Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Awan hitam bergulung gulung berarak dari barat menuju timur memayungi desa Air Durian. Sesekali kilat menyambar nyambar bagai cambuk api membelah cakrawala dan memancarkan pijar sesaat.
Zola mempercepat langkahnya menuju rumah dinas mantri Arman. Andai saja belum jauh dari rumah, tentu Zola kembali pulang mengurungkan niatnya mengantarkan makanan atas suruhan nenek.
Apa yang dikhawatirkan akhirnya terjadi, hujan deras turun tiba tiba disertai angin tepat saat Zola memasuki halaman rumah dinas mantri Arman.
Mantri Arman panik begitu membukakan pintu dan melihat Zola basah kuyup.
"Ayo masuk, masuk. Kenapa tau mau hujan gini nekat kemari," gerutu Arman.
"Disuruh nenek," jawab Zola seraya menggigil kedinginan.
"Buruan mandi, aku siapkan gantinya."
Zola berjingkat jingkat kekamar mandi sementara Arman mengambil sarung dan kaosnya karena ia tidak punya pakaian wanita.
Usai mandi Zola duduk di kursi mengangkat kedua kakinya sambil menyeka perut dan telapak kaki dengan teh panas yang baru saja disedu Arman.
"Ini apa lagi?" tanya Arman seraya membuka rantang plastik yang dibawa Zola dari neneknya.
"Rendang daging rusa. Minggu kemarin paman Nusui berburu dapat rusa dan babi. Nenek beli tiga kilo daging rusa."
"Babinya?"
"Dijual paman Nusui
ke kampung."
"Kirain dipotong disini juga."
Arman mengambil piring dan gelas kosong untuk mereka berdua.
"Ayo, kebetulan aku belum makan juga," kata Arman sambil menyodorkan piring untuk Zola.
"Belum makan atau tidak ada yang dimakan?" tanya Zola.
Ia tau hari hari Arman sering makan mie instan kadang ikan kaleng.
Arman bermaksud mencubit pipi Zola, namun urung. Ia menahan nafas, menelan ludah demi melihat tonjolan di dada Zola yang menyembul. Arman baru menyadari kalau Zola tidak mengenakan bra, sementara kaos Ilham yang dipakainya tipis transparan.
Setelah makan berdua, Arman melanjutkan menulis laporan dengan laptop, sedangkan Zola duduk bersedengku disampingnya.
"Bilang nenek, nggak usah sering sering kirim makanan, nggak enak diliat orang."
"Jangan pedulikan orang mas, lagian siapa yang berani menegur mas Arman kalau mereka tau itu dari nenek."
Arman terdiam. Sejak ia ditugaskan didesa terpencil tersebut enam bulan lalu sebagai tenaga medis, Ia sudah mengalami banyak kejanggalan. Seperti kasus yang dialami neneknya Zola.
Nenek Zola yang sakit saat itu hanya ditangani dukun lokal dengan pengobatan tradisional yang melibatkan unsur mistis. Menurut keterangan sang dukun, nenek Zola terkena wisa, atau barang kiriman yang sudah dibuang oleh pengirimnya.
Setelah dipaksa Nusui agar nenek berobat pada mantri Arman, penyakit yang diderita nenek berangsur angsur sembuh, setidaknya setelah minum obat dari Arman, nyeri dilambungnya berkurang. Ternyata nenek hanya mengalami mag, hingga asam lambungnya sering naik.
Sejak saat itu nenek merasa berhutang budi pada mantri Arman, padahal itu memang kewajiban ditugaskan disitu. Sebagai tanda terimakasihnya nenek sering mengirim makanan mau pun buah buahan untuk Arman.
Karena seringnya nenek menyuruh Zola mengirim makanan untuk Arman, tanpa disadari tumbuh benih benih cinta antara Arman dan Zola.
Arman hampir melupakan kalau dirinya seorang mantri kesehatan sedangkan Zola hanya gadis dusun di pedalaman Kalimantan yang hanya tamatan sekolah dasar. Tapi karena benih cinta sudah terlanjur ditabur, status pendidikan itu pun terabaikan.