Bagi orang di sekitarnya, Lara adalah gadis yang ceria, mandiri, dan selalu penuh semangat. Senyumnya yang lebar membuat siapa pun merasa hangat. Namun, tidak bagi Ardan Pradipta, seorang pilot tampan yang selalu terlihat dingin dan angkuh. Dia sangat membenci Lara, hanya karena senyumnya yang membuatnya mengingat sesuatu yang menyakitkan. Ardan merasa terganggu dengan kebahagiaan Lara yang seolah tak pernah ada ujungnya, sementara hidupnya penuh dengan luka dan kepahitan. Keangkuhan Ardan semakin nyata ketika mereka harus terjebak bersama dalam sebuah insiden yang membawa mereka ke sebuah pulau terpencil. Di sana, kebencian itu mulai luntur, digantikan oleh daya tarik yang tak bisa mereka hindari. Namun, di balik itu semua, ada seseorang yang menunggu Ardan di rumah-tunangan yang setia menanti kepulangannya. Akankah hubungan ini bisa bertahan, atau hanya akan menjadi sebuah skandal yang terpendam?
Lara mematut diri di depan cermin kecil di ruang ganti staf maskapai. Seragam pramugari berwarna biru tua yang ia kenakan terlihat rapi, membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang hitam legam disanggul sederhana, menyisakan beberapa helaian kecil yang membingkai wajah ovalnya. Senyumnya, seperti biasa, terpampang lebar di wajahnya-senyum yang menjadi ciri khasnya.
"Lara, senyummu itu seperti obat penenang," ucap Nadine, salah satu pramugari senior yang bekerja bersamanya. "Jangan terlalu sering senyum seperti itu, nanti pilotnya jatuh cinta, lho."
Lara tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus hati-hati. Jangan sampai ada yang salah paham."
Namun, di balik tawa itu, Lara menyimpan sesuatu. Tidak semua orang tahu bahwa senyumnya yang menawan itu adalah tameng. Dia sudah terbiasa menghadapi hidup dengan optimisme palsu. Lara tahu bahwa hidup ini penuh dengan badai, tetapi dia selalu memilih untuk terlihat kuat. Itu caranya bertahan.
Hari itu, Lara bertugas di penerbangan Jakarta–Labuan Bajo. Rutenya cukup singkat, hanya sekitar dua jam lebih, namun rekan-rekannya sudah mengingatkan bahwa kapten yang akan memimpin penerbangan ini adalah Ardan Pradipta-seorang pilot yang terkenal karena sikap dinginnya.
"Ardan itu seperti tembok es," gumam Nadine dengan nada setengah bercanda. "Aku yakin dia hanya tahu tiga kalimat: 'Jangan ganggu saya', 'Lakukan pekerjaanmu', dan 'Diam'."
Lara hanya tersenyum mendengarnya. Dia bukan tipe orang yang mudah terganggu oleh sikap orang lain. Baginya, setiap orang punya alasan di balik sikapnya.
Ardan Pradipta memasuki ruang brifing dengan langkah mantap, tubuh tingginya menjulang di antara para kru. Seragam pilot yang ia kenakan terlihat sempurna tanpa cela. Wajahnya tampan, tetapi tatapan matanya dingin, seperti jurang yang dalam dan gelap. Semua orang di ruangan itu segera menghentikan percakapan mereka saat ia masuk, seolah-olah keberadaannya membawa aura yang memaksa semua orang untuk tunduk.
Lara memperhatikan Ardan dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Bukan hanya sikapnya yang membuat orang lain merasa kecil, tetapi juga cara dia membawa dirinya sendiri, seolah dia sedang memikul dunia di bahunya.
"Kapten," sapa Nadine dengan sopan, mencoba mencairkan suasana.
Ardan hanya mengangguk singkat, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya melintas ke seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Lara. Dia menatapnya dengan tajam, membuat Lara sedikit bergeser di tempatnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah Ardan sedang menghakiminya.
"Pramugari baru?" tanyanya dingin, suaranya berat dan rendah.
Lara mencoba tetap tenang. "Saya Lara, Kapten. Sudah hampir enam bulan bekerja di maskapai ini."
"Hmm," gumam Ardan tanpa ekspresi. "Lakukan tugasmu dengan benar. Jangan jadi beban."
Kalimat itu menusuk Lara, tapi dia menelan rasa kesalnya. Dia tahu pria seperti Ardan tidak akan peduli dengan apa yang dia rasakan. Baginya, yang penting adalah profesionalisme. Namun, Lara tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya mengapa pria itu terlihat begitu penuh kebencian.
