Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rahasia Kafe Suamiku

Rahasia Kafe Suamiku

Viana Lie

5.0
Komentar
4.1K
Penayangan
79
Bab

Apa rahasia besar di balik Kafe Nirwana? Pertanyaan itu terus mengganggu Dara Jelita, seorang wanita berusia 18 tahun yang dipaksa ayahnya menikah dengan sang pemilik kafe, Raka Barawijaya. Dara yang awalnya ingin mengungkap rahasia di balik kafe suaminya itu agar bisa lepas dari Raka, malah mengungkap begitu banyak misteri hingga membuatnya merasa terjerat dan tidak mampu melepaskan diri dari Raka yang terkenal buas itu. Pada akhirnya, Dara harus memilih antara menutup Kafe Nirwana atau menyelamatkan suaminya.

Bab 1 Malam Pertama dengan Orang Asing

"Buka baju kamu!" ujar lelaki bernama Raka itu setelah mematikan puntung rokok.

Sementara seorang gadis berusia 18 tahun bernama Dara itu mulai merasa takut, saat sadar harus melewati malam pertama dengan orang asing yang ada di hadapannya itu.

"Bu-buat apa?" tanyanya terbata. Ia masih memainkan ujung jilbab yang dipakai demi melampiaskan rasa takut. Padahal itu tak berpengaruh apa pun baginya. Seiring bertambahnya waktu, Dara malah tambah gemetar melihat pria bertubuh tinggi itu.

"Buat apa? Kamu sudah menjadi istri saya."

Kalimat itu jelas membuat Dara semakin takut. Alih-alih kisahnya serupa cerita dalam novel, berharap bisa tidur lelap dengan ranjang yang terpisah karena dijodohkan dan saling merasa asing, lelaki berkumis tipis itu justru meminta aktivitas sakral tersebut tanpa basa-basi.

"Tapi, bahkan aku belum hafal nama panjang Mas Raka," ucapnya polos. Dengan tatapan mata yang tak berani menatap wajah Raka, berharap lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu merasa iba.

"Raka Barawijaya. Hafalkan dulu, setelah itu buka baju kamu. Saya kasih waktu 5 menit."

Lima menit? Ke toilet aja nggak cukup waktunya! Dara menggerutu dalam hati, berharap dia tidak bisa menghafal nama lengkap Raka, lalu meminta waktu lagi. Namun, yang ada nama Raka Barawijaya malah terus terngiang-ngiang di otak.

Dasar otak kurang asem! Giliran diajak ngafal pelajaran, lama banget. Pas denger nama orang ganteng, langsung hafal! Lagi-lagi Dara merutuki diri sendiri di dalam hati.

Dara melirik takut-takut, lalu matanya menangkap tatapan Raka yang seolah mampu menembus baju yang menutupi rapat-rapat tubuh gadis dengan hijab berwarna hitam itu. Sorot matanya tanpa lelah meneliti dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Dara semakin ketakutan atas sikap penuh hasrat lelaki 30 tahun tersebut.

"Sudah hafal?" Ia bertanya lagi, menatap Dara yang masih duduk di tempat yang sama, di tepian ranjang pengantin mereka yang masih bertaburan bunga-bunga di sana.

Tak berani menjawab, Dara hanya menggigit bibir bawah. Ia tak tahu apa yang dilakukan hanya membuat Raka semakin tidak mampu mengendalikan naluri lelaki yang tak bisa terbendung lagi.

"Buka jilbabnya dulu. Saya mau lihat."

"Ta-tapi—"

"Kamu buka sendiri, atau saya yang buka?"

“Anu … rambutnya lepek, belum sampoan seminggu!”

Mendengar jawaban refleks Dara, Raka bangkit dari tempat duduk.

“Banyak ketombenya juga!” kilah Dara dengan mata terbuka utuh. Namun, itu sama sekali tidak menghentikan Raka.

Merasa posisinya semakin terpojok, membuat Dara harus memutuskan dengan cepat. Ia sama sekali belum mengenal sosok Raka, jadi akan semakin canggung jika membiarkannya ikut andil membuka jilbab yang sejak awal ia kenakan.

Degup dalam dada kembali mengganggu, saat Raka mulai melangkah mendekati Dara. Ia meremas ujung jilbab, seolah tak rela jika harus terlepas begitu saja di depan orang yang masih asing, meski lelaki tersebut sudah sah menjadi suaminya.

"Buka," ucap Raka saat sudah berdiri di hadapan Dara.

"Bo-boleh aku minta waktu, Mas? A-aku … takut." Kali ini ia berusaha memohon secara terang-terangan.

"Tidak. Sekali lagi saya tanya. Buka sekarang, atau saya bisa paksa kamu!"

Tentu saja kalimat itu terdengar seperti sebuah ancaman bagi Dara. Belum lagi raut wajah Raka memang mampu menjelaskan semua. Antara hasrat dan amarah beradu menjadi satu.

Tanpa rasa sabar, lelaki yang ada di hadapan Dara itu mulai mendekati dan menyesap bibir ranum itu dengan deru napas yang memburu. Tidak ada rasa cinta dalam hatinya, hanya naluri dalam jiwa yang meminta untuk mendapatkan segalanya.

Dara masih bergeming, merasa dirinya tak bisa berkutik. Bahkan tak ada kesempatan sedikit pun untuk mencegah apa yang Raka lakukan. Di satu sisi dia sadar sudah menjadi istri Raka dan inilah yang harus dia lakukan, tetapi di sisi lain hatinya dipenuhi oleh ketakutan hingga membuatnya gemetar.

"Mas, tunggu dulu," pintanya dengan napas terengah, saat pagutan Raka sempat terlepas.

Namun, Raka tak sedikit pun menghiraukan. Ia justru melempar baju yang baru saja ia lepas dengan asal, dan membuat gadis itu berbaring.

Dara semakin takut saat sadar posisinya semakin sulit. Dengan gagah Raka mencengkeram kedua lengan Dara hingga tak mampu bergerak. Lelaki yang kini sudah telanjang dada itu sudah tak memedulikan apa pun, meski ia sadar Dara begitu ketakutan.

"Jangan terlalu banyak protes, atau kamu justru akan tersakiti," bisiknya di telinga Dara, sebelum ia melanjutkan kesenangan dengan gadis yang belum lama dia kenal itu.

Dengan mudah embun menetes dari sudut mata, saat ia sadar tak mampu melakukan apa pun selain membiarkan Raka melakukan semua yang dia inginkan. Ini yang harus ia terima, sejak ayahnya mengirim Dara pada orang asing yang kini tengah melakukan aktivitas pengantin dengannya, sebab tak mampu membayar utang yang begitu besar.

Raka tak peduli meski jelas-jelas dia melihat Dara menangis dan meringis kesakitan. Ia tak memberi jeda sedikit pun, hanya terus menuruti ego sendiri yang begitu menggebu.

Bagi Raka adalah suatu keberuntungan mendapatkan Dara yang masih menjaga segalanya. Bahkan di zaman yang sangat liar seperti ini, ia masih mendapatkan kegadisan yang begitu murni.

Dara masih menangis, sementara Raka yang sudah mendapatkan keinginannya tersenyum puas sebelum jatuh tertidur dengan sebelah tangan memeluk istrinya.

*

"Iya, kenapa?"

Samar terdengar oleh Dara, sebuah percakapan seseorang membuatnya terbangun dari tidur. Ia mengerjapkan mata, lalu menggigit bibir bawah saat sesuatu di tubuhnya terasa perih. Dara mencengkeram seprai putih di ranjang pengantin mereka untuk menahan rintihan, sampai dia sedikit terbiasa dan bisa membuka mata. Terlihat Raka tengah duduk di sofa dengan ponsel yang menempel di telinganya.

"Untuk malam ini, Wiski sudah dipesan. Tawarkan yang lain saja. Wine atau Vodka masih bisa. Atau kalau memang mau, klien bisa tunggu sampai besok."

Dara kembali memejamkan mata. Ia memilih untuk pura-pura tidur demi mendengarkan lebih lanjut percakapan yang baginya tabu itu. Kalau tidak salah, yang disebutkan Raka tadi adalah macam-macam minuman keras. Wanita yang sedang terbungkus selimut tebal itu mengingat sesuatu, ia pernah berkunjung ke kafe milik Raka bersama ayahnya. Alih-alih dipekerjakan di sana, ia justru dijadikan istri oleh pemiliknya. Di sana ia bisa melihat, bahwa kafe tersebut seperti kafe pada umumnya, dan tidak ada tanda-tanda menjual minuman seperti yang ia dengar barusan.

Apa betul Mas Raka menjual minuman keras? Begitulah batinnya bertanya.

“Jangan lupa, ada pesanan khusus malam ini. Antarkan Champagne tepat waktu ke ruangan Safir.” Suara Raka kembali terdengar.

Ruangan Safir? Dara hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Bisnis apa yang sebenarnya dijalankan suaminya itu?

*****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku