Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Fandra, duduklah,” ujar seorang wanita yang kisaran usianya pertengahan enam puluh tahun. Tangannya yang sudah keriput menunjuk sofa di depannya.
Altafandra Alatas, pria yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya itu hanya menoleh sekilas lalu menurut, duduk di sofa.
“Katakanlah jika ada yang ingin Nenek katakan, aku ada urusan,” kata Fandra. Dia sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan.
Menarik napasnya, sang nenek sudah menduga Fandra akan mengatakan itu. Maka tanpa kata sang nenek, wanita keturunan China itu menyodorkan beberapa lembar foto ke hadapan Fandra. Pria itu melihatnya, memperhatikan beberapa potret gadis.
“Pergilah kencan buta,” titah sang nenek sembari mengambil gelas tehnya.
Tidak hanya sang nenek di sana, tapi juga ada ayah serta ibu, dan sang adik satu-satunya.
“Sudah berapa kali aku bilang tidak akan pernah melakukan itu. Tidakkah Nenek mendengarnya dengan jelas?” kata Fandra dengan nada suara yang meninggi. “Aku sudah muak dengan ini!” tegasnya sambil mengatupkan mulutnya rapat.
“Fandra!” Sang ibu menegur putranya.
Neneknya hanya menatap Fandra dingin, sedikit tidak peduli.
“Lantas, kapan kekasihmu itu kembali? Tidakkah kau sadar bahwa dia telah berbohong padamu?” Nenek mengingatkan.
Fandra mengarahkan tatapan tajamnya pada wanita yang menjadi ratu di mansion itu kemudian dia mendesis.
“Bukankah aku sudah mengatakannya ribuan kali kalau aku tidak akan memaksanya untuk menikah dalam waktu dekat denganku. Dia masih butuh waktu ….”
“Waktu!” Nenek menyela dengan suara yang meninggi. Menaruh cangkirnya dengan kasar.
Tatapannya nyalang tertuju pada Fandra yang terbungkam. Semua orang yang melihat itu sempat terperanjat, khawatir penyakit sang ratu kambuh.
“Tidakkah kau tahu berapa lama waktu yang telah dia habiskan untuk persiapan? Kau buta Fandra!”
Tangan Fandra mengepal mendengar perkataan sang nenek.
“Benar. Aku buta karena terlalu menginginkannya. Lantas, Nenek akan terus mendesakku untuk menikah dengan gadis yang sama sekali tidak aku cintai? Sungguh ironis sekali. Tidakkah kalian ingin aku bahagia? Maka bahagiaku adalah –”
“Gadis itu!” sela sang nenek.
Dada Fandra naik turun, wajahnya memerah menahan amarah.
“Sekalipun gadis itu kembali. Aku tidak akan sudi kalian menikah!” tegas sang nenek tanpa perasaan sekalipun.
“Apa maksud Nenek?” Fandra tak percaya mendengarnya.
“Dia sudah tidak memenuhi syarat untuk menjadi bagian keluarga ini lagi! Jadi, kau harus menikah sebelum usiamu genap tiga puluh lima tahun!”
Tatapan tak percaya itu mengarah pada wanita tua yang masih tampak anggun dengan rambut tersanggul rapi. Meskipun usianya sudah mulai senja, tapi masih tampak segar bugar.
“Kau, harus menikah dengan pilihan kami!” tegas nenek tanpa bisa diganggu gugat membuat Fandra kehilangan kata-kata.
“Nenek keterlaluan!” balasnya.
“Apa yang lebih keterlaluan daripada gadis itu yang mengkhianatimu tapi kau terlalu buta untuk sadar,” balas neneknya tak mau kalah. “Pokoknya kau harus menikah tidak peduli dengan siapapun itu untuk keberlangsungan keluarga ini,” lanjutnya tidak mempedulikan tatapan Fandra yang marah.
“Nenek terlalu memikirkan kerajaan sialan ini dibanding perasaanku.”
“Apa yang perlu dipertahankan dari perasaan picik itu, hah? Tidakkah kau tahu Fandra apa yang di lakukan gadis itu?”
“Aku tidak akan percaya selama aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri!”
“Cukup!” Sang nenek membentak. Matanya nyalang menatap Fandra yang mulai terbawa emosi. “Aku tidak mau mendengar apa pun lagi. Kau harus menikah!”
“Aku tidak akan menikah selain dengan Sheila, titik! Itu keputusanku!” tegas Fandra tak terbantahkan lagi. Dia bangun dari duduknya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga yang cukup luas itu.
“Fandra. Altafandra!” Sang ibu memanggil tapi tidak digubris oleh Fandra yang mempercepat langkahnya untuk pergi dari rumah yang bagai neraka baginya.
Di tempat duduknya, Sang nenek berusaha untuk tenang, tapi tetap saja, dadanya sesak tak tertahankan, rasa nyeri itu menghantamnya membuat wanita yang sesungguhnya renta itu tak bisa menahannya lagi, dan pada akhirnya tumbang.
“Ibu!” Panggilan panik dari putra dan menantunya terdengar samar.