Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
“Selamat ya nak. Akhirnya wisuda juga,” ungkap Ibu dan Bapak menghampiriku.
Kami berpelukan dengan sumringah, aku terharu dalam pelukan itu. Kemudian kami mengadakan sesi foto bersama di halaman depan universitas. Lelaki berkacamata yang memberikan jasa fotografi pun sudah siap dengan kamera dilengannya.
“Cissss,” ujar lelaki berkacamata.
“Cissss,” Kami bertiga mengikuti arahannya.
Momen bahagia pada saat itu, sudah aku abadikan didalam potret dan tergantung pada dinding rumah yanng kokoh.
“Hey, malah bengong, ayo bantu ibu sama bapak beres-beres disana,” Ibu menepuk pundaku.
Aku kaget. Seketika khayalan yang kunikmati saat itu buyar. Aku tersadar dari khayalan, mataku sedang melihat foto wisuda yang tergantung di dinding.
“Ayo cepat, bapak udah nungguin disana,” Ibu menegur kembali.
“Iya bu,” Jawabku ketus.
Kemudian aku mengambil wadah berbentuk kotak yang berisi barang-barang yang sudah disiapkan oleh bapak di meja dan kemudian membawanya pergi bersama ibu ke tempat bapak berada.
***
Rino Rahman, sebuah nama yang diberikan oleh Bapak dan ibu kepadaku, saat aku masih kecil. Aku adalah satu-satunya anak yang tuhan titipkan pada mereka berdua. Karena itulah, mereka sangat berharap terhadap kesuksesanku di masa mendatang terjadi. Segala cara telah mereka lakukan untuk membiayaiku sekolah sampai aku lulus sarjana. Keluargaku mengelola restoran kecil yang khusus menyediakan bubur ayam, yang didirikan saat aku berumur 4 tahun. Bubur ayam kita, adalah nama restoran kecil tersebut, bertempat di sisi kanan rumah kami. Pelanggan kami sudah lumayan banyak karena mungkin sudah terkenal dari dulu.
***
Sesampainya kami berdua di restoran kecil keluargaku, aku langsung meletakan barang yang kubawa ke lantai.
“Ini barangnya pak,” Kataku setelah meletakan wadah berbentuk kotak itu.
“Oh iya,” Balas bapak mengangguk.
“Coba bapak cek dulu,” ucap bapak menghampiri wadah berbentuk kotak itu.
Kemudian bapak mengecek dan mengeluarkan barang-barang tersebut dari dalam wadah. Dia merasa ada barang yang belum terbawa.
“Sendok sama garpu mana?” Tanya bapak mencari-cari.
“Mungkin bapak lupa memasukannya kedalam wadah,” Jawabku melihat barang-barang yang sudah dikeluarkan oleh bapak.
“Tidak mungkin nak. Bapak ingat, sudah bapak masukan kedalam wadah satu lusin sendok dan garpu,” Tegas bapak sambil mencarinya.
“Ini ada sama ibu pa,” ucap ibu dengan santainya.
Aku dan bapak langsung melihat ke arah ibu dan terdiam.
“Kenapa? Kok pada diam?” Tanya ibu melihat kami berdua yang terdiam melihatnya.
“Aduh bu, kenapa enggak bilang dari tadi kalau sendok sama garpunya ibu yang bawa,” Kataku membalas pertanyaan ibu.
“Ya kan tadi kamu sama bapak enggak nanya ibu no,” Jawab ibu.
“Yang seperti itumah langsung aja kasih tau bu, tidak perlu nunggu ada yang nanya sama ibu dulu,” Aku membalas perkataan ibu dengan wajah yang sedikit kesal.
“Jadinya kan, waktu kita terbuang cuma-cuma,” Sambungku mengeluh.
“Sudah, sudah,” ucap bapak sambil membereskan barang-barang.
Setelah kami berdua membereskan barang-barang yang diacak-acak oleh bapak. Kemudian aku dan bapak menata barang-barang yang dibawa tadi pada tempat yang seharusnya dan ibu mengambil bubur dan bahan-bahan lainnya kembali ke rumah.
Restoran kecil bubur ayam kami, kembali di buka setelah 3 hari tutup karena adanya acara wisuda, ibu dan bapak pergi untuk ikut berpartisipasi mengikutinya dengan dibarengi tujuan lainnya yaitu melihat anak tunggalnya memakai toga. Tentu saja bapak dan ibu tidak akan melewatkan acara yang bersejarah itu begitu saja. Anak tunggalnya menjadi yang pertama di keluarganya yang mendapatkan gelar sarjana.
Sekejap, hawa dingin tiba-tiba menyengat, membuat tubuhku sampai berlari kedinginan kedalam rumah. Aku kembali ke restoran kecil dengan mengenakan jaket hoodie berwarna biru. Aku juga membawa jaket untuk bapak.
“Pak, ini pakai dulu,” ucapku sambil menyodorkan jaket.
“Haturnuhun,” balas bapak berterimakasih.
“Sudah beberapa hari ini cuacanya kok begini terus ya pak?” Tanyaku menyilangkan tangan kedinginan.
“Apa kamu kedinginan?” Bapak bertanya balik.
“Tiii..tidak,” Jawabku gugup tersenyum.
“Lalu kenapa kamu menyilangkan tanganmu seperti itu?” Tanya bapak kembali.
Aku hanya terdiam dan membalasnya dengan senyuman.
“Awas, awas, awas, awas,” teriak ibu yang berjalan sambil membawa panci yang berisikan bubur didalamnya.
Kemudian ibu meletakan panci itu pada tempatnya dan menyuruhku untuk memgambil bumbu yang sudah disiapkannya di rumah.
“No, ambil bumbunya di rumah,” ucap ibu.
“Iya bu,” Jawabku mengangguk.
Lalu aku langsung bergegas mengambilnya, meninggalkan ibu dan bapak di tempat itu.
“Sudah beberapa hari ini cuacanya kok begini terus ya pak?” Ibu tiba-tiba bertanya.
“Hah,” Bapak kaget mendengar pertanyaan yang diajukan ibu.
“Aku tadi tanya sama bapak, sudah beberapa hari ini cuacanya kok begini terus? Begitu,” Ibu menjelaskannya.
“Deja vu,” bapak membalasnya dengan pelan dan singkat.
“De..de..de apa?” Ibu kembali menanyakannya dengan penasaran.
Sementara itu aku sudah kembali dengan membawa wadah yang berisikan bumbu.
“Ini bumbunya bu,” ungkapku yang membuyarkan rasa penasaran ibu pada perkataan bapak.
“Eh,” ucap ibu terkaget.