kamu lebih membutuhkan ini.” Sandra menyodorkan kembali amplop berwarna coklat tua itu kepada Raya.
Raya menghela napas panjang. “Carilah Ibu kamu, dan kejarlah impian kamu sejak kecil di Ibukota.”
Suara kereta memecah haru perpisahan kedua sahabat sejak kecil ini. Sandra bersiap untuk naik ke kereta api dengan membawa ransel hitam dan memegang amplop pemberian Raya.
Raya menjauh dari Sandra dan melambaikan tangan tanda perpisahan yang membuat keduanya menangis.
***
“Mana gadis itu?” tanya Riko rentenir bengis yang ditakuti Desa Bojongwaru.
“Sudah satu minggu Sandra tidak pulang ke rumah. Aku tidak tahu di mana ia sekarang.”
“Jangan bohong!” bentak Riko
“Aku tidak pernah bohong apalagi dengan mu.” Doddy mencoba meyakinkan Riko dengan mata tajamnya.
“Geledah rumah ini.” Pinta Riko kepada Marko anak buahnya.
“Baik Bos!”
“Kalau sampai aku menemukan anakmu, Sandra. Aku akan segera menjualnya kepada orang kaya raya di sini untuk menebus hutangmu.” Riko mengancam Doddy.
Doddy tertawa mendengar ancaman Riko.
“Kamu anggap aku bercanda. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Kamu piker Sandra tidak akan pulang melihat mayatmu. Jangan main-main kamu, Doddy. Waktu pelunasan hutangmu sudah habis. Bahkan nyawamu saja tidak bisa membayar lunas.” Pukulan demi pukulan dilakukan oleh Riko kepada tubuh tua dan kurus itu.
“TIdak ada apa-apa di sini, Bos.” Sahut Marko.
“Lihat saja. Cepat atau lambat aku atau Sandra sendiri yang datang.” Riko pergi sambil membanting pintu yang sudah kusam dan sedikit berlumut.
/0/3998/coverorgin.jpg?v=20250122110635&imageMogr2/format/webp)