Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
KEJUTAN UNTUK SUAMIKU
"Apa, Dok? Saya hamil?" tanyaku setengah berteriak karena tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh wanita berbaju putih itu.
Saat ini aku sedang berada di rumah sakit seorang diri untuk memeriksakan kandunganku ini karena suamiku sibuk bekerja.
"Iya, dan usia kandungan Mbak Ulfa sudah enam Minggu." Wanita berkaca mata itu tersenyum.
Aku masih belum sepenuhnya percaya kalau dalam rahimku ada sebuah kehidupan. Untuk meyakinkanku, sang dokter memintaku untuk melakukan tindakan USG.
Bukan tanpa alasan jika aku tidak begitu percaya saat dinyatakan positive hamil. Enam tahun yang lalu dokter menyatakan aku akan sulit punya keturunan.
Di dalam rahimku bersarang kista atau sejenis tumor jinak. Dokter sudah menyarankan untuk mengambil kista beserta rahimnya, tetapi aku tidak mau karena aku masih berharap ingin punya anak agar bisa menjadi seorang wanita seutuhnya--wanita sempurna.
Tumor itulah yang menyebabkan kemungkinan aku bisa hamil hanya beberapa persen saja, tetapi kata dokter tetap masih ada harapan meskipun tipis.
"Sayang, apa nggak sebaiknya kamu melakukan operasi saja?" ucap Mas Rey waktu itu. Lelaki bergelar suamiku itu membelai rambutku dan menciumnya.
"Enggak, Mas. Aku masih ingin punya anak karena aku percaya keajaiban itu ada." Aku tersenyum. Kurebahkan kepalaku di dada bidangnya sehingga aku dapat mendengar dengan jelas jantungnya yang berdegup kencang serta napasnya yang memburu.
Aku semakin yakin untuk tidak mengangkat penyakit ini dari rahimku karena ada salah seorang temanku yang bisa hamil meski punya kista dan kista itu bisa keluar bersamaan dengan bayi yang ia lahirkan. Semoga aku juga bisa seperti dia, punya anak sekaligus mengeluarkan penyakit ini.
Sekali lagi karena aku percaya keajaiban itu ada.
Mas Rey tidak pernah mempermasalahkan aku yang tidak punya anak. Ia tetap mencintaiku sepenuh hati. Perlakuannya tidak pernah berubah sejak menikah hingga pernikahan kami yang sudah menginjak usia ke enam ini. Ia tidak pernah menganggapku sebagai istri cacat
"Mas, kamu yakin akan tetap mencintaiku meskipun aku belum mempunyai anak hingga saat ini?"
"Iya, coba kamu lihat mataku, adakah kedustaan di sana?" Mas Rey menatapku lekat.
Aku bersyukur mempunyai suami seperti Mas Rey yang tidak pernah menuntutku untuk punya anak.
Aku pernah memintanya untuk menceraikan aku dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan, tetapi ia tidak mau.
"Aku tidak akan menceraikan kamu, Sayang. Bagiku menikah itu cukup hanya sekali. Masalah keturunan itu adalah hak Allah. Aku tidak akan meninggalkan kamu apapun yang terjadi." Mas Rey mengusap pucuk kepalaku.
Aku menunduk. Mataku memanas dan sesaat kemudian bulir bening ini luruh membasahi pipi. Ini adalah tangis kebahagiaan.
"Yakin kamu tidak akan meninggalkan aku, Mas, meskipun aku adalah wanita yang tidak sempurna?" Aku mendongak dan menatap lekaki bermata teduh itu.