Nadin terjebak dalam hubungan terlarang dengan Raka, bosnya yang dingin namun memendam cinta, demi menyelamatkan keluarganya. Kehadiran Gio, sahabat Raka yang penuh kejutan, mengguncang hatinya dan memicu persaingan sengit di antara kedua pria itu. Ketika rahasia kehamilan Nadin terungkap, konflik semakin memanas. Raka berjuang melawan takdir dan keluarganya, sementara Gio menawarkan kenyamanan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, siapa yang benar-benar mencintai Nadin? Akankah ia memilih cinta lama yang penuh luka, atau cinta baru yang menjanjikan kebahagiaan? Dan bagaimana rahasia besar ini akan mengubah segalanya?
Nadin menatap layar ponselnya. Angka saldo di rekeningnya tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit ibunya. Tangannya gemetar, sementara pikirannya berputar mencari solusi. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Namun, air mata tetap jatuh.
Ponselnya berdering, memunculkan nama yang membuat dadanya semakin sesak: Manager Kantor.
"Nona Nadin, bisa ke ruangan Pak Raka sekarang?" suara perempuan di ujung sana terdengar kaku.
"Ada masalah?" Nadin mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Tidak. Beliau ingin bicara langsung."
Dengan napas berat, Nadin melangkah pergi, menuju kembali ke kantor ke ruang kerja Raka. Gedung perusahaan itu besar, dan langkahnya terasa seperti jalan menuju hukuman. Pikirannya penuh pertanyaan. Apakah dia tahu soal tagihan yang aku ajukan? Apakah aku akan dipecat?
Saat pintu terbuka, sosok Raka yang dingin dan karismatik duduk di balik meja. Ia menatapnya tajam, seperti mencoba membaca isi pikirannya.
"Silakan duduk." Nada suaranya dingin, tanpa emosi.
Nadin menunduk, mengambil kursi di hadapannya. "Bapak ingin bicara soal apa, Pak?"
Raka menyilangkan tangan, lalu menggeser sebuah amplop ke arahnya. "Ini untuk membayar seluruh biaya rumah sakit ibumu."
Nadin terdiam, menatap amplop itu. Detik berikutnya, ia mengangkat kepala, bingung sekaligus cemas. "Kenapa... kenapa Anda memberikan ini pada saya?"
"Karena saya bisa. Tapi ini bukan tanpa syarat." Mata Raka menusuk tajam.
"Syarat?" Nadin meremas tangannya di bawah meja. Suaranya bergetar.
"Aku ingin kau jadi milikku. Bukan hanya sebagai karyawan, tapi lebih."
Hening memenuhi ruangan. Kata-kata itu menggema di kepala Nadin.
"Apa maksud Bapak?" Nadin berusaha terdengar tegas, tapi suaranya pecah.
"Aku yakin kau mengerti." Raka bersandar di kursinya, menyilangkan kaki. "Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya untuk selalu ada di sampingku. Dan kau... kau memiliki sesuatu yang aku butuhkan."
Hati Nadin bergemuruh. Ia ingin berteriak, marah, tapi ingatannya kembali pada wajah ibunya yang lemah di rumah sakit.
"Saya..." Nadin menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca. "Saya butuh waktu untuk berpikir."
Raka tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. "Waktu? Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Hidup ibumu bergantung pada ini, bukan?"
Nadin meninggalkan ruangan itu dengan kepala tertunduk. Langkahnya terasa berat, seperti membawa beban dunia di pundaknya.
Nadin pulang kerumahnya mencari tempat yang sunyi untuk berfikir lebih dalam, Nadin duduk di kamar kecilnya, memandangi amplop yang diberikan Raka. Ia belum membukanya, tapi amplop itu terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya suara di ruangan itu.
"Apa yang harus aku lakukan, Bu?" bisiknya, meski tahu ibunya tak akan mendengar.
Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri. Tapi gambaran wajah ibunya di rumah sakit terus menghantuinya. Dokter sudah memberikan peringatan. Operasi harus segera dilakukan, atau segalanya akan terlambat.
***
Keesokan harinya setelah semalaman berfikir dan akhirnya memutuskan, Nadin melangkah ke ruang kerja Raka dengan tangan gemetar.
Saat ia masuk, Raka sedang berdiri di depan jendela besar, menatap pemandangan kota yang ramai dan melihat pantulan bayangan Nadin yang masuk keruangan. Tanpa menoleh, Raka berbicara.
"Kau datang lebih cepat dari yang aku kira."
Nadin berdiri di ambang pintu, suaranya tercekat. "Saya... saya setuju dengan tawaran Anda."
Raka berbalik, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia berjalan mendekat, mengulurkan tangannya. "Bagus. Aku tahu kau akan membuat keputusan yang tepat."
Nadin tidak menyambut tangan itu. Ia hanya menunduk, menahan rasa malu yang memenuhi dadanya.
"Ada syarat," ucapnya pelan.
Raka mengangkat alis. "Oh? Syarat apa?"
"Ini hanya sementara. Setelah ibu saya sembuh, saya ingin semua ini selesai. Saya tidak mau terikat lebih dari itu."
Raka tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku tidak memaksamu lebih dari yang kau sanggupi, Nadin."
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ini hanya awal.
***
Hari-hari Nadin berubah total. Ia sering harus menemani Raka di berbagai acara formal, menemani pertemuan informal, bahkan mengajaknya makan malam dengan alasan membahas pekerjaan. Nadin seringkali menghadapinya sebagai sosok yang jauh dari bos biasanya. Di depan orang lain, Raka memegang perannya dengan sempurna seorang pria berkuasa yang selalu tenang dan karismatik. Tapi ketika mereka berdua, ia lebih manusiawi.
Suatu malam, Nadin sedang merapikan berkas di ruang kerja Raka meletakannya ke rak-rak dokumen. Kantor sudah sepi, hanya mereka berdua yang tersisa. Raka duduk di sofa, mengamati Nadin yang sibuk dengan pekerjaannya.
"Kau tidak perlu selalu diam seperti itu, kau selalu bekerja keras, Nadin."
Nadin menengok kearah Raka, sedikit terkejut mendengar nada suara Raka yang lebih lembut dari biasanya. "Hanya melakukan tugas saya, Pak."
"Tidak banyak orang yang mau bertahan di posisimu. Aku tahu aku keras, tapi kau tidak pernah mengeluh. Kenapa?" Raka melangkah pelan mendekati Nadin, matanya menatapnya tajam. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, namun penuh tekanan.
Nadin terdiam sejenak. "Karena saya butuh pekerjaan ini."
"Kau terlihat seperti tawanan yang terpaksa ada di sini. Jika itu yang kau pikirkan..." Raka berhenti tepat di depannya, cukup dekat hingga Nadin bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
"Maka kau salah."
Nadin menahan napas, tangannya tanpa sadar mencengkeram tepi lemari di belakangnya, mencoba mencari pijakan.
Raka mengangkat tangannya perlahan, jari telunjuknya menyentuh pipi Nadin dengan lembut. Sentuhan itu membuat Nadin tersentak kecil, tetapi ia tetap diam, tak kuasa untuk melawan karena dari awal dia sudah menyadari jika hal ini akan terjadi.
Raka menggerakkan jari telunjuknya, membelai pipi Nadin dengan pelan, turun ke rahangnya, lalu menyusuri lehernya dengan gerakan nyaris lambat, hampir menguji kesabarannya. Nadin bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, tapi tubuhnya seperti membeku di tempat.
Saat jari Raka berhenti di pundaknya satu telapak tangan itu memegang pundaknya, tangannya yang lain terangkat untuk memegang pinggang Nadin. Dengan satu gerakan halus namun pasti, ia menarik tubuh Nadin lebih dekat, menyisakan hanya sedikit jarak di antara mereka.
