Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
REY
Malam yang larut begitu gelap dan sunyi, angin sepoi-sepoi berhembus membuat bulu kudukku berdiri. Dalam kegelapan malam aku berjalan sendiri. Langkah demi langkah aku menelusuri lorong sempit yang tidak ada seorang pun yang lewat. Semakin aku melangkah, suara gema langkahku terdengar sangat mengerikan. Sesekali terdengar suara dua ekor kucing yang sedang berantem. Hal sekonyol ini saja membuat aku terkejut hingga jantung ku berdebar sangat kencang sekali. Tapi aku akan tetap melangkah ke depan. Ada hal yang lebih penting dari pada rasa takutku ini.
Saat berjalan menyusuri lorong yang remang-remang ke kantor ayah ku yang tidak jauh dari rumahku, aku berhenti tepat di luar pintu. Memperhatikan dia melepas kacamata dan menggosok matanya. Aku benci mengganggunya, tapi aku benar-benar membutuhkan tanda tangan untuk karyawisata besok sebagai bukti aku mendapatkan izin, dan aku tidak bisa pergi ke ibuku karena aku tahu dia akan marah. Dia selalu panik tentang sesuatu akhir-akhir ini. Aku menarik formulir yangterlipat dari saku belakangku. Aku melangkah melalui pintu lalu berhenti, merasakan perutku mual dan kesal ketika aku melihat ibuku tertidur di sofa di bawah jendela di belakang pintu.
"Ada apa, Sayang?"
Aku Menarik mataku dari ibuku, lalu aku melihat ayah dan mundur selangkah.
Dia tertidur. “Tidak apa-apa." Katanya lembut mengamatiku.
"Kita bisa kembali?" bisikku, mengalihkan pandanganku ke ibuku untuk memastikan dia tidak bangun ketika aku berbicara.
"Ayah memberinya pil tidur. Ayo kita keluar sebentar." Katanya lembut, dan aku mengepalkan tangan, menghancurkan kertas di genggaman ku. Sungguh menyebalkan bahwa aku takut pada ibuku sendiri.
Aku menggigit bibir, lalu aku menarik pandanganku dari Ibu yang tidur di sofa dan bergerak cepat ke sisi meja ayahku. Dia membuka kertas formulir tersebut, meletakkannya di atas tumpukan dokumen yang ada di depannya.
"Kita ada karyawisata besok dan aku perlu ini ditandatangani," kataku pelan, mengalihkan pandanganku ke ibuku sekali lagi saat rasa takut membuat tanganku gemetar.
"Kemana kalian pergi?" tanya ayahku, membuka salah satu pena mewahnya, salah satu dari sedikit yang diberikan Nenek hadiah ulang tahun. Satu dari seratus yang dia miliki karena dia selalu membelikan nya pulpen, dengan cara yang sama dia selalu membelikan ku kaos singlet. Hadiah nya payah, tapi dia tidak pernah gagal untuk membawakan kue bronis coklat dengan taburan keju di atasnya yang dia panggang sendiri. Yang membuat hadiah nya yang payah itu sepadan ketika dia datang berkunjung.
"Hemm… beberapa museum," Jawabku pada ayah, sambil menggigit bibirku lagi lalu merasakan jantungku berhenti saat ibuku mengerang dan berguling di sofa menghadap ke belakang.
"Terdengar menyenangkan." Dia terkekeh. Aku berharap bisa tertawa bersamanya, tetapi aku tidak bisa bernapas saat menunggu dengan cemas sampai ayah menandatangani surat itu sehingga saya bisa pergi. "Apakah kamu mendapatkan sesuatu untuk dimakan?" Ayah bertanya, meletakkan pulpen di atas kertas.
"Ya." Seruku berbohong. Ketika aku turun dari bus sekolah, aku langsung ke kamar mengerjakan pekerjaan rumah dan tetap di sana sampai sekarang, karena aku tidak ingin secara tidak sengaja bertemu dengan ibu yang aku tahu ada di rumah karena mobilnya diparkir di depan , setengahnya di jalan setapak dan setengah lagi di rumput, seperti dia sedang terburu-buru ketika dia berhenti.