/0/13428/coverorgin.jpg?v=f5f1ee039192fbc2be110670d4476ba9&imageMogr2/format/webp)
Aku berdiri menatap jendela besar ruang tamu rumah bernuansa Victorian. Aku benci istana itu sejak awal aku menempatinya. Sepuluh tahun lalu, dan, selama itu juga aku merasa asing diantara semua manusia yang ada di sini. Kecuali satu, suamiku sendiri. Pria yang mengejarku, bermanis dengan sikap dan rayuan sehingga membuat ku terpesona, kebaikan yang ia perlihatkan semasa kita dekat dan menjalin kasih selama tiga tahun sebelum kami menikah, dan juga, seorang suami yang begitu mencintaiku. Aku benci istana itu karena semua yang kulakukan terpantau keluarga suamiku. Tak bebas.
Bukan waktu sebentar untuk usia rumah tangga yang sudah berjalan sepuluh tahun dengan satu orang anak laki-laki berusia dua tahun. Ya, setelah kami berjuang melawan cibiran banyak orang termasuk keluarga yang sempat berpikir aku mandul, akhirnya dengan melalui bayi tabung, aku bisa hamil dan melahirkan keturunan seorang Kaisar.
Bukan ... bukan, kami bukan keturunan raja atau sejenisnya. Tapi benar, nama suamiku Kaisar Abimana Prasetya. Penguasa usaha retail dan pemilik saham properti besar di tanah air. Kaisar bukan pemilik tunggal, kami belum sekaya itu, tapi, perusahaan kecil kami menjadi penanam saham di beberapa perusahaan TBK atau terbuka yang nilai sahamnya masuk di bursa efek.
Aku sendiri, wanita tiga puluh dua tahun. Memiliki empat restaurant Korean Grill waralaba besar yang sengaja aku jalani kerja sama itu karena, Ya, demam drama Korea yang tak bisa ditampik pengaruhnya pada diriku. Bahkan hingga ke gaya berbusana mulai terpengaruh seperti wanita elegan di drama tersebut. Selain itu, aku juga pemilik dua salon besar di daerah Senopati, jika kalian tahu daerah itu, kalian pasti paham. Satu lagi, aku baru akan membuka Cafe kecil di dekat salon yang akan ku beri nama White House Cafe, terletak di pusat bisnis dan dikelilingi banyak kampus serta tempat hang out para karyawan setelah sepulang bekerja. Sahamku juga ada pada bisnis yang bergerak di perminyakan. Suntikan dana dari suami, membuat ku bisa memiliki dibeberapa titik wilayah Ibu kota dan tiga di wilayah Detabek.
Malam itu, tatapanku menerawang, gerbang besar berwarna emas itu belum terbuka padahal sudah jam satu malam dan suamiku belum pulang juga. Hal ini, sudah satu minggu berjalan. Aku begitu mencintai Kaisar, begitupun dirinya yang mencintaiku, ia juga begitu mencintai putra kami. Keluarga harmonis jika dilihat dari pigura foto besar yang terpajang di ruang tamu rumah ini. Aku tertawa sinis menatap pigura itu. Kurapatkan kimono tidur berbahan satin, jujur saja, aku mengendus gelagat mencurigakan sejak tiga bulan ini. Walau aku masih memilih diam, juga tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan kebahagiaan keluarga kecil kami, dengan anak tunggal kami— Raja. Perpaduan nama anak dan bapak yang memiliki arti yang besar.
Lampu sorot mobil mengarah ke pagar. Sudut bibirku melengkung sempurna. Aku berjalan menuruni anak tangga dengan alas karpet untuk membuka pintu besar itu, menyambut priaku yang begitu gagah. Supir membukakan pintu bagian belakang, ia turun, menatapku sambil tersenyum. Aku berlari dan langsung menubruk tubuhnya yang kekar. Ia menggendong lalu memeluk, kedua kakiku lingkarkan di pinggangnya.
"Hai sayang, maaf, pulang malam lagi." Ia lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher jenjangku, menciumnya begitu dalam. Aku mengangguk, lalu menatapnya.
"Kangen," bisikku sambil menempelkan kening kami.
"Aku besok libur, butuh cuti untuk menghabiskan waktu bersama istri cantikku, kamu mau jalan-jalan ke mana?" tanyanya sambil berjalan dengan tetap menggendong tubuh rampingku dengan kaki yang sudah melingkar erat di pinggangnya. Dengan langkah tegap, ia menaiki anak tangga tanpa merasa kesusahan karena menahan berat tubuhku.
"Terserah kamu, aku cuma mau kamu, Kaisar," bisikku sensual. Kupeluk erat leher kokohnya yang sudah berumur empat puluh tahun itu. Kedua mataku membulat sempurna, hidungku menemukan bau yang berbeda. ‘SIALAN. Kau bermain dengan siapa, Kaisar!’ pekikku dalam hati. ‘Tidak akan ku biarkan wanita mana pun merebut priaku.’ Begitu geram di dalam hati, aku menatap wajahnya yang tampak lelah. Ia menatap juga dengan sebelah alis terangkat. Kalimat yang kubisikan ditelinganya, membuat senyum smirk suamiku muncul. Aku tau ia akan tergoda, tak mungkin menolakku.
Tak perduli jam sudah begitu malam, tujuanku satu. Menghilangkan bau musang licik yang menempel di tubuh Kaisar yang akan aku bersihkan dengan kedua tanganku sendiri. Sekaligus, memberikan tanda jika aku, selalu lebih baik dari musang licik itu, dan aku, akan segera mencari tau siapa ..., dia.
/0/5626/coverorgin.jpg?v=79f5e94995c9ef2e0230aa95e6050667&imageMogr2/format/webp)
/0/2780/coverorgin.jpg?v=1001949e2f836fc99439efe8577b7ae7&imageMogr2/format/webp)
/0/13573/coverorgin.jpg?v=20250123145501&imageMogr2/format/webp)
/0/4844/coverorgin.jpg?v=ff65dd9a66e99ce43b5ccb282f790bea&imageMogr2/format/webp)
/0/4700/coverorgin.jpg?v=20250121182607&imageMogr2/format/webp)
/0/18467/coverorgin.jpg?v=20240826144605&imageMogr2/format/webp)
/0/3945/coverorgin.jpg?v=130dd3844c362084149454ed134cab7c&imageMogr2/format/webp)
/0/5983/coverorgin.jpg?v=6f6e63590595f6e14b3827c458936f00&imageMogr2/format/webp)
/0/12932/coverorgin.jpg?v=20250123144802&imageMogr2/format/webp)
/0/18340/coverorgin.jpg?v=20240531182023&imageMogr2/format/webp)
/0/18446/coverorgin.jpg?v=20240701114513&imageMogr2/format/webp)
/0/6454/coverorgin.jpg?v=20250122151231&imageMogr2/format/webp)
/0/16282/coverorgin.jpg?v=ade96b2f1ab33a720bf3a2d58598601c&imageMogr2/format/webp)
/0/22491/coverorgin.jpg?v=b226bf8c8c8eb75f83759b3311dca1bb&imageMogr2/format/webp)
/0/17906/coverorgin.jpg?v=f85d1f9f960abba4700b41ac71c64601&imageMogr2/format/webp)
/0/12243/coverorgin.jpg?v=20250122183130&imageMogr2/format/webp)
/0/6451/coverorgin.jpg?v=4c0de242ad63e4f4adc8e2d8bfab62d9&imageMogr2/format/webp)
/0/18495/coverorgin.jpg?v=fa722c6e46304d6306090e55dc99494a&imageMogr2/format/webp)