Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Tahun 2009
Ana terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara jeritan di sekitarnya. Matanya mengedar berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jeritan itu masih terdengar pilu di telinganya. Ana tidak tahu berada di mana saat ini, namun ingatan terakhir akan seseorang yang menariknya masuk ke dalam mobil membuatnya tersadar. Perlahan mata indah itu mulai mengeluarkan air mata. Ana tidak bodoh, diusianya yang ke-9 ini dia sangat paham jika tengah berada di dalam pesawat sekarang. Gambaran awan putih dari jendela seolah menjawab itu semua.
Siang itu, Ana pulang sekolah dengan berjalan kaki. Hari berlangsung dengan baik tanpa tahu jika malapetaka akan datang. Ana menghentikan langkahnya ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Seorang wanita cantik turun dari mobil dan menghampirinya, diikuti dengan dua lelaki bertubuh besar di belakangnya.
"Manis, apa kamu sendirian?" tanya wanita itu. Ana hanya diam saat mengingat jika semua orang yang ada di hadapannya adalah orang asing.
"Kenapa diam, cantik? Kakak bukan orang jahat kok. Kakak cuma mau tanya alamat," ucap wanita itu kembali dengan senyumnya manis.
Ana tetap diam dan menatap wanita itu aneh. Sadar akan usaha manisnya yang akan berakhir sia-sia, akhirnya wanita itu memberi kode pada pria bertubuh besar yang bersamanya tadi untuk segera membawa Ana. Belum sempat berlari, lelaki itu sudah menarik dan membawa Ana untuk masuk ke dalam mobil.
Gadis kecil itu berteriak, namun entah kenapa taman komplek itu terlihat sangat sepi. Ana terus memberontak, dia menggigit, menjambak, dan menendang sampai membuat ketiga orang itu kewalahan. Sudah habis kesabaran wanita itu, akhirnya dia mengeluarkan suntikan dari dalam tasnya dan menyuntikkan cairan itu pada leher Ana. Perlahan tubuh Ana berhenti memberontak dan tak sadarkan diri.
Sekarang Ana tahu kenapa dia bisa berada di dalam pesawat dengan tubuh yang terikat. Dia tidak menyangka jika orang-orang itu akan menculiknya.
Tuhan, tolong aku.
Ana melihat ke sekitar dengan takut, banyak anak kecil yang seumuran dengannya tengah menangis dan berteriak memanggil orang tuannya. Seketika Ana juga ikut menangis. Dia hanya ingin pulang, itu saja. Pria-pria bertubuh besar yang mendampingi anak-anak itu terlihat kerepotan. Teriakan yang terdengar nyaring dan menyakitkan itu adalah efek dari hilangnya obat bius. Mau tidak mau mereka harus kembali memberikan suntikan agar keadaan pesawat kembali tenang.
"Jangan nangis, Cantik," ucap seorang pria yang datang menghampiri Ana dan kembali menyuntikkan sesuatu ke lehernya.
***
Silau matahari membuat Ana terbangun dari tidurnya. Dia beranjak dari kasur dan berlari ke arah pintu. Ana mencoba untuk membuka pintu itu namun tidak bisa. Dia berteriak dan memanggil siapapun agar membukakan pintu untuknya. Ana menangis, dia merindukan orang tuanya. Bagaimana bisa anak di bawah umur seperti dirinya merasakan hal seperti ini? Apa yang bisa Ana lakukan dengan tubuh kecilnya ini. Memberontak dan memukul pun seolah tidak ada artinya.
Dengan kekuatan seadanya, Ana menendang pintu itu berharap jika akan terbuka, namun yang dia dapat hanya rasa sakit di kakinya. Dengan lemas Ana mulai terduduk bersandar pada pintu. Dia lelah menangis, tidak ada seorang pun yang membukakan pintu untuknya. Ana kelaparan, dia hanya butuh makan.
Tak lama pintu terbuka dan muncul seorang pria berdarah asing dengan sebuah piring di tangannya. Pria itu menatap Ana yang duduk di lantai dengan bingung. "Makan,” ucapnya dan memberikan makanan yang dia bawa.
Ana yang memang sudah sangat lapar langsung mengambil roti itu dan memakannya. Dia makan dengan menangis, tak pernah terbayangkan olehnya jika harus makan roti hambar seperti ini. Sampai kapan dia harus bertahan?
***
Tidak ada yang bisa dilakukan Ana di dalam kamar. Dia hanya menangis meratapi nasib dan kembali tidur jika memang sudah lelah menangis. Dia tidak tahu sudah berapa lama dikurung di dalam kamar ini. Untungnya kamar ini dilengkapi dengan kamar mandi, meskipun sedikit tidak layak karena kotor sekali.
Ana keluar dari kamar mandi sambil menepuk perutnya. Entah kenapa dia mendadak diare seperti ini. Padahal dia hanya makan roti setiap harinya. Langkahnya terhenti saat melihat wanita berdarah asing sudah berada di kamarnya. Wanita itu menatapi Ana dari atas hingga bawah kemudian tersenyum manis. Cantik, namun Ana tidak akan tertipu dengan penampilan orang-orang di tempat ini.
"Kemarilah, Cantik," kata wanita itu lembut. Tahu bahwa Ana tidak mengerti apa yang dia ucapkan, wanita itu memilih untuk menghampiri Ana dan mengelus rambutnya pelan, "Kamu cantik, pasti hargamu sangat mahal," ucapnya tersenyum penuh arti.
Wanita itu mulai memoles Ana. Mengganti pakaian lusuhnya dan membentuk rambut Ana menjadi kepangan cantik. Ana hanya diam dan tidak melakukan apapun. Dia sudah lelah untuk memberontak dan menangis.
"Selesai, sekarang kamu ikut aku." Wanita itu mulai menuntunnya untuk keluar kamar. Entah apa yang Ana rasakan saat ini. Namun dia cukup senang jika akhirnya bisa keluar dari kamar pengap itu.
Matanya melihat ke sekitar dan tidak menemukan hal yang istimewa. Hanya ada lorong panjang dan banyak pintu. Saat akan menuruni tangga, Ana mulai mendengar suara musik yang terdengar samar di telinganya. Begitu sudah sampai di bawah, Ana benar-benar bisa mendengar suara musik yang memekakan telinga. Dia dibawa ke sebuah ruangan yang ternyata sudah banyak anak-anak seusianya. Kali ini Ana juga melihat anak berambut pirang di sana. Dia ingin bertanya, tapi semua anak yang berada di ruangan itu menangis. Ana tidak tahu harus melakukan apa saat ini.
Mereka seperti menunggu sebuah giliran. Satu persatu dari mereka diseret ke luar ruangan. Ana menjadi takut ke mana mereka akan dibawa. Saat tiba giliran anak di sebelahnya, hatinya menjadi tidak tenang. Apalagi anak itu memberontak dan menangis dengan kencang. Sekarang Ana sendiri. Semua anak yang dia anggap senasib itu telah dibawa keluar entah ke mana. Ana sendirian, dia kesepian, dan menangis lagi. Saat sedang menangis terisak, tiba-tiba tubuh Ana diangkat oleh seorang pria. Apa ini sudah saatnya dia untuk keluar? Ana memberontak, memukul, menjambak, dan menggigit pria yang menggendongnya itu.
"Berhenti! Kalau mau keluar, kamu harus diem!” ucap pria itu. Ana berhenti memberontak dan mengangguk patuh. Dia berharap jika pria yang bersamanya saat ini benar-benar bisa membantunya.
Entah berapa lama pria itu berjalan, akhirnya mereka sampai di kantor polisi. Pria itu melaporkan semua yang terjadi di dalam pub kecil itu secara detail. Dia bercerita jika sudah sering terjadi pelelangan, namun baru pertama kali ini dia melihat pelelangan anak di bawah umur dan yang membuatnya terkejut adalah ada anak-anak yang berasal dari negaranya sendiri. Banyak kasus berlapis terjadi di sana seperti penculikan, perdagangan ilegal, seks di bawah umur, hingga penjualan obat terlarang. Setelah selesai memberi keterangan, polisi segera bergerak menuju ke lokasi. Pria tadi menghampiri Ana yang masih duduk dengan diam. Terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
"Kamu aman di sini."
"Aku kangen Mama sama Papa," gumam Ana lirih.
"Orang tuamu akan segera dihubungi, mungkin lusa mereka dateng."
"Lusa?" Ana mengerucutkan bibirnya kesal, “Kok lama sih.”
"Indonesia dan Amerika itu jauh, jadi jangan harap dalam dua jam mereka bisa dateng.”
"Amerika?!" Ana terkejut. Bagaimana bisa dia diculik sampai Amerika seperti ini?
"Ayo, kamu ikut aku sampai orang tuamu dateng." Ana hanya menurut dan menerima uluran pria asing itu untuk meninggalkan kantor polisi.
***