icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Duda kesayangan Gladis

Duda kesayangan Gladis

Rianievy

5.0
Komentar
6.6K
Penayangan
43
Bab

Menjadi Duda dengan anak satu bukan takdir indah bagi seorang pria bernama Awan. Kegagalan di dua pernikahan sebelumnya, menjadikannya malas mencari pasangan karena fokus hanya pada putrinya. Hingga ia bertemu Gladis, perempuan dengan masa lalu kelam yang percaya jika rumah tangga yang akan dibina bersama Awan tak akan berakhir pada perceraian. Masalahnya, pria dimasa lalu Gladis muncul dan menjadi momok bagi Awan, tetapi tidak untuk Gladis yang bertekad membuat Awan percaya jika ia menyayangi juga mencintai Awan dan yakin dengan pernikahan mereka. Mampukah Gladis membuat Awan takluk, atau Awan justru kembali memilih bercerai?

Bab 1 Bertemu mantan istri pertama

BRAK!

Map berisi hasil laporan keuangan dan kerja karyawan bengkel serta tempat cuci mobil milik Awan, ia banting begitu keras di hadapan karyawannya. Awan tak mampu menahan amarahnya. Gaji sudah ia berikan sesuai permintaan, uang makan juga ia tambahkan. Tapi absensi dan keluhan pelanggan begitu tinggi. Ia sudah melakukan evaluasi begitu sering, dalam satu bulan bahkan dua kali ia lakukan.

"Maaf Pak Awan, mereka sepertinya tidak puas karena ada bengkel serupa yang menawarkan gaji mereka lebih besar. Saya tahu dari salah satu karyawan yang cerita ke saya, Pak," ujar wanita muda itu.

"Panggil dia. Saya mau bicara."

"Baik, Pak, Permisi." Pamit wanita itu. Awan kembali duduk di kursi, ruangan kecil itu hanya berisi meja kerja juga kursi dan satu single sofa. Di sanalah Awan bekerja. Membuka usaha bengkel mobil dan cucian mobil sejak empat tahun lalu. Dengan modal bantuan keluarganya, ia mulai dari awal menghidupi diri dan keluarganya.

Ia menjambak rambutnya begitu kuat. Tak tau harus melakukan apalagi, jika ia biarkan, bisa bangkrut mata pencaharian ia satu-satunya.

Pintu ruangan kecil itu terbuka, kepala salah satu montir menyembul ke dalam dengan tubuh masih di luar.

"Pak, apa pergantian lecet body dan cat ulang masih di kover asuransi?" tanya montir itu.

"Masih... masih, kok, kerjain aja," jawab Awan dengan raut begitu kusut.

"Siap, Pak."

Awan menyandarkan tubuhnya di kursi, apa ia harus memberhentikan para pekerja, dan merekrut yang baru? Akan memakan biaya berapa untuk pesangonnya. Kepalanya begitu sakit memikirkan hal itu. Awan terus berpikir keras. Ia merenung, ingatannya mendadak muncul tentang masa lalunya. Bersama wanita luar biasa yang ia lepaskan dengan rasa sakit hati.

Sesak ia rasakan, semenjak mereka berpisah dan semua tingkah buruk Awan terungkap. Kemapanannya pun ikut hancur.

Suara anak kecil tertangkap oleh indra pendengaran Awan. Ia menoleh ke jendela. Anak kecil berusia lima tahun itu sedang menyapa para montir, seragam sekolah TK-nya begitu lucu di kenakan. Bibir Awan melengkung ke atas begitu sempurna. Gadis kecilnya datang. Berjalan ke arah ruangannya dengan tas kecil bergambar minnie mouse, kado darinya saat berulang tahun.

Pintu terbuka. Gadis kecil itu masuk perlahan dan tersenyum. Rambut lurus sepunggung dengan poni tengah, membuatnya tampak gemas.

"Ayah .... " sapanya dengan suara imut.

"Eh, udah pulang sekolah? Di antar siapa? Bi Tini?" tanya Awan sambil menatap putrinya itu yang menganggukkan kepala.

"Di antar sampai depan aja, Yah, Bibi di suruh Eyang putri ke... ke...." gadis kecil itu mencoba mengingatnya, "aku lupa .... " jawabnya sambil tertawa. Ia duduk berhadapan dengan Awan, Ayahnya sang gadis kecil itu satu-satunya miliki. Tanpa seorang ibu.

Manda. Ke mana Manda? Awan pun tak habis pikir dengan wanita itu. Tak lama setelah melahirkan putri mereka, Manda pergi begitu saja. Meninggalkan cincin pernikahan, dan membuat surat pernyataan jika ia ingin bercerai dengan Awan, alasan ekonomi yang membuatnya memilih pergi. Manda tak bisa hidup dengan Awan yang bangkrut, belum lagi karena kedua orang tua dan kedua adik Awan yang terang-terangan membencinya.

Kabar yang beredar, Manda di Paris, entah bekerja atau hidup dengan siapa ia di sana. Awan juga tak peduli lagi.

Bangkrut, cerai lagi, single parent, ia jalani dengan rasa penyesalan mendalam. Kesya-lah menjadi penyemangat barunya. Putrinya tak mungkin ia abaikan. Darah dagingnya bersama wanita ular bernama Manda itu.

"Ayah, udah makan?" tanya Kesya.

"Udah. Kamu mau makan siang apa? Nanti kita beli ya," tatap Awan. Kesya menggeleng. Ia membuka tas sekolahnya, murid kelas TK B itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

"Tadi, temen Kesya ada yang ulang tahun, semuanya di kasih ini, Yah," Paket happy meal di letakkan Kesya di atas meja. Ia menatap Awan.

"Mainannya punya Kesya ya, Ayah nggak boleh rebut." Tatapan judes ia tunjukan ke arah Awan.

Awan terkekeh, "Pinjem boleh?" ucapnya. Kesya menggelengkan kepala sambil mengarahkan jari telunjuknya ke Awan sambil berkata No. Awan memang begitu, suka menjahili putrinya yang mengumpulkan mainan happy meal.

"Pelit." Ledek Awan. Kesya manggut-manggut.

"Kalau pelit, nanti cepat kaya, Ayah," celetuknya. Awan bersedekap. Memicingkan mata kemudian. Kesya menatap balik Awan.

"Kamu mau jadi orang kaya? Nggak enak tau, Kesya," ujar Awan jujur. Ia jengah menjadi kaya, hanya segelintir orang yang tulus berada di sisinya. Lainnya, pergi, di saat ia hancur. Walau memang ia sendiri yang membuat kehancuran itu datang.

"Mau, kita nanti tinggal di rumah sendiri, yah, nggak bareng Eyang. Kesya mau punya kamar sendiri yang semuanya warna pink." Bocah itu begitu bersemangat, membuat awan tersenyum sambil menyiapkan makanan untuk putrinya.

"Makan sendiri atau Ayah suapin?" tawar Awan.

"Suapin," jawab Kesya diakhiri cengiran.

"Ayah cuci tangan dulu ya, tunggu di sini," pinta Awan. Putrinya mengangguk paham. Lalu kedua mata kecilnya menatap ke sekeliling, ia tersenyum, ada ide yang muncul di kepalanya secara tiba-tiba.

***

Sampai sore menjelang, Kesya tetap berada di bengkel itu - menemani Ayahnya tentu saja - hingga ia tertidur di sofa ruang kerja yang berukuran kecil itu.

Awan menatap putri kecilnya itu, mendengkus karena Kesya harus menjalani hari-harinya di bengkel itu sejak setahun belakang ini, atau semenjak masuk sekolah TK. Pikiran Awan beralih ke wanita yang telah ia sia-siakan, baik hati dan hidupnya. Kedua matanya terpejam, bagimana dahulu ia begitu dicintai juga diistimewakan olehnya.

Jemari Awan bergerak di atas mouse komputer, mengarahkan ke sosial media miliknya, berupa Instagram. Ia mengetik nama sang mantan istri - Aira. Perpisahannya saat itu, begitu banyak rasa sakit yang tertoreh, membuat dirinya hancur dan tenggelam dalam pusara penyesalan.

Senyuman mengembang, mana kala ia melihat raut wajah cerita Aira pada layar saat ia berfoto dengan perut buncitnya sembari menggandeng anak kecil laki-laki. Bahkan Aira menulis caption,

'My love of my life, my best part.'

Pria itu menyunggingkan senyuman masam, ia sadar, wanita yang dahulu memujanya kini menjadi yang paling membencinya, bahkan, kata maaf mungkin saja akan susah bagi Aira ucapkan dari bibirnya.

Jenari Awan bergeser ke foto lainnya, tampak Galang - suami Aira - mengecup kening wanita itu. Aira tersenyum dengan mata terpejam, seorang anak kecil lelaki ikut mencium tapi di perut Aira. Oh, rupanya mereka sedang melakukan maternity photo shoot. Aira juga menjelaskan jika saat itu ia mengandung adik dari bocah kecil bernama Jevan itu - kehamilan kembar - saat Jevan berusia hampir empat tahun. Kembali Awan tersenyum, mantan istrinya itu tampak begitu bahagia. Galang pasti membuatnya merasa sangat istimewa, berbeda dengan dirinya yang menyakiti juga membohongi Aira.

Kini ia paham, bagaimana rasanya menjadi yang tersakiti. Amanda, yang ia kira cintanya, justru menghancurkan dirinya juga pergi begitu saja, bahkan tak menoleh kepada putrinya - Kesya Cendana - nama yang Awan sematkan kepada malaikat kecilnya yang sedang tertidur di sofa.

Hatinya begitu sakit, melihat kenyataan bahwa dunia sedang menghukum ia atas kesalahan di masa lalu. Bagusnya ada Kesya, jadi Awan tak perlu menjadi gila atau memutuskan menghilang dari dunia.

"Permisi, Pak, ada yang mau taruh mobil, masih bisa?" ucap karyawan bagian pendaftaran.

"Mau apa? Kalau service biasa masih bisa, kita tutup jam enam aja, tapi kalau lebih dari itu, suruh balik lagi besok atau tinggal mobilnya."

"Katanya sih, mau tune up, cek kampas rem, sama service maticnya, Pak?"

"Oh, saya temuin deh, kamu di sini aja, jaga Kesya takut bangun tidur kaget nggak ada orang di ruangan ini," pinta Awan. Karyawannya mengangguk.

Pria itu berjalan menemui pelanggan, para pekerja lain masih sibuk memegang mobil yang masih di kerjakan.

"Sore, Mas," sapa Awan. Pemuda itu menoleh, lalu berjabat tangan dengan Awan.

"Sore, di sini bisa service matic, kan? Saya nggak buru-buru, kok, yang penting bisa enak lagi nanti pas saya ambil." Pemuda yang dari tampilannya menunjukan jika ia mahasiswa, menyerahkan kunci mobil ke Awan.

"Saya cek dulu, mobilnya. Di mana?" Awan celingukan.

"Ada di depan, saya belum masukin ke sini karena nggak tau taruh di mana. Ramai bengkelnya ya, Mas," ucap pemuda itu.

"Ya, lumayan, lah. Baru balik kuliah?"

"Iya, tadi pas di jalan baru inget kalau mau cek mobil. Tolong di bikin enak lagi ya, Mas, mobil kesayangan." Kekehan itu membuat Awan paham, ia juga akan begitu, dan pernah ada di posisi pemuda itu.

"Wow ... All New Corolla 2002. Klasik, pantes aja kesayangan. Mobil saya waktu sekolah dulu juga, ini nanti saya sama senior montir, deh, yang pegang." Awan semangat. Pemuda itu tak kalah girang.

"Siap, Mas. Nggak buru-buru, kok, tolong ya." Lanjutnya. Awan mengangguk, ia lalu menyalakan mesin mobil sambil duduk di balik kemudi.

Ia tersenyum, kenangan saat ia remaja dulu dengan menggunakan mobil itu kembali muncul. Pedal gas ia injak, lalu mengecek transmisi maticnya dengan serius. Ia langsung paham di mana kelemahannya.

"Mas, saya Daru, anda dengan..." tunjuk pemuda itu.

"Saya Awan, pemilik bengkel ini." Lanjutnya. "Nggak buru-buru, kan, biar maksimal di kerjain." Awan memastikan. Daru mengangguk.

Mereka keluar dari dalam mobil. Awan berjalan ke meja pendaftaran, memasukan data mobil dan apa saja yang perlu di kerjakan ke sistem di komputernya.

"Balik naik apa? Ojol?" tanya Awan seraya menyerahkan kertas lampiran pendaftaran.

"Di jemput. Kebetulan orangnya lagi di daerah sini juga. Ini perlu DP atau apa gitu, Mas?" Pemuda itu memasukan kertas ke dalam tas ranselnya.

"Nggak lah, kayak apaan aja. Oke, makasih udah percayain taruh mobil kamu di bengkel ini ya. Kalau ada apa-apa saya hubungin, ke nomor ini, kan?" Tunjuk Awan ke kertas yang ia pegang. Daru mengangguk.

"Saya balik, Mas, makasih ya. Permisi," pamit Daru. Awan mengangguk lalu berjalan menghampiri mobil Daru. Ia menatap mobil warna hitam itu. Keceh juga nih, mobil. Everlasting juga desainnya. Awan bermonolog.

"Mas Awan?" suara seseorang membuatnya mematung di tempat. Jantungnya berdebar hebat. Perlahan ia berbalik badan, tatapan keduanya bertemu, bahkan Awan segera mengarah ke perut buncit itu.

"Aira...." ucapnya lirih.

Bersambung,

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Rianievy

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku