Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PELUKAN HANGAT PAPA MERTUA

PELUKAN HANGAT PAPA MERTUA

Yien Yi Park

5.0
Komentar
548
Penayangan
5
Bab

Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.

Bab 1 SAAT MALAM DI BAR

Cahaya strobo berdenyut, memantul dari tubuh-tubuh yang bergoyang di lantai dansa. Bau parfum dan keringat bercampur, menjadi aroma khas malam yang tak terlupakan. Di tengah hiruk pikuk musik elektronik yang menggelegar, para pencari sensasi berdansa liar, tubuh mereka bergesekan dalam irama yang tak terhentikan.

Di sudut ruangan, sekelompok orang duduk di meja VIP, minuman mahal menghiasi meja mereka. Mereka berbisik, tertawa, dan saling pandang dengan tatapan penuh makna. Di antara mereka, seorang pria berjas hitam, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, mengamati setiap sudut ruangan dengan penuh kewaspadaan.

Di bar, para bartender cekatan melayani pesanan, tangan mereka bergerak cepat di antara botol-botol minuman beralkohol. Para pelayan berlalu-lalang, membawa minuman dan makanan ringan untuk para tamu. Di balik meja DJ, seorang pria berambut gondrong dengan kacamata hitam, mengendalikan irama musik yang menghipnotis.

Di luar, hujan deras mengguyur kota, namun di dalam club, suasana panas dan bergairah. Musik, cahaya, dan aroma alkohol menciptakan aura magis yang membuat para pengunjung terbuai dalam euforia.

"Lun, kita kesana yuk!" Ajak seorang wanita berambut sebahu bernama Stevie.

"Ah ... kenapa kita harus ke tempat begini sih stev? Kamu kan tahu, aku tidak suka tempat yang begini?" Keluh Luna.

"Sssttt ... Kaluna Evelyn! Kamu jangan berbicara lagi! Kamu selalu saja ditinggal suamimu, dan kamu hanya sendirian terus dirumah. Kamu tidak bosan? Hah ... aku melihat kehidupanmu saja bosan, bagaimana kamu yang menjalaninya." Jelas Stevie.

"Mas Eric begitu, Karena pekerjaannya banyak stev, jadi ya tidak apa-apa." ucap Luna membela sang suami.

"Hei dengar ya! Setiap hari selalu pulang larut bahkan tidak pulang, kalau pulang selalu bau alkohol dan parfum wanita, terus banyak barang-barang wanita yang tertinggal di mobil dia. Kamu sangat tidak waras jika tidak menaruh curiga sedikitpun. Kamu memang terlalu bucin!" Sarkas Stevie.

Luna hanya menghela nafas panjang. Mendengarkan sang sahabat berceloteh ria, seperti tidak ada habisnya.

Kemudian tanpa basa-basi, Stevie langsung menarik tangan Luna dengan erat menuju tempat bartender.

"Hei ...."

Mereka berdua duduk didepan bartender.

"Lun, mau minum apa? Hari ini aku lagi hoki, jadi pesan apapun minuman yang kamu suka! Asal jangan mabuk aja," ucap Stevie.

"Kamu kan tahu aku tidak suka minum-minuman begini." Kilah Luna.

"Aduh Luna, kamu itu sudah menikah loh, masa tidak pernah mencoba minuman begini. Mw cocktail, wine, apa whiskey, Everclear? Tapi jangan! itu kadar alkoholnya tinggi, kamu tidak akan kuat. Bagaimana kalau bir, itu kadar alkoholnya paling rendah. Cocok untuk pemula." Service menyimpulkan dan akan memesan itu.

"Hi Tom, one Beer and one Whisky ya!"ucap Stevie dengan mengacungkan jari telunjuknya.

"Sure baby," Jawab Tom.

"Kamu sering kesini ya? Sepertinya, semua orang akrab kepadamu?" Tanya Luna.

"Ya, hanya beberapa saja, tidak banyak." Jawab Stevie.

Tiba-tiba ada seorang pria yang sangat ia kenal sedang bersama seorang wanita.

"Hei Luna, i-itu bukannya suamimu?" Tanya Stevie.

"Siapa?" Luna menyipitkan matanya untuk melihat lebih tajam.

Terukir senyum tipis di bibirnya. Meskipun hatinya hancur, namun ia mencoba menahannya.

"Lun ...."

"Aku tidak apa-apa Stevie, itu sudah biasa." Gumam Luna.

"Kurang ajar dia. Beraninya dia begitu ke kamu? Apa dia tidak tahu bahwa dia ini adalah seorang suami." Ucap Stevie geram.

"Itu sudah biasa Stev, biarin aja lah!" ucap Luna dengan entengnya. Entah mengapa ia terus meminum alkohol yanga dan ditangannya. Dari satu gelas dan terus bertambah, hingga kini sudah lebih dari lima gelas.

"L-lun ... itu m-minumanku. Kamu salah, itu kadar alkoholnya t-tinggi lho. Kamu bisa ...." Stevie hanya melihat Luna bolak-balik minum gelas demi gelas yang sudah tidak terhitung jumlahnya.

"Lun ...." Lirih Stevie.

"Dia itu ya, tidak pernah menganggapku sebagai istrinya. Kita sudah menikah hampir satu tahun. Tetapi, dia belum pernah menyentuhku sedikitpun. Malah ini, dia sering bergonta-ganti wanita yang selalu duduk di pangkuannya. Apa dia tidak menghargai perasaanku?" Gumam Luna yang sepertinya sudah mabuk.

"Apa? Jadi kalian belum pernah tidur bareng? Maksudku, berhubungan badan?" Tanya Stevie penasaran.

"Bagaimana Mau berhubungan? Melihatku saja dia tidak bernafsu. Stev, apa yang kamu lihat dari aku? Apakah aku terlihat tidak cantik, ha? Apakah aku tidak sexy? Apakah dadaku masih kurang besar, ha? Ayo, katakanlah padaku!" Ucap Luna.

"Luna ...." Lirih Stevie yang prihatin melihat keadaan sang sahabat.

***

Lampu neon bar berkelap-kelip, memantul di permukaan gelas kosong yang tersusun di meja Luna. Matanya berkaca-kaca, pandangannya kabur karena minuman keras yang terus mengalir. Aroma alkohol menyengat hidungnya, bercampur dengan bau parfum wanita yang baru saja berlalu. Eric, suaminya, tengah bermesraan dengan wanita itu, tak menyadari tatapan Luna yang menusuk.

Stevie, sahabat Luna, mengerutkan kening melihat sahabatnya yang terus-menerus meneguk minuman.

"Luna, sudahlah. Kamu sudah mabuk. Ayo pulang."

"Tidak! Aku tidak mau pulang. Aku ingin melihatnya. Aku ingin melihatnya bermesraan dengan wanita itu," Luna berteriak, suaranya terbata-bata.

Stevie menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarah.

"Luna, kamu sudah mabuk. Kamu tidak bisa berpikir jernih. Ayo pulang."

"Tidak! Aku tidak mau pulang! Aku ingin melihatnya!" Luna mengulang kalimatnya, matanya berkaca-kaca.

Stevie menghela napas. Dia tahu Luna sedang sangat terluka. Dia tahu Luna sangat mencintai Eric, dan melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain adalah pukulan telak baginya. Stevie akhirnya menyerah. Dia tahu dia tidak bisa memaksa Luna.

"Baiklah, tapi aku akan menjagamu. Kita akan pulang bersama," kata Stevie.

Luna mengangguk, matanya masih tertuju pada Eric dan wanita itu. Stevie membantu Luna berdiri, tubuhnya limbung. Mereka meninggalkan bar, Stevie menopang Luna agar tidak jatuh.

Di luar, udara dingin menusuk kulit. Luna menggigil kedinginan, tapi tetap menatap ke arah bar, ke arah Eric dan wanita itu.

"Luna, ayo kita pulang," kata Stevie, menarik tangan Luna.

Luna menggeleng. "Aku ingin melihatnya. Aku ingin melihatnya sampai dia pergi," katanya.

Stevie menghela napas. Dia tahu Luna sedang dalam kondisi yang sangat emosional. Dia tidak bisa memaksa Luna.

"Baiklah, tapi kita akan duduk di sini sebentar," kata Stevie.

Mereka duduk di bangku taman di seberang bar. Luna terus menatap ke arah Eric dan wanita itu, matanya berkaca-kaca. Stevie hanya bisa diam, menenangkan sahabatnya.

***

Setelah beberapa saat, Eric dan wanita itu keluar dari bar. Eric melihat Luna dan Stevie, matanya melebar. Dia terlihat terkejut, tapi kemudian dia tersenyum, mencoba bersikap biasa saja.

"Luna, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Eric, suaranya terdengar canggung.

Luna tidak menjawab. Dia hanya menatap Eric dengan tatapan kosong.

"Luna, aku bisa jelaskan," kata Eric, berusaha mendekat.

Luna menggeleng.

"Tidak perlu. Aku sudah melihat semuanya," katanya dengan nada khas orang mabuk.

Eric terdiam. Dia tahu dia telah menyakiti Luna. Dia tahu dia telah melakukan kesalahan besar.

"Luna, maafkan aku," kata Eric.

Luna masih tidak menjawab. Dia hanya menatap Eric dengan tatapan kosong.

"Luna, Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Aku mohon maafkan aku," kata Eric, suaranya semakin bergetar.

Luna masih tidak menjawab. Dia hanya menatap Eric dengan tatapan kosong.

"Luna, aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," kata Eric, suaranya penuh harap.

Luna masih tidak menjawab. Dia hanya menatap Eric dengan tatapan kosong.

"Luna, aku mohon, jangan tinggalkan aku," kata Eric, suaranya penuh keputusasaan.

Luna akhirnya membuka mulutnya.

"Aku tidak tahu, Eric. Bukankah kau sudah sering membawa wanita yang berbeda? Dan malam ini, entah wanita ke berapa yang akan kamu tiduri." kata Luna dengan nada mabuk.

"Kau selalu meminta maaf padaku, setelah kau ketahuan selingkuh. Dan itu, terus berulang sampai aku bosan. Jika memang bukan karena keluarga kita, aku tidak mau terus bertahan begini. Sakit Eric, sakit. Kamu tahu tidak rasanya menjadi aku? Kamu bilang kau minta maaf dan takut kehilanganku. Bulshit!" Seru Luna.

Stevie menarik Luna,

"Luna, ayo kita pulang."

Luna mengangguk, matanya masih tertuju pada Eric. Mereka berlalu, meninggalkan Eric yang masih berdiri di sana.

Memang benar, Eric tidak mencintai Luna. Eric bukan tipe pria yang setia. Entahlah, apa maunya. Yang jelas, hubungan mereka hanya seperti permainan.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Yien Yi Park

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku