Sebuah pesan mesra yang Rena baca di ponsel suaminya mampu membuat Rena murka. Satu pesan yang mampu membuat jantung Rena seperti berhenti berdetak. Rena pun melakukan segenap penyelidikan hingga akhirnya sebuah kebusukan pun berhasil terkuak. Rencana licik akhirnya Rena lakukan untuk menyelamatkan harta yang selama ini mereka kumpulkan berdua. Rena tak mau, jika sang suami menikamati harta itu bersama wanita simpanannya. Setelah serangkaian rencana itu berhasil Rena lakukan, Rena pun memilih jalan perpisahan. Tak sudi rasanya jika harus dimadu dengan seorang perempuan murahan. Hari demi hari Rena lalui dengan gelar seorang janda, hingga akhirnya Rena pun menemukan sosok lelaki yang mampu membuatnya berani kembali mengenal artinya cinta.
[Sayang, aku sudah di butik tempat kita fitting baju pengantin. Jangan lupa kalau kamu udah janji untuk datang ke sini. Jangan lama-lama, aku merindukanmu setelah satu minggu tak bertemu. Ini nama butiknya.]
Satu pesan yang telah kubaca itu mampu membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Apalagi pesan tersebut diakhiri oleh rentetan emoticon bergambar love setelah mencantumkan sebuah nama butik yang terdengar asing di ingatanku.
Pesan tersebut dikirim oleh nama kontak yang diberi nama Mutia di ponsel suamiku. Siapakah Mutia? Apakah dia rekan suamiku lalu salah kirim pesan?
Ya, pesan mesra ini kubaca di ponsel suamiku dan sepertinya baru dikirim beberapa menit yang lalu, sebab Mas Yoga– suamiku– belum sempat membuka pesan tersebut. Aku bisa membaca pesan mesra itu karena terpampang di beranda ponsel suamiku.
Aku terus menerka-nerka, berusaha mengingat siapakah sosok yang memiliki nama Mutia. Namun semakin aku berusaha keras mengingatnya, aku tak kunjung menemukannya juga. Aku hapal betul siapa saja nama kerabat suamiku. Dan sejauh ini, aku sama sekali tak mendengar nama Mutia.
Lantas siapa dia?
Kenapa dia mengirimkan pesan mesra ini pada suamiku?
Berbagai pikiran buruk mulai memenuhi isi kepalaku. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang besar dan disembunyikan oleh Mas Yoga dariku.
Aku tersentak kaget saat ponsel yang ada di genggamanku itu tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk dari pemilik nomor bernama Mutia.
Seketika jantung berdegup lebih kencang. Aku menghela napas panjang, sejenak aku melirik ke arah pintu kamar mandi, memastikan kalau Mas Yoga masih berada di dalam sana.
Karena aku masih mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, yang artinya Mas Yoga belum selesai melakukan ritual mandinya. Dengan cepat aku mengangkat panggilan itu, lalu kudekatkan benda pipih itu ke telinga kananku.
"Halo, Sayang. Cepetan dong ke sini. Aku sangat merindukanmu setelah dua minggu tak bertemu." Terdengar dengan jelas suara perempuan dari seberang sana. Nada suaranya terdengar begitu dibuat manja, yang tentu saja ciptakan gemuruh di dalam sini hingga terasa begitu membuncah.
Aku sengaja diam. Aku tak menjawab ucapan perempuan itu.
"Kamu kok diam saja? Ada istri kamu ya? Ok, deh, kalau begitu. Aku tutup. Pokok kamu segeralah datang ke sini. Aku nggak mau menunggu terlalu lama. Oh, ya ... karena satu minggu lagi ulang tahun kamu, dan kebetulan saat itu aku sudah kembali ke kotaku, maka malam ini aku akan memberikan kejutan untuk kamu, Sayang."
Jantungku semakin dibuat berdegup lebih kencang. Ingin sekali kumaki perempuan itu. Aku yakin, dia tak salah nomor. Sebab, memang satu minggu lagi adalah hari ulang tahun suamiku.
Lantas kenapa ia membuat janji di butik, dan dia pun juga mengatakan jika butik itu ia gunakan untuk fitting baju pengantin.
Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sosok perempuan yang menelpon suamiku saat ini?
Oh ya, Tuhan ....
"Aku tutup ya, muach ...."
Seketika panggilan itu dimatikan oleh Mutia. Aku menurunkan ponsel itu dari telingaku, menatap layar ponsel yang baru saja kembali berdering karena ada satu pesan masuk dari nomor yang baru saja menghubungi ponsel suamiku.
