Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Drrrtttt Drrrtttttt
Suara ponsel bergetar. Ponsel siapa? Mataku tertuju pada plastik hitam yang terselip di bagasi mobil Mas Bima -- suamiku.
Benar saja. Ada ponsel keluaran terbaru di sana. Kuusap layar dengan tangan gemetar. Ada pesan yang masuk ke ponselnya. Kubaca lewat notifikasi di layar.
[Tolong belikan vitamin sama susu hamil, ya, Mas. Merk kemarin bikin mual coba ganti yang lain barangkali lebih enak di perut. Jangan lama-lama, ya, Mas]
Deg. Deg. Deg. Hati mulai berdebar.
Ponsel Mas Bimakah ini? Kenapa aku nggak pernah tahu kalau Mas Bima punya ponsel baru? Lantas, ini pesan dari siapa?
Hanya tertera nama L di kontaknya. Bahkan, belum ada kontak lain di ponsel ini kecuali pengirim pesan barusan. Pikiranku mulai tak tenang.
"Gimana, Dek? Ada nggak berkasnya?" Pertanyaan Mas Bima dari ruang keluarga mengagetkanku. Segera kubungkus kembali ponsel itu ke dalam plastik dan meletakkannya ke tempat semula.
"Nggak ketemu, Mas. Sudah aku cari kemana-mana, jok depan belakang sampai kolong bahkan di bagasi juga nggak ada," ucapku sedikit menaikkan volume supaya Mas Bima mendengar suaraku.
"Ba-- bagasi, Dek?" Agak gugup dia bertanya, membuatku mengerutkan alis seketika.
Kulihat Mas Bima berjalan tergesa menghampiriku. Wajahnya agak pias. Buru-buru menutup bagasi mobil lalu menarik pelan lengan kiriku.
Aneh!
"Mungkin ketinggalan di kantor, Dek. Biar kuambil dulu, ya?" ucap Mas Bima masih dengan sedikit gugup, membuatku semakin curiga.
Biasanya aku memang tak pernah mengecek mobil Mas Bima apalagi sampai bagasi. Tiap keluar makan, jalan atau belanja bulanan Mas Bima yang menata dan mengambil barang dari bagasi, aku cukup mengurus kedua anakku saja. Si kembar Yuka dan Yuki.
"Mau ke kantor lagi, Mas?" tanyaku lirih. Kutatap wajah Mas Bima yang sedikit gelisah.
"Sudah malam loh ini," ucapku lagi.
"Nggak apa-apa, Dek. Ada satpam juga kan, di kantor. Lagipula besok weekend, Mas mau selesaikan biar senin bisa dibawa ke kantor lagi," ucap Mas Bima sembari menepuk bahuku pelan.
Tak bisa banyak komentar, aku iyakan saja alasannya. Sebelum masuk mobil, kucium punggung tangan Mas Bima lalu masuk kembali ke rumah.
Kuintip dari balik gorden, Mas Bima kembali membuka bagasi. Buru-buru mengambil plastik hitam itu dan membuka isinya. Sambil tolah-toleh dia membuka ponsel itu. Aku yakin dia sedang membaca pesan yang masuk ke sana.
Ingin rasanya mengikuti Mas Bima dengan motor maticku. Tapi urung kulakukan. Tak mungkin kutinggalkan Yuka dan Yuki sendirian. Apalagi jika kuajak serta, tak mungkin juga. Takut masuk angin kalau kena angin malam.
Ah sudahlah. Lain kali kuselidiki sendiri, apa yang sebenarnya disembunyikan Mas Bima dariku.
Bergegas ke ruang keluarga, Yuka dan Yuki masih main petak umpet. Usia mereka genap enam tahun tanggal 15 Februari ini.
Kembali terdengar suara ponsel berdering. Ponsel utama Mas Bima tertinggal di meja kamar. Kubuka saja ponselnya yang tak terkunci itu.
Tumben!