/0/26743/coverbig.jpg?v=8f4fc03f62f240f5b1a748b5c827d624&imageMogr2/format/webp)
Kakak tiri Citra, bernama Maya, tiba-tiba menghilang di hari pernikahannya. Ia tak sanggup menikah dengan tunangannya, Bagas, yang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan. Panik melanda keluarga, dan dalam keputusasaan, Citra dipaksa menggantikan posisi Maya sebagai mempelai wanita. Empat tahun berlalu. Pernikahan Citra dan Bagas berjalan tanpa keributan. Meskipun diawal semua tampak terpaksa, hubungan mereka berdua akhirnya harmonis. Citra merawat Bagas dengan tulus, dan Bagas membalasnya dengan perhatian yang mendalam. Mereka telah membangun hidup yang tenang dan penuh kasih. Namun, ketenangan itu terusik saat Maya tiba-tiba kembali. Ayah Citra, yang selalu mendambakan kekayaan keluarga Bagas, mulai mendesak Citra untuk menceraikan Bagas agar Maya bisa mengambil kembali posisinya. Tak hanya itu, Bagas, dengan ekspresi datar yang sulit dibaca, bahkan meminta izin kepada Citra untuk menikah lagi. Dengan berat hati, Citra mengangguk. Ia merasakan sakit yang tak terlukiskan, namun ia berusaha tersenyum dan memberikan izin. "Tentu," katanya, suaranya sedikit bergetar, "Aku mengizinkan." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Citra berbalik. Ia pergi meninggalkan rumah itu, meninggalkan semua yang telah ia bangun. Di belakangnya, Maya dan ayahnya mungkin merayakan kemenangan mereka, dan Bagas mungkin merasa lega. Namun, mereka tidak tahu bahwa Citra telah menyiapkan kejutan yang akan mengubah segalanya.
"Maya menghilang!"
Teriakan Tante Rina menggema di seluruh rumah megah itu. Gaun putih pengantin yang seharusnya melekat di tubuh Maya kini tergeletak tak bernyawa di atas ranjang, bersama selembar surat pendek bertinta hitam:
Aku tidak sanggup. Maafkan aku.
– Maya
"Ini tidak mungkin... Hari ini hari pernikahannya!" seru Pak Drajat, ayah tiri Citra dan Maya, sambil menjambak rambutnya sendiri. "Keluarga Bagas akan membunuh kita!"
Citra berdiri terpaku di depan pintu kamar. Dadanya sesak. Ia tahu Maya merasa tertekan, tapi tak pernah menyangka Maya akan kabur. Apalagi dengan waktu yang begitu mepet.
"Citra," suara Pak Drajat tajam, memutus lamunannya.
Citra menoleh. "Iya, Ayah?"
"Kamu harus menggantikan Maya. Sekarang juga."
"A-apa?" Citra melangkah mundur, wajahnya pucat. "Ayah, itu gila."
"Tidak!" bentak Pak Drajat. "Perjanjian sudah dibuat. Jika pernikahan ini batal, kita bisa kehilangan seluruh investasi dan reputasi keluarga. Bagas... dia mungkin cacat, tapi dia pewaris tunggal keluarga Wirawan! Jangan bodoh!"
Tante Rina mendekat, mencoba membujuk dengan nada lebih lembut. "Citra, tolong... Lakukan ini demi keluarga. Hanya kamu satu-satunya yang bisa menyelamatkan keadaan."
Citra terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Ia melirik ke luar jendela, ke arah pelaminan yang mulai dipenuhi tamu. Ini bukan mimpinya. Bukan jalannya.
Namun satu kalimat terus terngiang di telinganya: "Demi keluarga."
Di Pelaminan
Bagas duduk tegak di kursi pengantin, mengenakan setelan formal berwarna putih gading. Wajahnya tampan, tapi tatapannya kosong. Satu kaki palsu tersembunyi rapi di balik celananya. Ia tidak menunjukkan emosi saat keributan terjadi di ruang rias.
Namun ketika Citra muncul menggantikan Maya, langkahnya ragu, mata berkaca-kaca, Bagas sempat menaikkan alis.
"...Kamu bukan Maya," katanya pelan, nyaris berbisik.
Citra menunduk. "Maya... tidak bisa datang. Aku... diminta menggantikannya."
Bagas menatapnya lama. Diam. Dingin.
"Apa kamu dipaksa?"
Citra menarik napas panjang. "Aku... memilih untuk berdiri di sini. Hari ini, di sampingmu."
Tak ada senyum. Tak ada pelukan. Namun dalam keheningan itu, pernikahan mereka tetap berlangsung. Tanpa cinta. Tanpa janji-janji manis. Hanya satu perjanjian bisu: bertahan demi kehormatan keluarga.
Empat Tahun Kemudian
Citra menyendokkan sup ke mangkuk Bagas. Dapur rumah mereka kini hangat dan penuh aroma masakan rumahan.
"Kamu masih suka sup ayam, kan?" tanya Citra sambil tersenyum kecil.
Bagas mengangguk, tanpa banyak bicara. Tapi matanya menatap Citra penuh perhatian. Wajahnya lebih tenang dari empat tahun lalu.
"Hari ini kamu terlihat capek," katanya tiba-tiba.
Citra mengangkat bahu. "Kerjaan di toko tadi agak ramai. Tapi nggak apa-apa. Kamu gimana? Lututmu sakit lagi?"
"Sedikit."
Hening sejenak.
Bagas melirik Citra, lalu berkata lirih, "Citra... Kalau suatu hari aku menikah lagi, kamu akan marah?"
Citra berhenti mengaduk teh di tangannya. Ia mencoba tersenyum meski hatinya terasa ditusuk.
"Aku akan... bahagia, jika kamu bahagia."
"Kamu yakin?" tanya Bagas, tatapannya tajam, tapi ekspresinya tetap datar.
Citra menatap mata suaminya, menahan air mata. "Tentu. Aku mengizinkan."
Dan saat malam itu mereka berpisah di kamar masing-masing, Citra tahu... kisah ini belum selesai. Ia telah memberi semua cintanya, namun mungkin tak pernah benar-benar diminta.
Tapi ini belum akhir.
Bab 1 Pernikahan dalam Kepanikan
31/07/2025
Bab 2 Perempuan yang Kembali
31/07/2025
Bab 3 Aku bisa ke sana
31/07/2025
Bab 4 Cinta dalam Diam
31/07/2025
Bab 5 Setelah Janji Diucap
31/07/2025
Bab 6 Citra terbangun di pagi buta
31/07/2025
Bab 7 Hujan turun deras malam
31/07/2025
Bab 8 menghampiri boks bayi
31/07/2025
Bab 9 Nayla sudah agak besar
31/07/2025
Bab 10 mulai belajar merangkak
31/07/2025
Bab 11 semangkuk bubur
31/07/2025
Bab 12 kamu yakin mau antar Aluna sendiri
31/07/2025
Bab 13 Sudah hampir dua minggu
31/07/2025
Bab 14 kamu sudah hebat
31/07/2025
Bab 15 membiarkan mereka hidup
31/07/2025
Bab 16 mengamankan diri
31/07/2025
Bab 17 ternyata tak mudah dikesampingkan
31/07/2025
Bab 18 foto keluarga
31/07/2025
Bab 19 Bagas masuk ke ruang tamu
31/07/2025
Bab 20 tawa Aluna
31/07/2025
Bab 21 desa Karangjati
31/07/2025
Bab 22 ikut kegiatan di balai desa
31/07/2025
Bab 23 Senyumnya mengembang
31/07/2025
Bab 24 hanya digunakan warga untuk menjemur hasil panen
31/07/2025
Bab 25 tinggal di desa
31/07/2025
Bab 26 selama berbulan-bulan
31/07/2025
Bab 27 kehidupan yang tak pernah berhenti
31/07/2025
Bab 28 Di ruang tengah
31/07/2025
Bab 29 Kalau jatuh nanti kamu malah luka lagi
31/07/2025
Bab 30 berdatangan
31/07/2025
Bab 31 hati seorang ibu
31/07/2025
Bab 32 dengan hati yang penuh syukur
31/07/2025
Bab 33 kami sudah datang!
31/07/2025
Bab 34 penuh perhatian
31/07/2025
Bab 35 mereka pinjam kemarin
31/07/2025
Bab 36 berkumpul
31/07/2025
Bab 37 menyiapkan sarapan untuk keluarga
31/07/2025
Bab 38 Matanya menerawang ke kejauhan
31/07/2025
Bab 39 dipenuhi aktivitas
31/07/2025
Bab 40 ruang terapi
31/07/2025
Buku lain oleh Nathaniel Septian
Selebihnya