"Aku tidak memaksamu untuk ini. Kau memilih sendiri." Bisik Raka di kuping Nadin
Kata-kata itu menyakitkan, tapi Nadin tahu Raka benar. Bagaimanapun, ia telah membuat pilihan. Malam itu bukan sekadar malam. Itu adalah malam yang merenggut sesuatu dari Nadin, kesuciannya, dan rasa percaya dirinya. Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang nyata, sebuah kenyataan yang ia terima bukan karena keinginan, tetapi karena keadaan.
Ketika malam itu berakhir, Nadin tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
***
Beberapa hari kemudian, di pesta perusahaan, Nadin berdiri di sudut ruangan. Ia merasa seperti tamu tak diundang di tengah keramaian. Gaun yang ia kenakan sederhana, jauh dari gemerlap busana para tamu lain.
"Kau terlihat seperti ikan kecil di kolam yang salah."
Nadin menoleh, mendapati seorang pria tinggi dengan senyum ceria berdiri di sampingnya. "Maaf?"
"Oh, aku tidak bermaksud kasar. Hanya saja, kau terlihat berbeda dari yang lain." Pria itu mengulurkan tangan. "Aku Gio."
"Nadin," jawabnya, sambil menyambut uluran tangan itu.
Gio menatapnya lama. "Kau bukan hanya berbeda. Kau spesial."
Nadin terkekeh pelan dan merasa kurang nyaman. "Kau bahkan tidak mengenalku."
"Aku bisa mengenal seseorang hanya dari cara mereka berdiri di ruangan seperti ini." Gio tersenyum, lalu mengambil dua gelas minuman dari pelayan yang lewat. "Sini, ambil satu. Kau butuh sesuatu untuk melewati malam ini."
"Terima kasih." Nadin mengambil gelas itu.
Gio mengangkat bahu. "kamu bekerja di kantornya?, ak temennya Bosmu Raka"
Nadin mengangguk kecil. "Ya, hanya karyawan biasa."
Percakapan mereka dari jauh terlihat mengalir, tapi Nadin tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul saat berbicara dengan pria flamboyan itu.
Di sudut lain ruangan, Raka berdiri memperhatikan mereka. Rahangnya mengeras, melihat Nadin terlihat asyik mengobrol dengan sahabatnya itu.
Lalu terdengar dari mikrofon di panggung utama. Seluruh ruangan hening.
"Selamat malam, hadirin yang terhormat. Saya merasa sangat terhormat melihat Anda semua hadir di sini untuk merayakan peresmian pabrik baru kami. Namun, malam ini, saya juga ingin berbagi berita pribadi yang sangat istimewa," ucap Tuan Arman dengan senyum penuh percaya diri.
Nadin berdiri terpaku, matanya tak lepas dari sosok Raka yang berdiri di samping ayahnya yang sedang berbicara dengan mikrofon itu. Lalu tuan Arman melanjutkan.
"Pada malam yang istimewa ini, selain meresmikan pabrik baru, kami juga ingin membagikan kabar bahagia dari keluarga kami. Dengan penuh rasa syukur, kami memperkenalkan Erine, wanita luar biasa yang telah dipilih untuk menjadi tunangan putra kami, Raka. Kami juga berharap, dalam waktu dekat, mereka akan melangkah ke jenjang pernikahan."
Gelas jus di tangan Nadin gemetar. Ia menoleh ke arah Raka, mencari jawaban di wajah pria itu.
Tapi Raka hanya berdiri diam, rahangnya mengeras. Kemudian, seorang wanita bergaun merah melangkah maju dari kerumunan.
"Perkenalkan, ini Erine," kata Tuan Arman dengan bangga. "akan bertunangan dengan Raka."
Rasanya seperti dunia berhenti. Nadin menahan napas, matanya terpaku pada Raka dan wanita itu. Wanita yang begitu sempurna, cantik, anggun, dan tersenyum seakan kemenangan sudah di tangannya. Tepuk tangan memenuhi ruangan, tapi Nadin merasa tuli. Nadin pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Gio yang walau hanya sebentar sempat menemaninya.
Buku lain oleh Rafflesia Life
Selebihnya