Theo tahu dirinya itu jelek dengan kulit sawo matang, rambut ikal dan pendek. Meski kerap kali menjadi korban bullying, tetapi Theo sangat mensyukuri hidupnya yang hanya berdua saja dengan sang adik. Sampai suatu hari, Theo yang tak sengaja membaca Novel terlempar ke dimensi lain di zaman Kerajaan Kuno. Memang bukan masalah jika Theo menjadi protagonisnya, karena si tokoh utama adalah putra mahkota. Sayangnya, Theo terlahir sebagai tokoh antagonis psikopat yang akan dipenggal mati oleh pihak kerajaan. WHAT? KARMA APA INI?!
Wusshh ... embusan angin malam bertiup semakin kencang, bergegas pemuda berusia 19 tahun itu merapatkan jaket lusuhnya yang memiliki banyak bekas jahitan. Saat melewati rumah makan, ia berhenti untuk menghitung uang dalam saku jaket.
"Ck, uang segini mana cukup membeli makanan."
Pemuda dengan nama lengkap Theo Ardian itu menggerutu saat melihat pecahan uang dengan nominal beberapa ribu rupiah, ia mengumpat.
"Ini semua karena Johan yang selalu memalakku di Kampus, uangku jadi tidak cukup sampai akhir bulan."
Sungguh, Theo sangat khawatir, pasalnya masih lima hari lagi sampai hari gajian tiba. Terlebih ia tak memiliki pemasukan lain semenjak uang tunjangan orang tuanya habis dipakai berobat sang adik yang terkena penyakit demam berdarah beberapa bulan lalu.
Meski demikian, Tho tidak larut dalam suasana berkabung, segera ia menuju kedai nasi untuk membelikan adiknya makan malam. Hanya dua bungkus nasi dengan lauk sederhana.
Saat menunggu pesanan, Theo mendengar gunjingan orang-orang yang merundungnya.
"Lihat pemuda itu kotor sekali. Sepertinya dia sangat miskin."
"Shuut ... Jangan keras-keras nanti dia dengar."
"Lah, memang kenapa? Toh, itu kenyataan dia miskin, kurus dan tidak terurus. Kenapa masih hidup, ya? Kalau aku mungkin sudah bunuh diri."
Mengabaikan komentar hinaan itu, Theo segera membayar pesanannya dan bergegas pergi. Tiba di depan teras rumahnya, ia tertunduk lesu.
Seharusnya Theo sudah terbiasa mendengar olokan orang-orang yang mengomentari status sosialnya. Namun, ketika itu terjadi, tetap saja ia sakit hati.
Selang beberapa menit, barulah Theo membuka pintu dengan memasang mimik wajah ceria. Dia tidak mau membuat adiknya, Ayumi cemas ketika melihatnya murung.
"Kakak pulang ...."
Theo menyapa ramah saat melihat adiknya sedang pokus mengetik di leptop usang mereka.
"Ah, kakak sudah pulang?! Sebentar, aku matikan leptop dulu."
Ayumi bergegas mematikan dan menutup perangkat leptopnya lalu menghampiri sang kakak dengan tangan membawa sebotol air mineral yang diambilnya dari kulkas mini, kemudian menyerahkannya pada Theo yang duduk di sofa tunggal..
"Wajah kakak babak belur. Apa kakak habis dipukuli lagi?" tanya Ayumi mengamati wajah Theo yang memiliki lembab kebiruan.
"Ah, itu ... ini hanya terjatuh saat bekerja tadi," elak Theo berbohong.
Akan tetapi, itu tidak cukup untuk membodohi Ayumi yang menghela napas panjang, sudah mengerti dengan tabiat sang kakak yang tak ingin membuatnya khawatir.
"Kenapa tidak melawan sih, Kak? Lihat kakak jadi terluka," gerutu Ayumi kesal sendiri dengan sifat pengecut Theo..
"Jangan khawatir. Ini tidak sakit."
"Mana ada luka yang tidak sakit. Sebentar, aku ambilkan kotak obat dulu."
"Tunggu! Tidak usah______"
Larangan Theo tidak digubris oleh Ayumi yang sudah berlari masuk ke dalam kamarnya, lalu tak berselang lama datang kembali dengan sekotak peralatan medis dan bergegas merawat luka sang kakak.
"Padahal sudah kakak bilang tidak usah. Nanti juga sembuh sendiri."
Theo masih sempat memprotes saat Ayumi menempelkan plester luka di pipi kanannya. Bagaimanapun sebagai seorang kakak, ia tak ingin terlihat lemah di mata sang adik.
"Tidak, Kak. Tidak boleh, kalau nanti infeksi-kan bahaya."
Theo tersenyum akan sikap perhatian adik perempuannya. Dia pun mengusap rambut sebahu Ayumi yang berwarna kemerahan sepertinya.
"Baik, kakak mengerti. Terima kasih adikku sayang."
Ayumi balas tersenyum manis. "Apapun untukmu, Kak."
"Oh, ya. Tadi kamu sedang apa?"
Theo mengalihkan pembicaraan kala teringat akan kegiatan Ayumi sebelumnya. Bahkan akhir-akhir ini pun ia selalu mendapati sang adik yang baru berusia 16 tahun itu sibuk dengan perangkat komputer mereka.
"Oh itu, aku tadi sedang membuat Novel," jawab Ayumi sumringah, terlihat bahagia. Itu semua terbukti dari polesan senyum di wajah cantiknya.
Theo menautkan alis dalam. "Tumben, untuk apa?"
Ayumi tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Raut wajahnya jelas dipenuhi keraguan untuk menjawab.
