Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
TETANGGAKU SUAMIKU
PART 1
*
Seorang gadis membuka mata, demi melihat bayangan diri sendiri dari cermin besar yang memantul wajahnya. Wajah tirus yang semakin jelita seperti namanya, saat ditambah beberapa polesan make up khas pengantin.
“Kau tampak seperti ratu hari ini, Lita.” Seorang make up artist memuji gadis yang masih duduk di bangku meja rias.
Jelita memandang wajah itu dengan senyum yang merekah. Ia melihat seluruh sudut wajah yang terlihat berbeda dari biasanya.
“Kerja bagus, Nana.” Jelita memuji keahlian make up artist yang ia sewa untuk hari pernikahannya. Keahliannya dalam memoles bukan hanya angin semata, tapi benar-benar nyata.
Pernikahan. Momen yang begitu diimpikan oleh setiap gadis, di mana akan ada seorang lelaki yang akan mengambil alih tanggung jawab dari pundak sang ayah, dibawa ke pundaknya. Salah. Bukan ke pundak, karena itu menunjukkan keberatan, tapi ke pelukannya, karena di situ tempat paling nyaman untuk memadu kasih sayang. Momen paling sakral saat lelaki yang tulus mencintai akan mengucap ijab kabul, yang disaksikan oleh ribuan para malaikat.
Seperti yang kini dirasakan Inara Jelita.
Gadis itu merasakan degup jantung yang berdetak lebih kencang, padahal ia sudah sering bertemu dengan calon suaminya. Namun, perasaan gugup itubtetap menyerang, seolah ini pertama kali akan bertemu lelaki pujaan.
“Aku ingin memangkas jarak denganmu,” ucap lelaki itu saat Jelita sedang duduk di bangku taman dekat kampus. Sementara lelaki itu duduk di sebelahnya dengan jarak beberapa jengkal dari Jelita.
“Aku ingin meminangmu.” Kembali lelaki itu berkata.
Jelita menatap lelaki di depannya dengan lekat. Mencoba menyelam pekatnya iris mata miliknya, mencari kesungguhan atas kalimat-kalimat yang diucapkannya.
“Kau sedang becanda, Kevin?” Jelita mencoba menanyakan keseriusan lelaki yang kini juga menatapnya lekat. Lelaki yang beberapa tahun terakhir menaruh hati padanya.
“Jika ada banyak hal untuk dicandai, kenapa harus menikah? Aku serius!” Kevin meraih tangan Jelita. Gadis yang selama ini mampu membuat debar berbeda dalam hatinya. Dalam banyak waktu, lelaki itu mempertanyakan perasaannya sendiri. Kini ia temukan jawabannya, bahwa debar itu memang cinta.
Jelita dan Kevin bertemu dalam salah satu seminar kampus, saat masih mengenyam pendidikan di salah satu Universitas di ibu kota. Kevin menemukan banyak hal yang disukai dalam diri Jelita, itu yang membuatnya semakin hari semakin jatuh dalam perangkap rasa yang ia sebut cinta.
Sejak saat itu mereka dekat. Awalnya hanya sekadar menyapa di chat, lalu berlanjut pada tahap yang lebih serius. Meskipun Kevin tak pernah mengikat Jelita sebagai pacar, tapi lelaki itu tampak sungguh dengan kalimatnya. Pun, Jelita merasa nyaman saat berada di dekat lelaki itu.
Agar cinta tak salah arah, Kevin ingin menjadikan Jelita sebagai tempat pelabuhan terakhir dalam hidupnya. Di mana ia akan menemukan tempat pulang paling nyaman.
*
Garden Wedding. Tema pernikahan yang telah dirancang Jelita jauh-jauh hari. Sejak usianya memasuki remaja, Jelita telah memimpikan tema yang sederhana untuk pernikahannya, tapi tetap elegan dan indah dipandang. Ia menginginkan suasana yang segar di hari bahagianya.
Resepsi pernikahan diadakan di rumah Jelita, karena ia ingin suasana bahagia itu berlangsung di tempat ia lahir dan dibesarkan. Akan terasa lebih sakral bagi gadis itu.
Rumah dengan halaman yang luas itu telah disulap layaknya taman bunga yang dipenuhi dekorasi indah. Di satu sudut, ada singgasana untuk raja dan ratu sehari. Pelaminan berwarna putih dipadu dengan aneka hiasan tanaman berwarna hijau, juga lampu-lampu yang memantulkan cahaya berwarna lilac semakin menambah kesan ceria. Sementara di depan pelaminan, terdapat kursi-kursi tamu yang masih kosong, karena acara belum di mulai.
“Kevin sudah sampai mana, Lita?” Seorang perempuan paruh baya dengan kebaya dan hijab senada bertanya. Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang selama ini merawat Jelita dengan cinta yang besar. Cinta yang tak mampu ditukar dengan apapun. Ayah.
“Semalam katanya sudah di hotel, Ma.” Jelita kembali mengecek ponsel yang ia letakkan di nakas.
Tak ada balasan dari chat terakhir yang ia kirimkan. Hanya beberapa obrolan semalam yang menyatakan tentang keberadaan Kevin saat itu.
Dari Jakarta ke Makassar membutuhkan waktu yang lama untuk sampai. Sebab itu, Kevin dan orang tuanya memilih tiba lebih awal dan menginap di villa keluarga. Paginya baru akan bertolak ke tempat calon pengantin wanitanya.
“Tamunya udah ada yang datang, kayaknya udah bisa dimulai acaranya.” Sang paman ikut masuk ke kamar Jelita. Ia hanya memberitahu suasana di luar sudah mulai terlihat ramai. Berharap acara segera dimulai, agar tamu tak lama menunggu.
Jelita sejenak bergeming, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan gundah itu muncul berkali lipat, mengalahkan perasaan bahagia yang baru saja hinggap.
Gadis dengan gaun putih pengantin itu mencoba menghubungi nomor Kevin. Beberapa kali ia mencoba, tapi tak menemukan jawaban yang menenangkan. Jelita tak bisa mendengar suara Kevin di seberang sana, padahal nomor itu dalam keadaan aktif.
Jelita menatap ibu, ayah, dan paman secara bergantian. Sementara tiga orang tua itu, menunggu jawaban dari Jelita.
“Mungkin masih nyetir, Ma.” Ada keraguan dalam hati Jelita saat mengatakan itu. “Masih dalam perjalanan, makanya gak diangkat.” Jelita melanjutkan, sementara cemas dalam dadanya makin tak terkendali.
Setelah mendengar jawaban itu, paman dan orangtua Jelita keluar. Mereka menyapa beberapa kerabat dan tamu yang sudah memenuhi meja undangan.