Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Ada sebuah pondok pesantren yang tidak terlalu dianggap oleh masyarakat di sekitarnya. Pondok pesantren tersebut berbeda dengan pondok yang lainnya, sebab lebih berfokus pada santri-santri yang memiliki masalah, seperti pecandu obat-obatan terlarang, pencuri, bahkan wanita tuna susila.
Gus Wirto, nama pendiri pondok pesantren Pondok Pesantren Ihsan. Ia mendirikannya di salah satu kota terbesar di Indonesia, yaitu Surabaya. Bukan tanpa alasan Gus Wirto mendirikan pondok pesantren tersebut, ia ingin membantu mereka-mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT.
Gus Wirto sendiri sudah memiliki keluarga. Ia menikah dengan Nyai Mina dan memiliki dua orang anak, putra dan putri. Anak yang pertama bernama Catur, usianya 28 tahun dan saat ini berada di Mesir untuk melanjutkan pendidikannya. Anak keduanya bernama Dila, usianya masih 23 tahun dan sedang menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di Surabaya.
Gus Wirto saat ini tinggal bersama dengan istri dan putrinya, beberapa santri sering datang untuk menimba ilmu, tapi tidak pernah sampai dalam. Istrinya, Nyai Mina hanya ibu rumah tangga, meskipun beberapa kali membantu Gus Wirto pada saat-saat tertentu. Untuk putrinya sendiri, Dila jika ada waktu luang sering berada di tempat santriwati untuk berbicara atau menghafal ayat-ayat Al-Qur’an.
“Mau ke mana, Nduk?” tanya Gus Wirto pada Dila.
“Mau ke asrama santriwati untuk hafalan Surat Al-Mulk.”
“Tidur sana?”
Dila menggelengkan kepalanya.
“Ya wis, jangan malam-malam.”
Dila mencium tangan abinya sebelum keluar dari rumah, melangkahkan kakinya ke tempat santri dengan menundukkan kepalanya. Menurut ajaran orang tuanya ia tidak diperbolehkan memandang yang bukan muhrim. Dila semakin mempercepat langkahnya saat melihat tempat santriwati semakin dekat. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang memanggil namanya.
“Dila.” Terdengar suara seorang pria memanggil namanya membuat langkah kaki Dila berhenti.
“Kenapa, Kak?” tanya Dila yang masih menundukan kepalanya.
“Kamu, Dila, Anaknya Gus Wirto?” pria tersebut bertanya lagi pada Dila.
Dila mengangguk tanpa mengangkat wajahnya.
“Astaga pelit amat sih liat wajahnya aja ga bisa. Lihat dong orang yang dihadapan kamu saat berbicara.”
Dila masih belum mengangkat wajahnya meski pria di depannya sedang mengucapkan kata-kata tidak enak untuk didengarnya.
“Ngapain kamu manggil Neng Dila?” tiba-tiba terdengar suara orang lain.
Dila dapat mengetahui suara orang tersebut, walau tidak melihat wajahnya.
“Neng Dila, tinggalin aja manusia nggak penting ini.”
“Maaf dan terima kasih.”
Dila pun kembali berjalan meninggalkan mereka dan masih terdengar beberapa perkataan, hanya saja ia tidak peduli sama sekali. Ia segera kembali menuju asrama santriwati. Sesampainya di asrama ia membuka pintu salah satu kamar tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia membelalakkan matanya saat melihat pemandangan yang tidak baik, seketika ia langsung berbalik dan menutup matanya.
“Kenapa nggak dikunci?” omel Dila menatap malas pada Naila, santriwati yang sudah dianggap saudara.
“Lah, kamu sendiri yang nggak ngetuk, salah siapa coba?” ucap Naila kesal.
“Ya...ya...aku yang salah.” Dila mengangguk lemas, “Memang mau kemana rapi sekali? Lalu pakaiannya kenapa begitu tadi?”
“Bocah nggak perlu tahu.”
Dila mencibir perkataan Naila.
“Ada apa kesini?” tanya Naila.
“Mau ajak hafalan surat secara besok sudah waktunya menyetor hafalan yang langsung diawasi sama Nyai Mina.”
“Kamu anak pemilik pondok dan aku sahabatmu, kenapa Nyai Mina nggak ada pengecualian sama sekali sih?”
“Umma nggak melu-melu ya. Mau melu hafalan opo nggak?”
“Menurutmu ae piye? Jelas melu lah, pengen aku dihukum karo abimu?”
Dila tersenyum kecil mendengarnya. Ia pun memilih untuk menunggu Naila berganti pakaian yang lebih tertutup. Setelah sahabatnya tersebut mengganti pakaiannya, mereka melangkah ke tempat santriwati. Sudah banyak para santriwati yang ada di sana dan mereka yang sedang sibuk dengan membaca tidak terganggu sama sekali dengan kedatangan Dila dan Naila. Dila mengambil tempat paling enak, tapi sayangnya ditarik Naila ke tempat paling pojok.
“Kuping e lapo disumpel?” Dila bertanya heran saat Naila menggunakan earphone di telinganya.
“Pegel arep turu disik,” sahut Naila santai.
Dila membelalakkan matanya menatap apa yang Naila lakukan. Sahabatnya tersebut menyandarkan tubuh di tembok dan langsung memejamkan matanya, telinganya sendiri sudah ditutup dengan earphone membuat Dila tidak bisa bertindak apa-apa. Ia pun mengikuti yang lainnya membaca Surat Al-Mulk dengan perlahan, meskipun sudah membacanya dari kemarin tetap saja belum memiliki rasa percaya diri sama sekali.
Melihat Naila yang seperti itu membuatnya menghela napasnya dengan kelakuan sepupunya. Di saat ia membaca beberapa ayat, mata Dila langsung membola melihat Ummanya memasuki ruangan secara otomatis membangunkan Emily yang memejamkan matanya.
“Nay...Nay...” Dila menepuk tangan Naila keras membuatnya mendapatkan tatapan tajam. “Umma ada di sini.”