Merasa penasaran, Theo mendesaknya. "Kenapa? Tidak mau berbagi dengan Kakak? Sudah mulai main rahasia-rahasiaan"
Ayymi menggeleng. "Bukan begitu, Kak."
"Lalu?" tanya Theo penasaran.
"Aku hanya berpikir jika novelnya laku di pasaran nanti, uangnya bisa untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup kita."
Deg!
"Kenapa kamu memikirkan itu?" gumam Theo sendu.
"Apa kamu menginginkan sesuatu? Atau di Sekolah-mu ada kegiatan yang membutuhkan uang? Bilang saja pada kakak. Kamu tidak perlu bekerja, cukup kakak saja."
Sekali lagi Ayumi membantahnya. "Tidak, aku hanya ingin membantu kakam saja."
"Tidak perlu seperti itu. Kakak masih sanggup, kok. Toh, uang tunjungan Ayah dan Bunda masih tersisa banyak."
"...."
Ayumi membisu.
"Serius, Kakak tidak apa-apa. Tidak perlu cemas begitu. Kamu pokus sekolah saja, ya," perintah Theo menenangkan.
"Baiklah."
Dan pembicaraan pun berakhir.
***
Tiga bulan kemudian ....
Seperti biasa, pukul delapan malam Theo pulang kerja. Ketika masuk ke rumah, ia mendapati buku Novel sang adik telah selesai dicetak. Merasa penasaran Theo pun membacanya. Akan tetapi, tak berselang lama ia tersentak.
"Apa maksudnya ini? Aku menjadi tokoh Antagonisnya?" pekik Theo sibuk membolak-balikkan novel yang berjudul AKUMA NO HIMITSU.
"Kakak sedang apa?" Dari arah pintu masuk, Ayumi berjalan mendekat.
"Jahat sekali kamu, Dek. Masa kamu menjadikan kakak tokoh Antagonis di Novel pertamamu?!"
"Hehehe ...."
Ayumi terkekeh, lalu duduk di samping kakaknya. Benar-benar mengabaikan rengekan Theo yang semakin menjadi-jadi.
"Pangeran Theo meniduri banyak gadis kemudian membunuh mereka?! Mati saja! Kakakmu ini masih perjaka, Hoi!" protes Theo tak terima. Please, ia bukan orang jahat.
"Hahaha ...."
Sekali lagi, Ayumi semakin tergelak melihat raut lucu di wajah pas-pasan sang kakak.
"Namanya juga fiksi, Kak. Hanya karangan belaka. Jangan dimasukan hati "
Theo mendengkus, lalu menatap curiga sang adik.
"Kamu menulis novel tema dewasa begitu terinspirasi dari mana? Kamu masih 16 tahun, loh."
"Sudah 17 tahun, kok."
"Masih dua bulan lagi."
Ayumi mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Ya setidaknya kakak sudah cukup umur untuk membacanya. Selamat ulang tahun yang ke 20, Kak. Novel ini kado dariku. Tolong, dijaga baik-baik, ya."
Oh ... Hari ini tanggal 10 Maret 2020.
"Ya ampun ... kamu ingat saja. Padahal kakak sendiri lupa loh," cengir Theo mengusap gemas puncak kepala Ayumi.
"Mana mungkin aku melupakan ultah saudaraku satu-satunya," balas Ayumi bergumam.
Theo melirik novel karya sang adik. "Lalu ini Novel untuk kakak?"
"Iya."
"Terima kasih. Karya seni Ini sangat berarti. Meski Oppa masih bingung sama isi novelnya."
Ayumi tergelak. "Hahaha namanya juga Novel Fantasi, Kak. Banyak hal di luar nalar."
"Iya, Kakak mengerti. Tapi Kakak sangat menghargai pemberianmu ini. Kamu telah berkerja keras, Ayumi."
"Hehehe, terima kasihnya," cengir Myung Ok tersenyum manis setelah mendengar sanjungan sang kakak yang memujinya.
"Tapi kakak nanti juga terbiasa, kok. Kakak kan pemeran Antagonis-nya."
Ayumi mengedipkan mata menggoda Theo
"Tidak sudi!" tolak Theo bergidik kala membayangkan karakter jahat dalam Novel tersebut.
"Hahaha, tenang saja, Kak. Endingnya Pangeran Theo bahagia, kok."
"Oh ya?".
"Iya. Nanti dia dan keluarga Raja dipenggal mati oleh kekaisaran Tenebris."
"...." Theo membatu akan spoiler tersebut.
"Bagaimana ending-nya baguskan, Kak?" tanya Ayumi meminta persetujuan Theo plyang masih syok.
"WTF? Kamu ingin kakak-mu mati terbunuh? Dasar gadis nakal. Sini kamu!"
Theo berniat memberi hukuman pada Ayumi yang langsung berlari menghindar dari pengejaran.
"Hahaha ampuunnn Kak ...."
Meski hanya hidup berdua dalam kemiskinan setelah kecelakaan lalu lintas yang menimpa kedua orang tua mereka, tetapi Keluarga Theo selalu merasa bahagia.
Seharusnya memang begitu, bukan?
Lalu, kenapa keesokan harinya, Theo terbujur kaku dengan tubuh berlumuran darah saat mempertahankan novelnya dari tangan Johan?!
Akan tetapi, perlawanan Theo membuat mereka murka dan menghajarnya dengan tongkat baseball. Tidak sengaja salah satu dari mereka memukul dengan kuat sampai tengkorak kepalanya pecah.
"M--maaf ... Ayumi ... Kakak ... melanggar ... janji ...."
Dan begitu saja, Theo mengembuskan napas terakhir. Akan tetapi ....
"Pangeran Theo."
... panggilan itu membangunkannya kembali.
Buku lain oleh MegaKembar
Selebihnya