Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
"Ika, tuh ada yang beli. Kok malah manyun sih diem aja dari tadi" Yuni yang ada di samping Ika menowel pundaknya. Ika yang sedang terlena dengan lamunan kaget mendengar teguran sahabatnya itu.
"Ya Allah, yuun, kamu bikin kaget saja."
Kesadaran Ika langsung kembali, lamunannya langsung buyar. Ia melihat pembeli di depannya sedang menatapnya, menunggu untuk dilayani tepatnya.
"Iya, Bu. Aduuuh maaf Bu saya malah melamun begini. Monggo silakan mau beli kue apa, Bu?" Bagai kepergok, ah Ika jadi sangat malu.
"Kue lemper sama putu ayu aja mba. Masing-masing 15 ribu saja." Ibu-ibu itu merogoh kantongnya untuk membayar kue. Sigap Ika pun membungkus kue-kue yang dipesan tadi.
"Ini Bu kuenya." sambil tersenyum semanis mungkin ia menyerahkan bungkusan kresek warna hitam.
"Iya terima kasih, Mbak. Masih pagi mbak, jangan melamun mbok nanti ada yang nempel" si pembeli menggoda sambil cekikikan.
"Iiih, apa ibu yang menempel, kok jadi seram amat" Ika menimpali dengan wajah jenaka, ia mengerti membuat pembeli betah dengannya adalah cara agar mereka kembali lagi.
"Aduuuh, mbak. Asal jangan duda aja yang menempel" tambah keras mereka tertawa. Yuni pun ikut masuk dalam obrolan pagi yang hangat.
"Buu, d uren nggak papa kali yah buu. Duda keren yang banyak duitnya. Ehehee" Yuni menimpali.
"Hush, sudah-sudah. Pagi-pagi kok ngomongin duren. He he. Saya duluan ya, Mbak. Ini buat kirim orang ke sawah."
"Iyaa, Bu. Marii"
Setelah pembeli pergi, mata Ika mulai menatap kosong lagi. Entah kenapa lamunan yang tadi malah berlanjut, seperti ada gambar-gambar yang berseliweran. Daftar kebutuhan rumah tangganya semakin panjang.
Yuni yang geregetan melihat Ika dari tadi jadi terdiam melamun tambah kesel.
"Kaa, Ika. Kenapa sih ngelamun mulu. Kamu lagi mikirin apa sebenernya?" tegur temannya.
Ika hanya menoleh sebentar dan menjawab, "Gak pa-pa, Yun."
Yuni jelas tidak percaya. Akhir-akhir ini Ika memang agak lain. Raganya memang ada di sini jagain dagangan kue seperti biasanya, tapi pikirannya entah melayang-layang kemana.
"Kita kan temen, Ka. Siapa tahu aku bisa bantu."
Ika cuma mesem aja sebentar mendengar temanya itu menawarkan bantuan.
"Yun-yun, kamu gak akan bisa bantu, Yun. Ini masalah uang. Sedangkan kamu aja kerjanya sama aku. Gaji kamu kan gak seberapa. Kamu juga punya banyak kebutuhan untuk ibu dan adik -adik kamu." jawab Ika dengan lesu.
"Oalah uang toh. Kamu belum bayar cicilan?"
Yuni tahu kalau Ika punya banyak hutang. Ada hutang di bank yang harus ia bayar bulanan dan juga hutang bank mingguan yang harus dicicil seminggu sekali. Belum lagi hutang-hutang dia sama orang lain.
Ika sebenarnya tidak ingin bercerita tentang beban hidupnya, tetapi akhirnya ia menyerah. Dia juga butuh tempat untuk menceritakan semua permasalah yang semakin berat menghimpit dadanya, rasanya sesak, tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Setiap hari ia hanya bisa berpikir mau gali lubang lebih besar lagi sama siapa. Sedangkan lubang hutang yang sudah ia gali belum pernah bisa ia tutup.
"Belum. cicilan bulan ini belum kebayar. Uang arisan teman-teman juga sudah aku pakai. Anak-anak harus bayaran sekolah. Dan suamiku tetap hanya jadi beban hidupku. Kumplit sudah semua aku tanggung sendiri. Harus bagaimana, Yun? Apa aku harus kabur aja ya?"
"Hush, kamu gak boleh ngomong begitu Ka. Suamimu ke mana?" Yuni duduk mendekat ke arah Ika yang sudah terduduk lemas sedari tadi.
"Suamiku sudah mati kali, Yun." Tak ada harapan lagi ia dan suaminya.