Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Jangan Main-Main Dengan Dia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
BRAK!
Map berisi hasil laporan keuangan dan kerja karyawan bengkel serta tempat cuci mobil milik Awan, ia banting begitu keras di hadapan karyawannya. Awan tak mampu menahan amarahnya. Gaji sudah ia berikan sesuai permintaan, uang makan juga ia tambahkan. Tapi absensi dan keluhan pelanggan begitu tinggi. Ia sudah melakukan evaluasi begitu sering, dalam satu bulan bahkan dua kali ia lakukan.
"Maaf Pak Awan, mereka sepertinya tidak puas karena ada bengkel serupa yang menawarkan gaji mereka lebih besar. Saya tahu dari salah satu karyawan yang cerita ke saya, Pak," ujar wanita muda itu.
"Panggil dia. Saya mau bicara."
"Baik, Pak, Permisi." Pamit wanita itu. Awan kembali duduk di kursi, ruangan kecil itu hanya berisi meja kerja juga kursi dan satu single sofa. Di sanalah Awan bekerja. Membuka usaha bengkel mobil dan cucian mobil sejak empat tahun lalu. Dengan modal bantuan keluarganya, ia mulai dari awal menghidupi diri dan keluarganya.
Ia menjambak rambutnya begitu kuat. Tak tau harus melakukan apalagi, jika ia biarkan, bisa bangkrut mata pencaharian ia satu-satunya.
Pintu ruangan kecil itu terbuka, kepala salah satu montir menyembul ke dalam dengan tubuh masih di luar.
"Pak, apa pergantian lecet body dan cat ulang masih di kover asuransi?" tanya montir itu.
"Masih... masih, kok, kerjain aja," jawab Awan dengan raut begitu kusut.
"Siap, Pak."
Awan menyandarkan tubuhnya di kursi, apa ia harus memberhentikan para pekerja, dan merekrut yang baru? Akan memakan biaya berapa untuk pesangonnya. Kepalanya begitu sakit memikirkan hal itu. Awan terus berpikir keras. Ia merenung, ingatannya mendadak muncul tentang masa lalunya. Bersama wanita luar biasa yang ia lepaskan dengan rasa sakit hati.
Sesak ia rasakan, semenjak mereka berpisah dan semua tingkah buruk Awan terungkap. Kemapanannya pun ikut hancur.
Suara anak kecil tertangkap oleh indra pendengaran Awan. Ia menoleh ke jendela. Anak kecil berusia lima tahun itu sedang menyapa para montir, seragam sekolah TK-nya begitu lucu di kenakan. Bibir Awan melengkung ke atas begitu sempurna. Gadis kecilnya datang. Berjalan ke arah ruangannya dengan tas kecil bergambar minnie mouse, kado darinya saat berulang tahun.
Pintu terbuka. Gadis kecil itu masuk perlahan dan tersenyum. Rambut lurus sepunggung dengan poni tengah, membuatnya tampak gemas.
"Ayah .... " sapanya dengan suara imut.
"Eh, udah pulang sekolah? Di antar siapa? Bi Tini?" tanya Awan sambil menatap putrinya itu yang menganggukkan kepala.
"Di antar sampai depan aja, Yah, Bibi di suruh Eyang putri ke... ke...." gadis kecil itu mencoba mengingatnya, "aku lupa .... " jawabnya sambil tertawa. Ia duduk berhadapan dengan Awan, Ayahnya sang gadis kecil itu satu-satunya miliki. Tanpa seorang ibu.
Manda. Ke mana Manda? Awan pun tak habis pikir dengan wanita itu. Tak lama setelah melahirkan putri mereka, Manda pergi begitu saja. Meninggalkan cincin pernikahan, dan membuat surat pernyataan jika ia ingin bercerai dengan Awan, alasan ekonomi yang membuatnya memilih pergi. Manda tak bisa hidup dengan Awan yang bangkrut, belum lagi karena kedua orang tua dan kedua adik Awan yang terang-terangan membencinya.
Kabar yang beredar, Manda di Paris, entah bekerja atau hidup dengan siapa ia di sana. Awan juga tak peduli lagi.
Bangkrut, cerai lagi, single parent, ia jalani dengan rasa penyesalan mendalam. Kesya-lah menjadi penyemangat barunya. Putrinya tak mungkin ia abaikan. Darah dagingnya bersama wanita ular bernama Manda itu.
"Ayah, udah makan?" tanya Kesya.
"Udah. Kamu mau makan siang apa? Nanti kita beli ya," tatap Awan. Kesya menggeleng. Ia membuka tas sekolahnya, murid kelas TK B itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Tadi, temen Kesya ada yang ulang tahun, semuanya di kasih ini, Yah," Paket happy meal di letakkan Kesya di atas meja. Ia menatap Awan.
"Mainannya punya Kesya ya, Ayah nggak boleh rebut." Tatapan judes ia tunjukan ke arah Awan.
Awan terkekeh, "Pinjem boleh?" ucapnya. Kesya menggelengkan kepala sambil mengarahkan jari telunjuknya ke Awan sambil berkata No. Awan memang begitu, suka menjahili putrinya yang mengumpulkan mainan happy meal.
"Pelit." Ledek Awan. Kesya manggut-manggut.
"Kalau pelit, nanti cepat kaya, Ayah," celetuknya. Awan bersedekap. Memicingkan mata kemudian. Kesya menatap balik Awan.
"Kamu mau jadi orang kaya? Nggak enak tau, Kesya," ujar Awan jujur. Ia jengah menjadi kaya, hanya segelintir orang yang tulus berada di sisinya. Lainnya, pergi, di saat ia hancur. Walau memang ia sendiri yang membuat kehancuran itu datang.
"Mau, kita nanti tinggal di rumah sendiri, yah, nggak bareng Eyang. Kesya mau punya kamar sendiri yang semuanya warna pink." Bocah itu begitu bersemangat, membuat awan tersenyum sambil menyiapkan makanan untuk putrinya.
"Makan sendiri atau Ayah suapin?" tawar Awan.
"Suapin," jawab Kesya diakhiri cengiran.
"Ayah cuci tangan dulu ya, tunggu di sini," pinta Awan. Putrinya mengangguk paham. Lalu kedua mata kecilnya menatap ke sekeliling, ia tersenyum, ada ide yang muncul di kepalanya secara tiba-tiba.
***