Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Jangan Main-Main Dengan Dia
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
"Halo, Bi. Sepertinya Pak Brata akan datang ke rumah untuk menjemput Viona. Tolong jangan ijinkan Pak Brata membawa Viona dan anakku. Sebentar lagi aku akan pulang."
"Maksudmu, Pak Brata akan membawa istrimu pulang, begitu?"
"Iya. Tolong, jika Pak Brata memaksa untuk membawa Viona dan anakku, tahan dulu, setidaknya sampai aku datang."
"Baiklah. Cepat pulang dan hati-hati di jalan."
Rendra menutup ponselnya. Ia benar-benar takut jika ancaman ibu mertuanya itu benar adanya. Rendra memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, berharap akan cepat sampai ke rumah kakeknya, rumah dimana ia tinggal bersama anak dan istrinya. Jantungnya berdegup kencang. Ia sangat takut kehilangan istri dan anaknya yang baru lahir beberapa bulan yang lalu. Beruntungnya Rendra mendapatkan ijin untuk pulang lebih cepat dari atasannya, sehingga ia bisa segera pulang ke rumah.
Tidak sampai satu jam Rendra akhirnya sampai ke rumah kakeknya. Ia melihat ada mobil hitam terparkir di halaman rumah sang kakek.
'Sepertinya itu mobil ayahnya Viona,' batin Rendra.
Rendra mengambil langkah seribu saat mendengar suara berat dan serak yang sudah dipastikan milik mertua laki-lakinya itu. Bibi Rendra memiilih untuk berdiam diri di dalam kamarnya. Ia tidak mau terlibat dalam urusan rumah tangga keponakannya.
"Kamu harus pulang bersama Papa, Viona! Kemasi barang-barangmu sekarang! Papa tidak rela putri Papa satu-satunya tinggal di rumah yang lebih pantas dikatakan gubug ini!"
Suara bariton milik Brata Mahardika--papa kandung dari Viona-- memenuhi seisi rumah yang tidak terlalu besar itu.
"Tunggu! Apa-apaan ini? Kenapa Papa memaksa Viona untuk ikut bersama Papa?"
Rendra membulatkan matanya tak percaya saat melihat istri tercintanya sedang mengemasi barang-barangnya. Sementara bayinya sedang tertidur pulas di atas kasur. Tidak merasa terganggu sama sekali dengan keributan yang sedang terjadi.
Viona tak bisa berbuat apa-apa lagi, ia segera mengemasi barang-barangnya yang tidak terlalu banyak itu ke dalam kopernya. Matanya menatap wajah laki-laki yang baru satu tahun menjadi imamnya. Kemudian kembali fokus mengemasi barang-barangnya.
Rendra berjalan mendekati istrinya yang sedari tadi mengabaikannya. Ia memegang tangan sang istri, mencoba menghentikan gerakan tangannya yang sedang memasukkan semua pakaiannya dan pakaian bayinya ke dalam koper. "Viona, sayang. Apa yang sedang kamu lakukan, kenapa kamu memasukkan semua pakaianmu dan juga anak kita ke dalam koper?"
Belum juga Viona menjawab pertanyaan Rendra, suara bariton milik Brata lagi-lagi terdengar memenuhi seisi rumah.
"Lepaskan tangan putriku, Rendra! Kamu tidak berhak menyentuhnya! Laki-laki gembel sepertimu tidak pantas untuk menyentuh kulit putriku!"
"Tapi dia istriku, Pa! Papa tidak pantas berbicara seperti itu kepadaku!" Rendra masih berusaha untuk mengontrol emosinya. Karena bagaimanapun pria paruh baya yang ada dihadapannya kini adalah mertuanya. Ia masih menghormatinya.
"Mulai saat ini Viona Putri Mahardika bukan lagi istrimu. Karena dalam waktu dekat, putriku akan menggugat cerai kamu, Rendra. Dan mulai detik ini berhenti memanggilku dengan sebutan 'Papa' karena aku tidak pernah menganggapmu sebagai menantuku!"
Sakit, perih yang dirasakan oleh Rendra saat mertuanya tidak pernah menganggapnya sebagai menantu. Namun selama ini ia tidak pernah memperdulikannya, karena baginya yang terpenting adalah cinta dari sang istri. Selama Viona mau bertahan dengannya, sudah cukup membuatnya bahagia. Apalagi saat kehadiran bayi mungil ditengah-tengah keluarga kecilnya. Menambah kebahagiaan bagi seorang Rendra.