[Jangan lama-lama, atau aku akan merajuk!]
Tanpa sadar aku meremas benda pipih itu, meluapkan rasa gemuruh dan sesak di dalam dada.
Tiba-tiba tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam kamar mandi, cepat kumasukkan ponsel itu ke dalam tas kerja suamiku. Setelahnya aku bergegas kembali duduk di tepi ranjang, melanjutkan aktifitasku melipat pakaian yang sempat terhenti.
Sebenarnya aku bukanlah sosok perempuan yang begitu over protektif pada pasangan. Bahkan selama ini aku masih bisa menjaga tanganku agar tak membuka ponsel suamiku.
Ya, selama enam tahun menikah, aku tak pernah membuka barang yang termasuk privasi milik suamiku itu. Aku hanya memberikan kepercayaan penuh pada lelaki yang bergelar suamiku.
Hanya saja, entah kenapa kali ini aku tak bisa menahan rasa penasaranku. Awalnya tak ada niat sama sekali untuk mengambil ponsel itu, hanya saja, ponsel milik Mas Yoga terus berdering. Saat aku abaikan hingga panggilan itu terputus dengan sendirinya, sedetik kemudian ponsel itu kembali berdering. Hal itu terjadi hingga beberapa kali.
Karena itu lah rasa penasaranku menjadi menggebu-gebu. Memang, insting seorang istri tak pernah salah.
Berawal dari chat mesra yang baru saja kubaca, hingga panggilan dari seorang perempuan dengan nada yang begitu manja. Entah kenapa, pikiran buruk melintas di pikiranku.
Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku haru mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, meskipun pada akhirnya akulah yang akan terluka.
"Ren, kamu kok melamun?" Ucapan itu seketika membuat tubuhku tersentak kaget. Aku mengerjapkan mata beberapa kali lalu menghela napas panjang. Aku terlalu terhanyut dalam pikiranku, hingga tak sadar jika saat ini Mas Yoga sudah berdiri di depanku dengan pakaian yang sudah melekat di tubuhnya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku setelah berhasil menguasai diriku dan sedikit meredamkan gemuruh di dalam dada.
Terlihat Mas Yoga mendaratkan tubuhnya di bibir ranjang– di sampingku.
"Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Mas Yoga sembari menempelkan punggung tangannya ke keningku.
Aku tersenyum dengan paksa sembari menurunkan tangan Mas Yoga, lalu berucap, "enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku menatap lekat ke arah lelaki itu.
"Kok melamun? Bahkan Mas dari tadi berdiri di depan kamu, kamu tidak menyadarinya," ucap Mas Hendra.
"Aku kangen sama Ibu dan Bapak. Rena pengen sekali menjenguk mereka, Mas," ucapku sembari menundukkan kepala.
"Semalam, Rena mimpi buruk. Takut mereka sakit atau kenapa-napa," lanjutku dengan memasang raut sesedih mungkin.
Kedua telapak tangan itu membingkai wajahku, lalu mengangkatnya hingga pada akhirnya pandangan kami saling bertemu.
"Kamu mau ke sana? Besok pagi-pagi Mas antarkan ke sana ya."
Aku menghembuskan napas berat. Saat aku ingin menjawab ucapan suamiku, tiba-tiba ponsel milik Mas Yoga kembali berdering. Secepat kilat lelaki itu langsung melepaskan bingkaian tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya, setelahnya ia pun berjalan menuju ke arah di mana tas kerja milik Mas Yoga tergeletak.
Mas Yoga merogoh ponselnya dari dalam tas kerjanya. Cepat aku membuang pandang ke arah lain saat lelaki itu sepertinya akan menolehkan kepalanya ke arahku.
Aku melirik dengan ekor mataku, terlihat lelaki itu telah menatap layar ponsel. kembali aku menatap seraut wajah yang saat ini tiba-tiba terlihat berbinar itu. Kedua netraku menangkap dengan jelas saat bibir lelaki itu sedang tersenyum samar.
Aku yakin, Mas Yoga sedang membaca rentetan pesan yang dikirimkan oleh Mutia itu. Sepersekian detik kemudian, jemari Mas Yoga menari-nari di atas layar datar.
Terlihat Mas Yoga meletakkan kembali ponsel itu ke tempat semula. Lelaki itu kembali berjalan mendekat ke arahku dengan raut wajah yang ... entah.
"Ren ...."
"Kenapa, Mas?"
"Mas ada urusan di luar. Ada rekan yang mau ajak kerja sama dan mumpung dia ada di sini, sekarang teman Mas meminta untuk bertemu."
