Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Skandal Ivana
5.0
Komentar
262
Penayangan
10
Bab

Rey adalah seorang pria yang sangat bangga dengan kemampuan yang dimilikinya untuk memisahkan diri dari emosinya. Dia merupakan seorang pria yang tidak membutuhkan siapa pun di dunia ini, karena itu merupakan sebuah kelemahan. Masa lalu telah mengajarinya kalau cinta tidaklah cukup. Ivana selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Tetapi dia tidak pernah memilih pria yang tepat dan selalu tidak bertahan lama. Selalu memutuskan lebih awal sebelum emosi membuat segalanya menjadi berantakan. Ketika Ivana terbangun dalam keadaan tidak berpakaian di tempat tidur Rey tanpa mengingat kejadian sewaktu malam sebelumnya, keduanya harus jujur ​​tentang perasaan mereka dan menghadapi ketakutan yang sangat luar biasa, sehingga mereka dapat membangun masa depan bersama. Akankah cinta bisa cukup bagi mereka untuk mendapatkan akhir yang bahagia, atau akankah ancaman dari luar menjatuhkan mereka sebelum mereka memiliki kesempatan untuk tetap bersama?

Bab 1 MENDAPATKAN APA YANG DIINGINKAN

REY

Malam yang larut begitu gelap dan sunyi, angin sepoi-sepoi berhembus membuat bulu kudukku berdiri. Dalam kegelapan malam aku berjalan sendiri. Langkah demi langkah aku menelusuri lorong sempit yang tidak ada seorang pun yang lewat. Semakin aku melangkah, suara gema langkahku terdengar sangat mengerikan. Sesekali terdengar suara dua ekor kucing yang sedang berantem. Hal sekonyol ini saja membuat aku terkejut hingga jantung ku berdebar sangat kencang sekali. Tapi aku akan tetap melangkah ke depan. Ada hal yang lebih penting dari pada rasa takutku ini.

Saat berjalan menyusuri lorong yang remang-remang ke kantor ayah ku yang tidak jauh dari rumahku, aku berhenti tepat di luar pintu. Memperhatikan dia melepas kacamata dan menggosok matanya. Aku benci mengganggunya, tapi aku benar-benar membutuhkan tanda tangan untuk karyawisata besok sebagai bukti aku mendapatkan izin, dan aku tidak bisa pergi ke ibuku karena aku tahu dia akan marah. Dia selalu panik tentang sesuatu akhir-akhir ini. Aku menarik formulir yangterlipat dari saku belakangku. Aku melangkah melalui pintu lalu berhenti, merasakan perutku mual dan kesal ketika aku melihat ibuku tertidur di sofa di bawah jendela di belakang pintu.

"Ada apa, Sayang?"

Aku Menarik mataku dari ibuku, lalu aku melihat ayah dan mundur selangkah.

Dia tertidur. "Tidak apa-apa." Katanya lembut mengamatiku.

"Kita bisa kembali?" bisikku, mengalihkan pandanganku ke ibuku untuk memastikan dia tidak bangun ketika aku berbicara.

"Ayah memberinya pil tidur. Ayo kita keluar sebentar." Katanya lembut, dan aku mengepalkan tangan, menghancurkan kertas di genggaman ku. Sungguh menyebalkan bahwa aku takut pada ibuku sendiri.

Aku menggigit bibir, lalu aku menarik pandanganku dari Ibu yang tidur di sofa dan bergerak cepat ke sisi meja ayahku. Dia membuka kertas formulir tersebut, meletakkannya di atas tumpukan dokumen yang ada di depannya.

"Kita ada karyawisata besok dan aku perlu ini ditandatangani," kataku pelan, mengalihkan pandanganku ke ibuku sekali lagi saat rasa takut membuat tanganku gemetar.

"Kemana kalian pergi?" tanya ayahku, membuka salah satu pena mewahnya, salah satu dari sedikit yang diberikan Nenek hadiah ulang tahun. Satu dari seratus yang dia miliki karena dia selalu membelikan nya pulpen, dengan cara yang sama dia selalu membelikan ku kaos singlet. Hadiah nya payah, tapi dia tidak pernah gagal untuk membawakan kue bronis coklat dengan taburan keju di atasnya yang dia panggang sendiri. Yang membuat hadiah nya yang payah itu sepadan ketika dia datang berkunjung.

"Hemm... beberapa museum," Jawabku pada ayah, sambil menggigit bibirku lagi lalu merasakan jantungku berhenti saat ibuku mengerang dan berguling di sofa menghadap ke belakang.

"Terdengar menyenangkan." Dia terkekeh. Aku berharap bisa tertawa bersamanya, tetapi aku tidak bisa bernapas saat menunggu dengan cemas sampai ayah menandatangani surat itu sehingga saya bisa pergi. "Apakah kamu mendapatkan sesuatu untuk dimakan?" Ayah bertanya, meletakkan pulpen di atas kertas.

"Ya." Seruku berbohong. Ketika aku turun dari bus sekolah, aku langsung ke kamar mengerjakan pekerjaan rumah dan tetap di sana sampai sekarang, karena aku tidak ingin secara tidak sengaja bertemu dengan ibu yang aku tahu ada di rumah karena mobilnya diparkir di depan , setengahnya di jalan setapak dan setengah lagi di rumput, seperti dia sedang terburu-buru ketika dia berhenti.

"Aku tahu segalanya tidak mudah Rain, tapi aku berjanji akan menjadi lebih baik," kata ayahku, dan mataku menatapnya. Aku berharap dia mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku tahu dia berbohong. Tidak peduli berapa kali ibuku datang ke sekolah dan mempermalukan ku, atau berapa kali polisi datang ke sini saat dia ketakutan, dia tetap bersikap seperti tidak ada yang salah. Dia selalu mengatakan segalanya akan menjadi lebih baik, tetapi mereka tentu saja tidak pernah melakukannya.

"Aku tahu." Aku berbaring, melihat matanya berkedip karena sesuatu sebelum jatuh ke kertas dan menuliskan namanya di bagian bawah.

"Apakah kamu butuh uang untuk besok?" Ayahku bertanya, bergeser ke samping lalu memasukkan tangannya ke dalam sakunya dan mengeluarkan segepok besar uang sebelum aku bisa mengatakan ya atau tidak. "Kamu mungkin ingin membeli suvenir atau makan," Serunya, menarik dua puluh dua dari gumpalan itu, membungkusnya di formulir izin, dan menyerahkannya kembali padaku.

"Terima kasih." Seruku

"Pergilah tidur. Aku akan mengantarmu ke sekolah pagi hari agar kamu bisa tidur." Sahut Ayahku.

"Aku bisa naik bus." Seruku bergegas keluar. Tahu tidak, aku harus menemui ibuku di pagi hari dan sekarang aku melakukan segala cara untuk menghindari agar tidak bertemu dengannya.

"Kita perlu membicarakan sesuatu, jadi aku akan mengantarmu." Seru Ayahku

Aku berhenti sejenak dan bermenung seperti melamunkan sesuatu. Dari tadi ayahku terlihat lembut dan berusaha untuk tetap tenang. "Tentu." Aku setuju saat tangannya naik ke bahuku, meremasnya sebelum melepaskan ku.

"Selamat malam, Sayang." Seru Ayahku.

"Malam." Sahutku bergegas keluar dari kantornya dan menyusuri lorong menuju rumah. Aku membuka kertas itu, membawa Uang kertas sebanyak dua puluh dua lembar uang lima puluh ribuan ke meja ku. Lalu membuka laci atas, aku menambahkan nya ke tumpukan uang yang ku miliki. Ayah selalu memberi aku uang, apakah aku menginginkannya atau tidak. Aku pikir dia menggunakannya sebagai cara untuk tidak merasa bersalah atas betapa buruknya hal-hal akhir-akhir ini.

Awalnya aku pikir itu keren, karena aku bisa mendapatkan apa pun yang aku inginkan. Tetapi tidak sekarang. Sekarang, aku membencinya. Aku Menutup laci, dan beralih ke tas ransel ku dan memasukkan formulir izin ke dalam salah satu kantong pada ransel tersebut, lalu menggali ke bagian bawah tas sampai aku menemukan permen yang dibeli dari mesin penjual otomatis di sekolah. Aku menutupinya, membenci dadaku yang sakit saat aku mengingat saat-saat kami biasa makan malam seperti keluarga normal.

Aku sangat benci sekali jika mengingat hal-hal harmonis keluargaku dulu. Saat kami pergi liburan, saat kami bermain bersama, makan bersama, bahkan tidur bersama. Semua hal itu selalu saja membuat pikiranku menjadi tak tenang. Mungkinkah aku ini rindu dengan suasana itu, atau bahkan aku sangat benci sekali. Saat mengingatnya saja aku menjadi kesal sendiri. Kalau saja bukan karena formulir izin yang harus di tanda tanganinya, aku tidak bakalan mau bertemu dengannya. Bahkan melihat bayangannya saja aku tidak mau.

Apalagi dengan ibuku, melihatnya saja aku begitu takut. Bahkan saat dia tertidur sangat pulas tadi di sofa. Badanku terasa gemetar saat berhadapan dengannya. Ini memang tidak normal, dengan ibuku sendiri, aku malah takut. Tapi itu semua bukan tidak ada alasan. Kenapa aku membenci mereka berdua. Padahal dulu kami sangat dekat dan begitu harmonis.

Aku pun ingat setiap kali bangun pagi dan ibuku menyiapkan sarapan untuk kami. Sedangkan aku dengan ayah sering mandi bareng. Aku ingat saat dia menggosok punggungku sampai bersih. Membantuku merapikan pakaian seragam sekolahku. Mengingat hal itu aku semakin kesal dan penuh kebencian. Saat ini, detik ini juga aku akan berusaha membuang kenangan-kenangan yang tidak penting itu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku