Skandal Cinta Pilot Angkuh

Skandal Cinta Pilot Angkuh

Tri Antopo

5.0
Komentar
176
Penayangan
28
Bab

Bagi orang di sekitarnya, Lara adalah gadis yang ceria, mandiri, dan selalu penuh semangat. Senyumnya yang lebar membuat siapa pun merasa hangat. Namun, tidak bagi Ardan Pradipta, seorang pilot tampan yang selalu terlihat dingin dan angkuh. Dia sangat membenci Lara, hanya karena senyumnya yang membuatnya mengingat sesuatu yang menyakitkan. Ardan merasa terganggu dengan kebahagiaan Lara yang seolah tak pernah ada ujungnya, sementara hidupnya penuh dengan luka dan kepahitan. Keangkuhan Ardan semakin nyata ketika mereka harus terjebak bersama dalam sebuah insiden yang membawa mereka ke sebuah pulau terpencil. Di sana, kebencian itu mulai luntur, digantikan oleh daya tarik yang tak bisa mereka hindari. Namun, di balik itu semua, ada seseorang yang menunggu Ardan di rumah-tunangan yang setia menanti kepulangannya. Akankah hubungan ini bisa bertahan, atau hanya akan menjadi sebuah skandal yang terpendam?

Bab 1 membakar keduanya di bawah langit yang retak

Lara mematut diri di depan cermin kecil di ruang ganti staf maskapai. Seragam pramugari berwarna biru tua yang ia kenakan terlihat rapi, membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang hitam legam disanggul sederhana, menyisakan beberapa helaian kecil yang membingkai wajah ovalnya. Senyumnya, seperti biasa, terpampang lebar di wajahnya-senyum yang menjadi ciri khasnya.

"Lara, senyummu itu seperti obat penenang," ucap Nadine, salah satu pramugari senior yang bekerja bersamanya. "Jangan terlalu sering senyum seperti itu, nanti pilotnya jatuh cinta, lho."

Lara tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus hati-hati. Jangan sampai ada yang salah paham."

Namun, di balik tawa itu, Lara menyimpan sesuatu. Tidak semua orang tahu bahwa senyumnya yang menawan itu adalah tameng. Dia sudah terbiasa menghadapi hidup dengan optimisme palsu. Lara tahu bahwa hidup ini penuh dengan badai, tetapi dia selalu memilih untuk terlihat kuat. Itu caranya bertahan.

Hari itu, Lara bertugas di penerbangan Jakarta–Labuan Bajo. Rutenya cukup singkat, hanya sekitar dua jam lebih, namun rekan-rekannya sudah mengingatkan bahwa kapten yang akan memimpin penerbangan ini adalah Ardan Pradipta-seorang pilot yang terkenal karena sikap dinginnya.

"Ardan itu seperti tembok es," gumam Nadine dengan nada setengah bercanda. "Aku yakin dia hanya tahu tiga kalimat: 'Jangan ganggu saya', 'Lakukan pekerjaanmu', dan 'Diam'."

Lara hanya tersenyum mendengarnya. Dia bukan tipe orang yang mudah terganggu oleh sikap orang lain. Baginya, setiap orang punya alasan di balik sikapnya.

Ardan Pradipta memasuki ruang brifing dengan langkah mantap, tubuh tingginya menjulang di antara para kru. Seragam pilot yang ia kenakan terlihat sempurna tanpa cela. Wajahnya tampan, tetapi tatapan matanya dingin, seperti jurang yang dalam dan gelap. Semua orang di ruangan itu segera menghentikan percakapan mereka saat ia masuk, seolah-olah keberadaannya membawa aura yang memaksa semua orang untuk tunduk.

Lara memperhatikan Ardan dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Bukan hanya sikapnya yang membuat orang lain merasa kecil, tetapi juga cara dia membawa dirinya sendiri, seolah dia sedang memikul dunia di bahunya.

"Kapten," sapa Nadine dengan sopan, mencoba mencairkan suasana.

Ardan hanya mengangguk singkat, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya melintas ke seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Lara. Dia menatapnya dengan tajam, membuat Lara sedikit bergeser di tempatnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah Ardan sedang menghakiminya.

"Pramugari baru?" tanyanya dingin, suaranya berat dan rendah.

Lara mencoba tetap tenang. "Saya Lara, Kapten. Sudah hampir enam bulan bekerja di maskapai ini."

"Hmm," gumam Ardan tanpa ekspresi. "Lakukan tugasmu dengan benar. Jangan jadi beban."

Kalimat itu menusuk Lara, tapi dia menelan rasa kesalnya. Dia tahu pria seperti Ardan tidak akan peduli dengan apa yang dia rasakan. Baginya, yang penting adalah profesionalisme. Namun, Lara tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya mengapa pria itu terlihat begitu penuh kebencian.

Penerbangan dimulai dengan lancar. Lara bekerja dengan efisiensi yang tinggi, melayani penumpang dengan senyum khasnya. Setiap kali dia berjalan melewati kokpit, dia merasa tatapan Ardan mengikuti gerakannya. Namun, pria itu tidak pernah mengatakan apa-apa, hanya sesekali memberikan instruksi singkat melalui interkom.

Di tengah penerbangan, cuaca mulai memburuk. Awan gelap menyelimuti langit, dan turbulensi mulai mengguncang pesawat. Penumpang mulai gelisah, beberapa dari mereka bahkan berdoa dengan suara pelan. Lara berjalan ke lorong, menenangkan para penumpang dengan suara lembutnya.

"Tenang saja, semuanya. Ini hanya turbulensi ringan. Kapten kami adalah pilot yang sangat berpengalaman, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya, mencoba memberikan rasa aman.

Namun, di dalam kokpit, situasinya jauh dari tenang. Ardan berkonsentrasi penuh pada instrumen di depannya, sementara co-pilotnya, Rizky, terlihat sedikit tegang.

"Mesinnya bermasalah," kata Rizky dengan nada cemas. "Kita harus mendarat darurat."

Ardan mengangguk. "Cari landasan terdekat."

"Tapi-tidak ada landasan di sekitar sini, Kapten. Satu-satunya opsi adalah laut atau pulau kecil itu."

Ardan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. "Baik. Kita arahkan ke pulau itu."

Pesawat akhirnya berhasil mendarat darurat di sebuah pulau terpencil. Semua penumpang selamat, tetapi komunikasi dengan dunia luar terputus total. Lara membantu para penumpang keluar dari pesawat, memastikan semuanya baik-baik saja. Di saat yang sama, Ardan berdiri sedikit menjauh, memandang pesawat yang rusak dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Kita harus menunggu bantuan datang," kata Lara, mendekati Ardan dengan hati-hati. "Aku yakin tim SAR akan segera menemuk-"

"Apa kamu selalu seperti ini?" potong Ardan tiba-tiba, suaranya tajam. "Selalu mencoba terlihat ceria, seolah-olah semuanya baik-baik saja?"

Lara terkejut. "Aku hanya berusaha membantu semua orang untuk tetap tenang."

Ardan menatapnya dengan mata yang penuh kebencian. "Senyummu itu... membuatku muak."

Hati Lara mencelos. "Kenapa kamu begitu membenciku? Aku bahkan tidak mengenalmu."

"Karena kamu mengingatkanku pada seseorang," jawab Ardan, suaranya tiba-tiba melembut, tetapi tetap penuh kepahitan. "Seseorang yang aku ingin lupakan, tapi tidak bisa."

Lara tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa berdiri di sana, merasa kecil di bawah tatapan tajam Ardan. Di balik rasa sakit itu, dia melihat sesuatu yang lain-luka yang begitu dalam, tersembunyi di balik tembok es yang Ardan bangun di sekelilingnya.

Malam itu, setelah semua penumpang tertidur, Lara duduk di tepi pantai, memandang bintang-bintang yang bersinar redup di langit. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Namun, pikirannya penuh dengan kebingungan.

"Kenapa kamu di sini?" suara Ardan tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

Lara menoleh dan melihat pria itu berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang berbeda.

"Aku hanya butuh waktu untuk berpikir," jawab Lara pelan. "Kenapa kamu selalu bersikap seperti itu padaku, Ardan? Aku tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakitimu."

Ardan terdiam, menatap laut sejenak sebelum akhirnya duduk di sebelah Lara. Untuk pertama kalinya, dia terlihat sedikit rapuh. "Karena senyummu itu... mengingatkan aku pada tunanganku."

"Tunanganku," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, "meninggalkanku setahun yang lalu. Dia mencampakkanku untuk pria lain, tapi sebelum itu, dia selalu tersenyum seperti kamu. Senyumnya adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum dia menghancurkan hatiku."

Lara merasa hatinya berat mendengar pengakuan itu. Dia menyadari bahwa di balik keangkuhan Ardan, ada seorang pria yang terluka parah. Namun, dia juga tahu bahwa mereka berdua sekarang berada di jalan yang sama-sama berbahaya.