"Siapa, Mas?"
"Redo. Ya, Redo," ucap Mas Yoga dengan cepat.
"Redo mengajak Mas kerja sama, jual beli motor bekas. Kamu ingat kan siapa Redo?"
Aku menganggukkan kepala. Aku ingat betul siapa Redo. Dia adalah sahabat Mas Yoga yang katanya bertemu saat kelas satu smp, hingga persahabatan mereka berjalan sampai saat ini. Akan tetapi, aku tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mas Yoga. Tentu itu hanya suatu alasan belaka.
Aku menatap wajah yang saat ini terlihat memohon.
"Sampai malam, Mas?"
Aku menolehkan kepala ke arah jam yang menggantung di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul satu siang.
Ya, setiap siang, Mas Yoga selalu menyempatkan dirinya untuk makan siang di rumah sembari membersihkan tubuhnya. Nanti kalau jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang, Mas Yoga akan kembali ke tempat kerjanya.
Sudah dua tahun ini Mas Yoga merintis usahanya di bidang kuliner. Memang kami hanya memiliki satu rumah makan dan bersyukurnya, kami sudah memiliki tiga orang karyawan. Mas Yoga hanya memantau perkembangan rumah makan yang telah kami rintis bersama.
"Sepertinya begitu, Ren. Maklumlah kami sudah begitu lama tidak bertemu," ucap Mas Yoga.
Aku mengulas senyum.
"Ya sudah, pergi saja, Mas. Tapi siang ini bolehkah aku pergi ke rumah kedua orangtuaku?"
Seketika raut penuh kelegaan tergambar dengan jelas di wajah yang berkumis tipis itu. Kedua sudut bibir Mas Yoga tertarik ke atas. Dia tersenyum.
Tentu ia akan bahagia karena telah mendapatkan izin dariku. Apalagi aku mengatakan jika aku akan pergi ke rumah kedua orangtuaku yang letaknya jauh dari sini.
Butuh waktu tiga jam untuk sampai di sana. Tentu aku akan menginap yang pastinya membuat Mas Yoga merasa bebas malam ini.
"Malam ini? Tapi Mas sudah ada janji. Gimana mau ngantarnya, Ren?"
Aku tersenyum.
"Nggak usah kamu antar, Mas. Aku akan pulang sendiri. Aku kan perempuan pemberani," ucapku sembari tergelak tawa.
"Tapi ...."
"Nggak apa-apa, Mas. Aku akan ke rumah ibu dan bapak naik sepeda motor. Tapi maaf ya, Rena harus menginap di sana. Kan capek Mas kalau harus langsung balik ke sini."
Cepat lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya sembari senyum merekah di bibirnya.
"Tapi nggak apa-apa kan, Ren?"
"Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja."
"Salam buat Bapak dan Ibu ya, Ren."
"Iya, Mas. Aku siap-siap dulu ya," ucapku kemudian.
Mas Yoga kembali menganggukkan kepalanya. Bergegas aku mengganti pakaianku.
"Aku berangkat dulu, ya, Mas. Mungkin besok Rena baru bisa balik lagi."
Aku meraih tangan Mas Yoga lalu menciumnya punggung tangan itu dengan takdzim.
"Hati-hati, ya. Kalau sudah sampai di sana, jangan lupa kasih kabar," ucap Mas Yoga sembari mengelus pucuk kepalaku.
Aku mengangguk. Bergegas aku melangkah menuju ke arah garansi. Mengeluarkan motor maticku. Aku melambaikan tanganku ke arah Mas Yoga yang saat ini berdiri di teras rumah melepas kepergianku dengan senyum yang terlihat begitu merekah.
Aku melajukan kendaraan roda duaku, hingga setelah menempuh jarak beberapa meter, aku mengeluarkan ponsel yang kumasukkan ke dalam kantong celanaku.
Aku membuka aplikasi g**gle map. Bergegas kuketik nama butik yang tadi dikirimkan oleh Mutia. Setelah beberapa detik menunggu, ponsel itu berhasil menemukan alamat yang kucari. Setelahnya kulajukan kendaraan roda duaku mengikuti arahan g**le map itu.
Bab 1 Pesan Mesra
10/06/2022
Bab 2 Menemukan Fakta Selanjutnya
10/06/2022
Bab 3 Membawa Wanita Itu Pulang
10/06/2022
Bab 4 Hati yang Semakin Terbakar
10/06/2022
Bab 5 Memulai Rencana
10/06/2022
Bab 6 Rencana Awal
10/06/2022
Bab 7 Rencana Pertama Berhasil
10/06/2022