Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Bingkisan Daster Bekas Mertua

Bingkisan Daster Bekas Mertua

Silla Defaline

5.0
Komentar
5.2K
Penayangan
58
Bab

Apa jadinya Jika Keuangan rumah tangga malah dihandle oleh mertua? Apa jadinya jika suami dituntut untuk menuruti kata-kata ibunya? akankah rumah tangga tersebut akan berakhir bahagia?

Bab 1 Satu

Pakaian Bekas Ibu Masih Banyak. Buat Apa Beli Yang Baru?

"Mas, bagaimana kalau adek beli gamis baru untuk di pakai pas acara pernikahan Cindi Nanti?"

Aku mendekati mas galih yang sedang duduk santai di teras rumah dan mencoba merayunya.

"Lho baju lebaran mu kemarin kan masih bagus dek," mas galih mengernyitkan dahi.

Aku menghela nafas kecewa. ini pertanda buruk. Dari nada suaranya saja terdengar keberatan.

"Mas, baju lebaran saya kemarin sudah enggak muat lagi. Apalagi di bagian perut. Bisa sesak nafasku,"

Aku mengelus perut yang sudah membesar.

"Enggak gitu juga kali dek, Mas lihat baju kemarin itu masih cukup besar di badanmu,"

Lagi-lagi aku kecewa dengan jawabannya.

"Mas, Mas mau melihat ku sesak nafas di acara pernikahan Cindi?" Aku cemberut.

Acara resepsi pernikahan Cindi, adik Mas Galih akan di selenggarakan sepuluh hari lagi. Aku merasa perlu juga sesekali berdandan cantik. Sudah capek rasanya sehari-hari dengan gamis dan daster-daster bekas mertuaku. Daster warisan. Di antara daster-daster itu sudah banyak yang bolong-bolong akibat termakan usia.

Bukan tidak bersyukur, tapi sebagai istri yang sedang hamil anak pertama, aku kecewa. Ingin rasanya sesekali mencoba mencicipi daster baru, atau gamis baru. Apalagi di acara penting keluarga.

"Kalau begitu, ya sudahlah, Mas,"

Dengan gontai aku melangkah masuk. Sebulir tetesan kuning menetes dari sudut. Sebegitu susahkah untuk sekedar membeli selembar gamis?

"Dek," sebuah tangan menggenggam jemari ku dari belakang.

Aku menoleh,

"Ada apa lagi, Mas?"

"Adek marah?" Tanyanya.

Sepatutnya sebagai suami ia tidak perlu bertanya lagi.

"Tidak." Jawabku.

Dalam hati aku berkata memang benar aku tidak marah, tapi lebih tepatnya kesal. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja tidak mengindahkanku.

"Dek, nanti aku bicarakan sama ibu. Adek yang sabar dulu ya,"

Aku menghela nafas. Selalu saja begitu, apa-apa selalu mau bilang sama ibu terlebih dahulu.

"Nggak usah, Mas." Jawabku.

Aku melangkah, namun lagi-lagi mas Galih menahanku.

"Ya udah jangan marah, Sayang. Mas akan usahakan," ujarnya cepat.

"Baiklah."

Aku menjawab tanpa memandang ke mukanya.

Terlihat Mas Galih menuju ke lantai atas, ingin menemui ibunya mungkin. Ya selama ini ibu mertuaku yang memegang seluruh kendali kebutuhan rumah. Mulai dari membeli kebutuhan dapur, listrik, air, hingga pakaian dalam, semuanya ibu mertuaku yang ngatur.

Sial memang hidupku, kurang dari sepuluh juta gaji Mas galih sebagai anggota pejabat di kantor perusahaan swasta, bagianku hanya lima ratus ribu sebulan. Selebihnya ibu mertuaku yang pegang. Dengan alasan untuk kebutuhan seisi rumah.

"Kiara, tolong rapikan meja makan ya! Sebentar lagi sudah waktunya kita makan malam," teriak ibu mertua dari pucuk tangga di lantai dua.

Tanpa menjawab aku melangkah ke dapur.

Ku pandang meja makan yang baru saja di utak-atik sama Angga, suami Mbak Megan kakak sulung Mas Galih yang juga tinggal di rumah ini.

Aku berusaha menahan kehidupan ini karena anak di perutku.

Untuk mengadu pada orang tua, aku tak mempunyai nyali yang cukup. Pernikahanku dan Mas Galih dulu memang menuai ketidaksetujuan Papa.

Namun karena cintaku sama Mas Galih, akhirnya pernikahan itu tetap terjadi juga.

Sekarang, untuk menyembunyikan nasibku yang apes, terpaksa aku pura-pura bahagia di depan kedua orang tuaku.

***

"Bu," seorang lelaki menghampiri seorang ibu yang berpakaian rapi yang sedang duduk di sofa.

"Ada apa Galih?" Tanggap wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar pipih di tangan.

"Mmm, bisa Galih bicara sebentar?" tanya Galih.

"Ya,"

"Masih adakah sisa uang Galih di tangan Ibu?" Tanya Galih hati-hati.

"Kenapa bertanya soal uang, Nak?"

"Begini, Bu. Aku ingin membelikan Kiara pakaian untuk ia kenakan di acara resepsi pernikahan Cindi nanti," ujar Galih menjelaskan.

Bu Farah, ibunya Galih meletakkan ponselnya ke atas meja.

"Galih, pakaian ibu banyak, bagus-bagus lagi. Gamis ibu juga masih selemari penuh yang tidak terpakai. Semuanya pas di tubuh istrimu. Buat apa membeli yang baru kalau yang ada masih lebih dari cukup? Jangan ajari istrimu untuk berboros, Nak! Cari uang itu susah. Apa kau ingin istrimu hidup bergelimang kesenangan, sedangkan kau sendiri yang kesusahan mencari pendapatan"

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Silla Defaline

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku