Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pras menyeringai. Diisap sekali lagi rokok di selipan tangannya. Asap langsung mengepul tinggi. Bibirnya yang menghitam ia basahi dengan cairan pekat yang tersedia di sampingnya. Tanpa perlu gelas. Langsung dari botol berwarna gelap di mana ada beberapa jenis di sana.
“Nyerah, kan, Neng?”
“Berengsek!”
Pria itu tertawa kencang. “Pintarnya mulut lo yang manis itu memaki.” Ia pun bangkit. Rokok yang masih tersisa itu dilempar begitu saja. Ruangan ini pengap juga pencahayaannya minim. Tapi ia bisa melihat dengan jelas, betapa gadis di depannya ini sangat cantik.
Hasrat terpendamnya sudah tersulut dan bangkit tanpa bisa dikendalikan.
Sejak pertama kali Pras melihatnya, ia tahu, cepat atau lambat, gadis yang bersimpuh karena terikat ini pasti menjadi miliknya.
Hanya miliknya.
Ia berlutut menyamakan posisi sang gadis. Memaksa gadis itu untuk menatapnya. Dicengkeram kuat wajah yang ternyata halus sekali menyapa permukaan tangannya. Bola mata gadis inilah yang berbahaya. Hitam, legam, berbinar terang penuh semangat, juga serupa boneka.
Elok sekali.
Membuat Pras menggila hanya ditatap sekelebatan olehnya. Dulu. Dua tahun lalu. Itu juga penuh dengan amarah dan benci. Sama seperti sekarang. Tapi kali ini, amarah itu berkobar jauh kuat di sana. Kebencian yang terarah padanya sangat besar tapi Pras mana peduli.
Selama sudah ia dapatkan, ia tak peduli apa yang gadis ini rasakan.
“Abang mau dengar sekali lagi makiannya,” kata Pras dengan seringai tipis. Matanya tak beralih ke mana-mana kecuali pada mata seelok boneka ini.
“Bajingan!” desis sinis sang gadis. Meski agak kesulitan, ia berhasil mengucapkan kata-kata barusan.
Sumpah demi apa pun, ia berjanji akan memaki pria di depannya ini sampai mati. Semua lontaran kata kasar yang tak pernah terbayang meluncur dari bibirnya, sudah ia lafazkan dengan penuh yakin. Tak peduli juga kalau keselamatannya terancam. Dan segala hal yang ia miliki bisa saja direnggut dengan cara paling keji.
Ia tak peduli.
Sejak diseret sebagai pembebas hutang ayahnya dari para preman berkedok rentenir ini, asanya sudah ia matikan. Dirinya hanya seonggok daging yang dihargai seratus juta rupiah. Yang akan diperas sampai habis inti sari kehidupannya.
Ia yakin itu.
Maka saat mereka kembali bertemu, di ruangan yang pengap serta tercium bau alkohol yang tak ia sukai ini, ia bersumpah tak akan memberi maaf semua orang yang membuatnya seperti ini. Akan ia tuntut segala sakit hatinya di pengadilan Tuhan kelak. Tak apa di dunia ini ia menjadi sampah. Tak apa.
Asal nanti semuanya mendapatkan balas yang setimpal. Itu sumpahnya.
“Bibir Neng pernah pakai lipstik?” tanya Pras yang semakin mencondongkan diri. Bicara tepat di atas bibir sang gadis yang masih ia cengkeram wajahnya ini. “Sepertinya iya. Abang cium aroma strawberry. Manis sekali.” Pras kembali menyeringai.
“Lepas!” desis Lavi. Lavina Diandra lebih tepatnya.
“Oke.” Pras begitu saja melepas cengkeramannya. Terdengar rintihan pelan keluar dari mulut sang gadis yang ia hidu aromanya meski sekilas tadi. Aroma yang begitu memabukkan. “Neng tahu harus apa, kan, di sini?”
Lavi memilih tak menjawab. Wajahnya ia palingkan dari pria yang masih menatapnya tajam penuh intimidasi.
“Peraturan pertama,” Pras bukan lagi mencengkeram wajah Lavi tapi menekan bagian bawah leher gadis itu dengan cukup kuat. Membuat mata gadis itu terbeliak kaget. Lagi-lagi ia harus bertemu kembali dengan sorot bengis milik Pras. “Jangan pernah buang muka kalau Abang bicara.”
Pras menekan lebih keras karena Lavi tak memberi respons. “Paham maksud Abang?”
Ada anggukan kecil yang ia dapati sebagai jawaban dan membuat Pras puas meski sedikit. Ia longgarkan sedikit saja tekanan yang diberikan pada bagian leher jenjang nan mulus milik Lavi. Rasanya ingin ia lumat dan isap dengan kuat. Tapi itu belum saatnya.
“Peraturan kedua.” Pras kembali bicara. “Tiap kali Abang masuk ke kamar Neng nanti, Neng harus memakai pakaian yang sudah tersedia di sana. Melayani Abang dengan senyum terbaik.” Lalu Pras semakin mendekat dan berbisik penuh penekanan. Tapi sebelumnya, ia sengaja meniup penuh hasrat pada cuping telinga Lavi. Membuat gadis itu memejam kuat dengan tubuh mulai gemetar. “Penuhi kamar Neng dengan desahan dan nama Abang.”
Lavi ingin sekali menangis kuat, berlari sejauh mungkin, keluar dari tempat yang sangat ia benci ini. Dalam pejam yang ia lakukan, bayang masa depannya sudah tamat. Tak ada lagi sesi kuliah bersama para dosen kesukaannya. Bercengkerama akrab bersama temannya di perpustakaan lengkap dengan banyak tugas. Bekerja dengan giat untuk tambahan biaya kuliahnya.
Segalanya telah sirna.