Penerbangan dimulai dengan lancar. Lara bekerja dengan efisiensi yang tinggi, melayani penumpang dengan senyum khasnya. Setiap kali dia berjalan melewati kokpit, dia merasa tatapan Ardan mengikuti gerakannya. Namun, pria itu tidak pernah mengatakan apa-apa, hanya sesekali memberikan instruksi singkat melalui interkom.
Di tengah penerbangan, cuaca mulai memburuk. Awan gelap menyelimuti langit, dan turbulensi mulai mengguncang pesawat. Penumpang mulai gelisah, beberapa dari mereka bahkan berdoa dengan suara pelan. Lara berjalan ke lorong, menenangkan para penumpang dengan suara lembutnya.
"Tenang saja, semuanya. Ini hanya turbulensi ringan. Kapten kami adalah pilot yang sangat berpengalaman, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya, mencoba memberikan rasa aman.
Namun, di dalam kokpit, situasinya jauh dari tenang. Ardan berkonsentrasi penuh pada instrumen di depannya, sementara co-pilotnya, Rizky, terlihat sedikit tegang.
"Mesinnya bermasalah," kata Rizky dengan nada cemas. "Kita harus mendarat darurat."
Ardan mengangguk. "Cari landasan terdekat."
"Tapi-tidak ada landasan di sekitar sini, Kapten. Satu-satunya opsi adalah laut atau pulau kecil itu."
Ardan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. "Baik. Kita arahkan ke pulau itu."
Pesawat akhirnya berhasil mendarat darurat di sebuah pulau terpencil. Semua penumpang selamat, tetapi komunikasi dengan dunia luar terputus total. Lara membantu para penumpang keluar dari pesawat, memastikan semuanya baik-baik saja. Di saat yang sama, Ardan berdiri sedikit menjauh, memandang pesawat yang rusak dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Kita harus menunggu bantuan datang," kata Lara, mendekati Ardan dengan hati-hati. "Aku yakin tim SAR akan segera menemuk-"
"Apa kamu selalu seperti ini?" potong Ardan tiba-tiba, suaranya tajam. "Selalu mencoba terlihat ceria, seolah-olah semuanya baik-baik saja?"
Lara terkejut. "Aku hanya berusaha membantu semua orang untuk tetap tenang."
Ardan menatapnya dengan mata yang penuh kebencian. "Senyummu itu... membuatku muak."
Hati Lara mencelos. "Kenapa kamu begitu membenciku? Aku bahkan tidak mengenalmu."
"Karena kamu mengingatkanku pada seseorang," jawab Ardan, suaranya tiba-tiba melembut, tetapi tetap penuh kepahitan. "Seseorang yang aku ingin lupakan, tapi tidak bisa."
Lara tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa berdiri di sana, merasa kecil di bawah tatapan tajam Ardan. Di balik rasa sakit itu, dia melihat sesuatu yang lain-luka yang begitu dalam, tersembunyi di balik tembok es yang Ardan bangun di sekelilingnya.
Malam itu, setelah semua penumpang tertidur, Lara duduk di tepi pantai, memandang bintang-bintang yang bersinar redup di langit. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Namun, pikirannya penuh dengan kebingungan.
"Kenapa kamu di sini?" suara Ardan tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
Lara menoleh dan melihat pria itu berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang berbeda.
"Aku hanya butuh waktu untuk berpikir," jawab Lara pelan. "Kenapa kamu selalu bersikap seperti itu padaku, Ardan? Aku tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakitimu."
Ardan terdiam, menatap laut sejenak sebelum akhirnya duduk di sebelah Lara. Untuk pertama kalinya, dia terlihat sedikit rapuh. "Karena senyummu itu... mengingatkan aku pada tunanganku."
"Tunanganku," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, "meninggalkanku setahun yang lalu. Dia mencampakkanku untuk pria lain, tapi sebelum itu, dia selalu tersenyum seperti kamu. Senyumnya adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum dia menghancurkan hatiku."
Lara merasa hatinya berat mendengar pengakuan itu. Dia menyadari bahwa di balik keangkuhan Ardan, ada seorang pria yang terluka parah. Namun, dia juga tahu bahwa mereka berdua sekarang berada di jalan yang sama-sama berbahaya.
"Aku bukan dia, Ardan," kata Lara lembut. "Aku tidak akan menyakitimu."
Ardan menatapnya lama, seolah-olah mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. Tapi di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lain-sesuatu yang membuat Lara merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lara merasakan bahwa kebencian dan gairah bisa berjalan berdampingan, membakar keduanya di bawah langit yang retak.