"Aku bukan dia, Ardan," kata Lara lembut. "Aku tidak akan menyakitimu."

Ardan menatapnya lama, seolah-olah mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. Tapi di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lain-sesuatu yang membuat Lara merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lara merasakan bahwa kebencian dan gairah bisa berjalan berdampingan, membakar keduanya di bawah langit yang retak.

(Bersambung)

Bab ini bisa dikembangkan lebih panjang dengan memperdalam dialog, deskripsi, dan konflik emosional di antara karakter jika diinginkan. Apakah perlu lebih mendetail atau langsung ke bagian tertentu?Tentu, berikut adalah versi bab pertama yang lebih panjang dan penuh dengan emosi, mendalami konflik dan suasana hati kedua tokoh utama.

---

### **Bab 1: Langit yang Retak**

Lara mematut diri di depan cermin kecil di ruang ganti staf maskapai. Seragam pramugari berwarna biru tua yang ia kenakan terlihat rapi, membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang hitam legam disanggul sederhana, menyisakan beberapa helaian kecil yang membingkai wajah ovalnya. Senyumnya, seperti biasa, terpampang lebar di wajahnya-senyum yang menjadi ciri khasnya.

"Lara, senyummu itu seperti obat penenang," ucap Nadine, salah satu pramugari senior yang bekerja bersamanya. "Jangan terlalu sering senyum seperti itu, nanti pilotnya jatuh cinta, lho."

Lara tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus hati-hati. Jangan sampai ada yang salah paham."

Namun, di balik tawa itu, Lara menyimpan sesuatu. Tidak semua orang tahu bahwa senyumnya yang menawan itu adalah tameng. Dia sudah terbiasa menghadapi hidup dengan optimisme palsu. Lara tahu bahwa hidup ini penuh dengan badai, tetapi dia selalu memilih untuk terlihat kuat. Itu caranya bertahan.

Hari itu, Lara bertugas di penerbangan Jakarta–Labuan Bajo. Rutenya cukup singkat, hanya sekitar dua jam lebih, namun rekan-rekannya sudah mengingatkan bahwa kapten yang akan memimpin penerbangan ini adalah Ardan Pradipta-seorang pilot yang terkenal karena sikap dinginnya.

"Ardan itu seperti tembok es," gumam Nadine dengan nada setengah bercanda. "Aku yakin dia hanya tahu tiga kalimat: 'Jangan ganggu saya', 'Lakukan pekerjaanmu', dan 'Diam'."

Lara hanya tersenyum mendengarnya. Dia bukan tipe orang yang mudah terganggu oleh sikap orang lain. Baginya, setiap orang punya alasan di balik sikapnya.

---

Ardan Pradipta memasuki ruang brifing dengan langkah mantap, tubuh tingginya menjulang di antara para kru. Seragam pilot yang ia kenakan terlihat sempurna tanpa cela. Wajahnya tampan, tetapi tatapan matanya dingin, seperti jurang yang dalam dan gelap. Semua orang di ruangan itu segera menghentikan percakapan mereka saat ia masuk, seolah-olah keberadaannya membawa aura yang memaksa semua orang untuk tunduk.

Lara memperhatikan Ardan dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Bukan hanya sikapnya yang membuat orang lain merasa kecil, tetapi juga cara dia membawa dirinya sendiri, seolah dia sedang memikul dunia di bahunya.

"Kapten," sapa Nadine dengan sopan, mencoba mencairkan suasana.

Ardan hanya mengangguk singkat, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya melintas ke seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Lara. Dia menatapnya dengan tajam, membuat Lara sedikit bergeser di tempatnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah Ardan sedang menghakiminya.

"Pramugari baru?" tanyanya dingin, suaranya berat dan rendah.

Lara mencoba tetap tenang. "Saya Lara, Kapten. Sudah hampir enam bulan bekerja di maskapai ini."

"Hmm," gumam Ardan tanpa ekspresi. "Lakukan tugasmu dengan benar. Jangan jadi beban."

Kalimat itu menusuk Lara, tapi dia menelan rasa kesalnya. Dia tahu pria seperti Ardan tidak akan peduli dengan apa yang dia rasakan. Baginya, yang penting adalah profesionalisme. Namun, Lara tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya mengapa pria itu terlihat begitu penuh kebencian.

---

Penerbangan dimulai dengan lancar. Lara bekerja dengan efisiensi yang tinggi, melayani penumpang dengan senyum khasnya. Setiap kali dia berjalan melewati kokpit, dia merasa tatapan Ardan mengikuti gerakannya. Namun, pria itu tidak pernah mengatakan apa-apa, hanya sesekali memberikan instruksi singkat melalui interkom.

Di tengah penerbangan, cuaca mulai memburuk. Awan gelap menyelimuti langit, dan turbulensi mulai mengguncang pesawat. Penumpang mulai gelisah, beberapa dari mereka bahkan berdoa dengan suara pelan. Lara berjalan ke lorong, menenangkan para penumpang dengan suara lembutnya.

"Tenang saja, semuanya. Ini hanya turbulensi ringan. Kapten kami adalah pilot yang sangat berpengalaman, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya, mencoba memberikan rasa aman.

Namun, di dalam kokpit, situasinya jauh dari tenang. Ardan berkonsentrasi penuh pada instrumen di depannya, sementara co-pilotnya, Rizky, terlihat sedikit tegang.

"Mesinnya bermasalah," kata Rizky dengan nada cemas. "Kita harus mendarat darurat."

Ardan mengangguk. "Cari landasan terdekat."

"Tapi-tidak ada landasan di sekitar sini, Kapten. Satu-satunya opsi adalah laut atau pulau kecil itu."

Ardan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. "Baik. Kita arahkan ke pulau itu."

Pesawat akhirnya berhasil mendarat darurat di sebuah pulau terpencil. Semua penumpang selamat, tetapi komunikasi dengan dunia luar terputus total. Lara membantu para penumpang keluar dari pesawat, memastikan semuanya baik-baik saja. Di saat yang sama, Ardan berdiri sedikit menjauh, memandang pesawat yang rusak dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Kita harus menunggu bantuan datang," kata Lara, mendekati Ardan dengan hati-hati. "Aku yakin tim SAR akan segera menemuk-"

"Apa kamu selalu seperti ini?" potong Ardan tiba-tiba, suaranya tajam. "Selalu mencoba terlihat ceria, seolah-olah semuanya baik-baik saja?"

Lara terkejut. "Aku hanya berusaha membantu semua orang untuk tetap tenang."

Ardan menatapnya dengan mata yang penuh kebencian. "Senyummu itu... membuatku muak."

Hati Lara mencelos. "Kenapa kamu begitu membenciku? Aku bahkan tidak mengenalmu."

"Karena kamu mengingatkanku pada seseorang," jawab Ardan, suaranya tiba-tiba melembut, tetapi tetap penuh kepahitan. "Seseorang yang aku ingin lupakan, tapi tidak bisa."

Lara tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa berdiri di sana, merasa kecil di bawah tatapan tajam Ardan. Di balik rasa sakit itu, dia melihat sesuatu yang lain-luka yang begitu dalam, tersembunyi di balik tembok es yang Ardan bangun di sekelilingnya.

---

Malam itu, setelah semua penumpang tertidur, Lara duduk di tepi pantai, memandang bintang-bintang yang bersinar redup di langit. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Namun, pikirannya penuh dengan kebingungan.

"Kenapa kamu di sini?" suara Ardan tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

Lara menoleh dan melihat pria itu berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang berbeda.

"Aku hanya butuh waktu untuk berpikir," jawab Lara pelan. "Kenapa kamu selalu bersikap seperti itu padaku, Ardan? Aku tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakitimu."

Ardan terdiam, menatap laut sejenak sebelum akhirnya duduk di sebelah Lara. Untuk pertama kalinya, dia terlihat sedikit rapuh. "Karena senyummu itu... mengingatkan aku pada tunanganku."

"Tunanganku," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, "meninggalkanku setahun yang lalu. Dia mencampakkanku untuk pria lain, tapi sebelum itu, dia selalu tersenyum seperti kamu. Senyumnya adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum dia menghancurkan hatiku."

Lara merasa hatinya berat mendengar pengakuan itu. Dia menyadari bahwa di balik keangkuhan Ardan, ada seorang pria yang terluka parah. Namun, dia juga tahu bahwa mereka berdua sekarang berada di jalan yang sama-sama berbahaya.

"Aku bukan dia, Ardan," kata Lara lembut. "Aku tidak akan menyakitimu."

Ardan menatapnya lama, seolah-olah mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. Tapi di balik tatapan itu, ada sesuatu yang lain-sesuatu yang membuat Lara merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lara merasakan bahwa kebencian dan gairah bisa berjalan berdampingan, membakar keduanya di bawah langit yang retak.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Tri Antopo

Selebihnya

Buku serupa

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

My Doctor genius Wife

My Doctor genius Wife

Amoorra
4.8

Setelah menghabiskan malam dengan orang asing, Bella hamil. Dia tidak tahu siapa ayah dari anak itu hingga akhirnya dia melahirkan bayi dalam keadaan meninggal Di bawah intrik ibu dan saudara perempuannya, Bella dikirim ke rumah sakit jiwa. Lima tahun kemudian, adik perempuannya akan menikah dengan Tuan Muda dari keluarga terkenal dikota itu. Rumor yang beredar Pada hari dia lahir, dokter mendiagnosisnya bahwa dia tidak akan hidup lebih dari dua puluh tahun. Ibunya tidak tahan melihat Adiknya menikah dengan orang seperti itu dan memikirkan Bella, yang masih dikurung di rumah sakit jiwa. Dalam semalam, Bella dibawa keluar dari rumah sakit untuk menggantikan Shella dalam pernikahannya. Saat itu, skema melawannya hanya berhasil karena kombinasi faktor yang aneh, menyebabkan dia menderita. Dia akan kembali pada mereka semua! Semua orang mengira bahwa tindakannya berasal dari mentalitas pecundang dan penyakit mental yang dia derita, tetapi sedikit yang mereka tahu bahwa pernikahan ini akan menjadi pijakan yang kuat untuknya seperti Mars yang menabrak Bumi! Memanfaatkan keterampilannya yang brilian dalam bidang seni pengobatan, Bella Setiap orang yang menghinanya memakan kata-kata mereka sendiri. Dalam sekejap mata, identitasnya mengejutkan dunia saat masing-masing dari mereka terungkap. Ternyata dia cukup berharga untuk menyaingi suatu negara! "Jangan Berharap aku akan menceraikanmu" Axelthon merobek surat perjanjian yang diberikan Bella malam itu. "Tenang Suamiku, Aku masih menyimpan Salinan nya" Diterbitkan di platform lain juga dengan judul berbeda.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Skandal Cinta Pilot Angkuh
1

Bab 1 membakar keduanya di bawah langit yang retak

08/12/2024

2

Bab 2 Api yang Membakar di Tengah Dingin

08/12/2024

3

Bab 3 membawa sebotol air yang mereka kumpulkan

08/12/2024

4

Bab 4 ada secercah harapan di tengah kegelapan

08/12/2024

5

Bab 5 Lara merasa bahwa semua usahanya tidak sia-sia

08/12/2024

6

Bab 6 tembok terakhir yang selama ini melindungi Ardan akhirnya runtuh

08/12/2024

7

Bab 7 Di Ambang Kehancuran

08/12/2024

8

Bab 8 Hancur, Tapi Tidak Lenyap

08/12/2024

9

Bab 9 menunjukkan bahwa dia tahu mereka telah memasuki babak baru

08/12/2024

10

Bab 10 bahaya yang lebih besar masih mengintai

08/12/2024

11

Bab 11 kekuatan yang tidak bisa diambil

08/12/2024

12

Bab 12 Pembalasan dalam Kegelapan

08/12/2024

13

Bab 13 namun sinarnya tampak suram,

08/12/2024

14

Bab 14 Kemenangan yang Penuh Pengorbanan

08/12/2024

15

Bab 15 Sebuah Rahasia yang Tersembunyi

08/12/2024

16

Bab 16 mengungkap rahasia besar yang telah lama disembunyikan

08/12/2024

17

Bab 17 Pertarungan yang Tak Terhindarkan

08/12/2024

18

Bab 18 Di tengah desisan angin dan ledakan api

08/12/2024

19

Bab 19 setiap ayunan senjata

08/12/2024

20

Bab 20 akan terus menyala

08/12/2024

21

Bab 21 Suasana kamp tampak lebih sepi

08/12/2024

22

Bab 22 mereka sudah memutuskan untuk memulai kembali

08/12/2024

23

Bab 23 alasan mereka untuk terus maju

08/12/2024

24

Bab 24 memberi mereka kesempatan kedua

08/12/2024

25

Bab 25 Setelah pertempuran

08/12/2024

26

Bab 26 memandang ke arah tenda-tenda yang berjejer rapi

08/12/2024

27

Bab 27 hanya bisa berdoa

08/12/2024

28

Bab 28 api cinta itu terus membara

08/12/2024