(Bersambung)
Bab ini bisa dikembangkan lebih panjang dengan memperdalam dialog, deskripsi, dan konflik emosional di antara karakter jika diinginkan. Apakah perlu lebih mendetail atau langsung ke bagian tertentu?Tentu, berikut adalah versi bab pertama yang lebih panjang dan penuh dengan emosi, mendalami konflik dan suasana hati kedua tokoh utama.
---
### **Bab 1: Langit yang Retak**
Lara mematut diri di depan cermin kecil di ruang ganti staf maskapai. Seragam pramugari berwarna biru tua yang ia kenakan terlihat rapi, membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang hitam legam disanggul sederhana, menyisakan beberapa helaian kecil yang membingkai wajah ovalnya. Senyumnya, seperti biasa, terpampang lebar di wajahnya-senyum yang menjadi ciri khasnya.
"Lara, senyummu itu seperti obat penenang," ucap Nadine, salah satu pramugari senior yang bekerja bersamanya. "Jangan terlalu sering senyum seperti itu, nanti pilotnya jatuh cinta, lho."
Lara tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus hati-hati. Jangan sampai ada yang salah paham."
Namun, di balik tawa itu, Lara menyimpan sesuatu. Tidak semua orang tahu bahwa senyumnya yang menawan itu adalah tameng. Dia sudah terbiasa menghadapi hidup dengan optimisme palsu. Lara tahu bahwa hidup ini penuh dengan badai, tetapi dia selalu memilih untuk terlihat kuat. Itu caranya bertahan.
Hari itu, Lara bertugas di penerbangan Jakarta–Labuan Bajo. Rutenya cukup singkat, hanya sekitar dua jam lebih, namun rekan-rekannya sudah mengingatkan bahwa kapten yang akan memimpin penerbangan ini adalah Ardan Pradipta-seorang pilot yang terkenal karena sikap dinginnya.
"Ardan itu seperti tembok es," gumam Nadine dengan nada setengah bercanda. "Aku yakin dia hanya tahu tiga kalimat: 'Jangan ganggu saya', 'Lakukan pekerjaanmu', dan 'Diam'."
Lara hanya tersenyum mendengarnya. Dia bukan tipe orang yang mudah terganggu oleh sikap orang lain. Baginya, setiap orang punya alasan di balik sikapnya.
---
Ardan Pradipta memasuki ruang brifing dengan langkah mantap, tubuh tingginya menjulang di antara para kru. Seragam pilot yang ia kenakan terlihat sempurna tanpa cela. Wajahnya tampan, tetapi tatapan matanya dingin, seperti jurang yang dalam dan gelap. Semua orang di ruangan itu segera menghentikan percakapan mereka saat ia masuk, seolah-olah keberadaannya membawa aura yang memaksa semua orang untuk tunduk.
Lara memperhatikan Ardan dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Bukan hanya sikapnya yang membuat orang lain merasa kecil, tetapi juga cara dia membawa dirinya sendiri, seolah dia sedang memikul dunia di bahunya.
"Kapten," sapa Nadine dengan sopan, mencoba mencairkan suasana.
Ardan hanya mengangguk singkat, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya melintas ke seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Lara. Dia menatapnya dengan tajam, membuat Lara sedikit bergeser di tempatnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah Ardan sedang menghakiminya.
"Pramugari baru?" tanyanya dingin, suaranya berat dan rendah.
Lara mencoba tetap tenang. "Saya Lara, Kapten. Sudah hampir enam bulan bekerja di maskapai ini."
"Hmm," gumam Ardan tanpa ekspresi. "Lakukan tugasmu dengan benar. Jangan jadi beban."
Kalimat itu menusuk Lara, tapi dia menelan rasa kesalnya. Dia tahu pria seperti Ardan tidak akan peduli dengan apa yang dia rasakan. Baginya, yang penting adalah profesionalisme. Namun, Lara tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya mengapa pria itu terlihat begitu penuh kebencian.
---
Penerbangan dimulai dengan lancar. Lara bekerja dengan efisiensi yang tinggi, melayani penumpang dengan senyum khasnya. Setiap kali dia berjalan melewati kokpit, dia merasa tatapan Ardan mengikuti gerakannya. Namun, pria itu tidak pernah mengatakan apa-apa, hanya sesekali memberikan instruksi singkat melalui interkom.
Di tengah penerbangan, cuaca mulai memburuk. Awan gelap menyelimuti langit, dan turbulensi mulai mengguncang pesawat. Penumpang mulai gelisah, beberapa dari mereka bahkan berdoa dengan suara pelan. Lara berjalan ke lorong, menenangkan para penumpang dengan suara lembutnya.
"Tenang saja, semuanya. Ini hanya turbulensi ringan. Kapten kami adalah pilot yang sangat berpengalaman, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya, mencoba memberikan rasa aman.
Namun, di dalam kokpit, situasinya jauh dari tenang. Ardan berkonsentrasi penuh pada instrumen di depannya, sementara co-pilotnya, Rizky, terlihat sedikit tegang.
"Mesinnya bermasalah," kata Rizky dengan nada cemas. "Kita harus mendarat darurat."
Ardan mengangguk. "Cari landasan terdekat."
"Tapi-tidak ada landasan di sekitar sini, Kapten. Satu-satunya opsi adalah laut atau pulau kecil itu."
Ardan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. "Baik. Kita arahkan ke pulau itu."
Pesawat akhirnya berhasil mendarat darurat di sebuah pulau terpencil. Semua penumpang selamat, tetapi komunikasi dengan dunia luar terputus total. Lara membantu para penumpang keluar dari pesawat, memastikan semuanya baik-baik saja. Di saat yang sama, Ardan berdiri sedikit menjauh, memandang pesawat yang rusak dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Kita harus menunggu bantuan datang," kata Lara, mendekati Ardan dengan hati-hati. "Aku yakin tim SAR akan segera menemuk-"
"Apa kamu selalu seperti ini?" potong Ardan tiba-tiba, suaranya tajam. "Selalu mencoba terlihat ceria, seolah-olah semuanya baik-baik saja?"
Lara terkejut. "Aku hanya berusaha membantu semua orang untuk tetap tenang."
Ardan menatapnya dengan mata yang penuh kebencian. "Senyummu itu... membuatku muak."
Hati Lara mencelos. "Kenapa kamu begitu membenciku? Aku bahkan tidak mengenalmu."
"Karena kamu mengingatkanku pada seseorang," jawab Ardan, suaranya tiba-tiba melembut, tetapi tetap penuh kepahitan. "Seseorang yang aku ingin lupakan, tapi tidak bisa."
Lara tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa berdiri di sana, merasa kecil di bawah tatapan tajam Ardan. Di balik rasa sakit itu, dia melihat sesuatu yang lain-luka yang begitu dalam, tersembunyi di balik tembok es yang Ardan bangun di sekelilingnya.
---
Malam itu, setelah semua penumpang tertidur, Lara duduk di tepi pantai, memandang bintang-bintang yang bersinar redup di langit. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Namun, pikirannya penuh dengan kebingungan.
"Kenapa kamu di sini?" suara Ardan tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
Lara menoleh dan melihat pria itu berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang berbeda.
"Aku hanya butuh waktu untuk berpikir," jawab Lara pelan. "Kenapa kamu selalu bersikap seperti itu padaku, Ardan? Aku tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakitimu."
Ardan terdiam, menatap laut sejenak sebelum akhirnya duduk di sebelah Lara. Untuk pertama kalinya, dia terlihat sedikit rapuh. "Karena senyummu itu... mengingatkan aku pada tunanganku."
"Tunanganku," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, "meninggalkanku setahun yang lalu. Dia mencampakkanku untuk pria lain, tapi sebelum itu, dia selalu tersenyum seperti kamu. Senyumnya adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum dia menghancurkan hatiku."
Lara merasa hatinya berat mendengar pengakuan itu. Dia menyadari bahwa di balik keangkuhan Ardan, ada seorang pria yang terluka parah. Namun, dia juga tahu bahwa mereka berdua sekarang berada di jalan yang sama-sama berbahaya.
"Aku bukan dia, Ardan," kata Lara lembut. "Aku tidak akan menyakitimu."
Ardan menatapnya lama, seolah-olah mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. Tapi di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lain-sesuatu yang membuat Lara merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lara merasakan bahwa kebencian dan gairah bisa berjalan berdampingan, membakar keduanya di bawah langit yang retak.
Bab 1 membakar keduanya di bawah langit yang retak
08/12/2024
Bab 2 Api yang Membakar di Tengah Dingin
08/12/2024
Bab 3 membawa sebotol air yang mereka kumpulkan
08/12/2024
Bab 4 ada secercah harapan di tengah kegelapan
08/12/2024
Bab 5 Lara merasa bahwa semua usahanya tidak sia-sia
08/12/2024
Buku lain oleh Tri Antopo
Selebihnya